Chapter 5

2.7K 252 32
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

“Sama apalagi? Mau sekalian sama minumannya?” Hinata memahat senyumannya dengan sempurna.

Di depan pantry, terdapat beberapa customer  yang mengantri untuk segera dilayani. Kebanyakan dari mereka adalah para yuwana yang bergabung bersama keluarga, ada juga beberapa pasangan yang sengaja mampir untuk makan siang.

Beberapa pegawai pun berdatangan. Mereka adalah segerombolan karyawati dari bagian fashion lantai bawah, terlihat dari seragam dengan berbagai nama brandnya. Bahkan, wajah-wajah itu tidak asing lagi bagi Hinata. Mereka sering datang di jam istirahat.

Setelah Hinata menuliskan beberapa pesanan dari customer sebelumnya, salah satu dari karyawan itu merangkul bahu gadis itu dengan akrab, “Mbak, biasa ya, Paket A yang lima belas ribuan itu, loh.” katanya.

“Bentar ya, Kak,” gadis berwajah lugu itu tersenyum canggung, mengantisipasi perlakuan lancang dari salah satu karyawati tadi kemudian melihat riwayat billnya, “Ada lima belas pesanan yang masih diproses. Kakak gak apa-apa kalau menunggu dulu?”

“Kalau itu, sih, kelamaan, Mbak,” salah satu rekannya memberi protes, “Waktu istirahat kami cuman tinggal setengah jam lagi.”

Rangkulan itu mulai melonggar pada bahu Hinata dan akhirnya lepas, “Gak bisa apa ya, kalau pesanan kami dibuatin duluan?” matanya berkilat mengancam.

Hal seperti ini memang sering terjadi terutama pada karyawan bahkan staff sekalipun. Mereka kerap meminta didahulukan, padahal sudah sangat jelas kalau customer adalah raja. Customer seharusnya lebih diutamakan, karena kepuasan pelanggan itu sangatlah penting untuk kemajuan perusahaan.

Hinata menarik nafasnya yang terasa sesak akibat emosi yang bergumul dalam hatinya, kemudian kembali bersikap profesional, “Duh, Kak, gimana ya…,” gadis itu tersenyum kaku, “Saya gak yakin kalau Pak Leader mau melakukannya, soalnya lima belas orderan ini sudah agak lama.”

“Biasanya juga Pak Kashi bisa, kok.” timpalan demi timpalan berhasil Hinata dapatkan dari semua alasannya. Perkataan yang begitu menuntut tersebut hampir meruntuhkan tembok emosi yang ia tahan.

Amethystnya melihat seseorang dari ekor mata, mencoba mencari bantuan kepada pemuda yang sibuk membuat berbagai macam minuman. Sai sibuk sendirian sejak tadi, bahkan dia rela menggantikan Hinata mengantarkan pesanan-pesanan ke meja customer. Itu membuat Hinata merasa bersalah.

“Um, saya—“

“Kita cuman lima orang, loh. Bikin nasi goreng ‘kan gampang.”

“Hm… ya udah, saya mau tanya dulu.” Hinata berlalu ke dapur dengan perasaan dongkol.

Kaki Hinata terasa amat berat untuk melangkah, apalagi setelah melihat situasi dapur yang cukup sibuk. Kakashi dengan wajannya. Yamato dengan pisau besarnya. Mereka terlihat begitu sulit mendapat jeda, membuat bibir Hinata susah untuk berucap.

Gadis itu sempat mengurungkan niat, dan akan kembali mencari alasan agar para pegawai itu bisa mengerti. Namun, Yamato segera mencegah pergerakannya.

“Ada apa, Hin?” Pisau itu masih bergerak cepat mencincang daging.

Hinata menelan ludahnya. Ekspresi Yamato begitu serius sampai membuat ia bergidik ngeri, “I-itu, Bang, anu…”

“Katakan.” Kakashi ikut menyambar kegugupan Hinata.

Akhirnya ia menarik nafas, memberanikan diri untuk mengatakan yang sejujurnya, “Itu, Pak, anak-anak fashion—“

“Gak bisa. Soalnya lagi banyak orderan. Suruh aja mereka pesan ke yang lain.”

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang