Chapter 17

1.7K 204 3
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

...

Hinata nyaris merasa ditenggelamkan di dasar samudera setelah mendengar akuan mutlak dari mulut Naruto. Nyawanya seolah melayang ke udara, ingin sekali gadis itu berteriak kepada malaikat maut agar segera mencabut nyawanya saat itu juga. Pikiran kalut terus-menerus menyerang Hinata secara bergantian, mengikis logikanya agar tidak pernah bisa berpikir jernih. Perasaan gelisah pun terus menerjang emosinya tanpa ampun.

Beberapa kali Hinata menepis kemungkinan-kemungkinan yang pasti terjadi selanjutnya, namun sebanyak apapun ia menghindar pada akhirnya tetap akan kembali terjerat dalam situasi yang sama. Tidak ada celah untuk menghindar, Hinata harus berani kali ini.

Di tengah percobaan pengontrolan diri, Hinata masih merasakan bagaimana teraturnya hembusan napas Naruto yang masih terus menerjang ceruk leher jenjangnya. Tangan kekar itu masih membungkus sebagian diri Hinata, seperti tidak berniat untuk dilepaskan. Kesadaran Hinata sedikit teralih oleh sensasi yang tiba-tiba dirasa sangat berbahaya. Tanpa sadar, semburat tipis menyebar pada kedua sudut pipi tembam gadis itu.

Hinata mengepalkan kedua tangan, mencoba untuk menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Hatinya merasa dongkol atas kelancangan pria bersurai blonde tersebut, dan lagi-lagi Hinata sangat ingin memukul Naruto seperti pada malam itu.

Kelopak mata Hinata menutup rapat seiring tarikan napas gusar ia akses dengan cepat. Hinata mencoba mengontrol dirinya agar tidak lagi melakukan tindakkan bodoh. Bagaimanapun, Naruto tetaplah atasannya.

Sesaat setelah Hinata berhasil meloloskan perasaan senaknya, dekapan Naruto mulai merenggang. Tangan kekar pria itu beralih memegangi kedua bahu mungil Hinata yang masih membelakanginya. Suara bariton Naruto langsung menyapa indra pendengaran Hinata, memberikan kalimat pernyataan yang seolah tidak boleh dibantah.

"Saya tidak pernah menyukai alkohol."

Amethyst Hinata bergerak ke samping. Mulutnya terkunci dengan titahan tak kasat mata untuk tidak segera menjawab ungkapan dari pria di belakangnya.

"... alkohol membuat saya lupa diri dan melakukan hal-hal diluar kehendak saya."

Dan Hinata masih terus mendengarkan arah pembicaraan Naruto.

"Tapi, meski begitu, saya akan ingat semuanya. Apa yang sudah terjadi dan..." Naruto menarik napasnya, "... hal bodoh itu."

Hinata merasakan kepalanya berbenturan dengan dahi Naruto. Pria itu membisikkan kata-kata maaf kepada Hinata. Gadis itu setengah terkejut dengan perilaku Naruto dan refleks melepaskan diri.

Hinata menaiki tiga anak tangga untuk menjaga jarak, "K-kalau gitu, kenapa Bapak gak bilang ke saya?" suaranya setengah memekik karena waspada. Hinata kini tidak lagi membelakangi pria itu, mengirim tatapan tajam dengan raut wajah yang kesal.

Naruto nyaris menampilkan seringaian kecil pada Hinata, namun ekspresi itu terurung. Mata birunya berkilat dengan aura dingin yang tiba-tiba saja menguar kentara, seperti biasa.

"Kamu menghindari saya." jawab Naruto mutlak, "Dan lagi, saya kira kamu gak akan bersikap begitu karena sudah memukul saya. Jadi, kita impas."

Ada letupan amarah yang dengan segera menyerang emosi Hinata. Gadis itu hampir kurang mempercayai perkataan Naruto yang mencerap masalah mereka sesederhana itu. Yang ia tahu, Naruto adalah seseorang dengan kemampuan yang tidak pernah meremehkan sesuatu hal apapun, apalagi berkaitan dengan perusahaan.

Tetapi, Hinata mengetahui satu yang pasti ; kecerdasan Naruto hanya sebagian dari anugerah Tuhan sekaligus kebodohannya. Gadis itu bahkan merasa idiot karena sudah memprediksi banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selanjutnya, mempersiapkan mentalnya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan.

"Impas?" Hinata tersenyum remeh, napasnya terhembus karena dongkol, "Jadi, Bapak anggap ini selesai, gitu?!"

"Kamu keberatan?" Naruto menaikkan sebelah alisnya.

Hinata mendengkus, terdengar giginya berderit menahan kesal. Gadis itu merasakan sesak dalam rongga dadanya secara tiba-tiba, membuatnya beberapa kali menarik ulur oksigen.

Naruto menilik dalam pada semua mimik yang Hinata tampilkan, "Atau itu... ciuman pertama kamu?" simpulnya, membuat gadis dihadapannya kembali berekspresi.

"Hah? Apa maksud Bapak?! Itu bukan urusan Bapak, gak perlu kepo! Dan lagi, semua itu gak berarti apa-apa buat saya!"

"Lalu, kenapa kamu terus menghindar?" Naruto masih menanggapi Hinata dengan santai. Tidak ada satu reaksipun yang bisa terbaca dari pria tersebut. Naruto cukup lihai menyembunyikan ekspresinya dan nyaris tak pernah tampak. Iris shappire Naruto hanya menatap Hinata datar.

"Kenapa saya menghindar? Oh, Pak, saya gak bodoh, ya. Saya udah mukulin Bapak dua kali, wajar kalau saya merasa takut! Saya udah mikirin banyak hal, karena gimanapun Bapak itu atasan saya. Tapi, setelah Bapak ngomong gitu, saya merasa jadi orang paling idiot karena kebanyakan khawatir!" Kelereng mutiara Hinata menyiratkan tatapan yang menusuk, bertaut cukup lama dengan iris biru Naruto.

"Tidak perlu ada yang dikhawatirkan," Naruto memutus kontak mereka dengan menutup mata, "Sekalipun saya menuntut kamu, itu gak akan menguntungkan saya."

Kedua tangan Hinata meremas ujung seragam kerjanya. Harga dirinya seakan dijatuhkan sampai ke inti bumi ketika mendengar penuturan Naruto. Mulut harimau itu, Hinata sama sekali tidak pernah menyangka dengan kesempurnaan yang pria itu punya. Sangat bertolak belakang.

"Okay." Hinata membalas Naruto dengan nada dingin. Gadis itu melangkah cepat melewati pria pirang dengan wajah datarnya, menatap pergerakan Hinata dalam diam. Bibir mungil itu berkomat-kamit, menggumamkan banyak sumpah serapah kepada Naruto. Dan demi Tuhan, Hinata menyesal sempat mengagumi Naruto.

Beberapa anak tangga telah ia turuni, membentang jarak antara gadis itu dengan Naruto. Sesaat otaknya tersemat ide gila, kemudian berhenti sambil kembali berbalik ke arah Naruto.

"Oh, ya, Pak Naru...," Hinata menampilkan seringaian dengan tatapan yang seolah meremehkan pria pirang tersebut, "Saya denger-denger, Bapak itu gay, hm?" bibirnya mencebik untuk menegaskan hinaannya.

Sepersekian detik, Hinata melihat perubahan pada wajah tampan milik Naruto. Iris biru itu sedikit mendelik. Ada emosi tertahan yang nyaris disembunyikan oleh pria itu, namun Hinata mengetahui seberapa banyak ia telah menyinggung pria tersebut.

Rahang Naruto mengeras dan nyaris mengumpat, "Kamu-"

"Hahaha..." Hinata berlalu dengan cepat, meninggalkan Naruto yang mulai tidak lagi mengontrol pertahanan dirinya.

'Gue menang.'

...

A/n : Minal'aidzin walfaidzin, Selamat hari Raya Idul Fitri untuk para reader yang merayakannya 🙏😇❤❤ maaf telat update dan telat ngucapin, tapi gak apa-apa, suasana lebaran masih terasa seiring kue-kue lebaran mulai habis 😅😅 dan juga hari ini dibeberapa wilayah lagi pada pesta demokrasi 😆😆😆 semoga yang ikut pemilu gak pada golput ya, biar jadi warga negara yang baik 😎😎❤

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang