Chapter 16

1.9K 212 35
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Hinata membisu dengan perasaan yang masih belum bisa terkontrol. Gigi rapinya tak henti mengigiti kuku ibu jari, sampai menghasilkan bunyi yang sedikit mengganggu pendengaran. Kelereng mutiara Hinata menatap kosong ke depan, beberapa kali menyipit seolah-olah mencari jalan keluar dari semua pikiran gila yang kerap meracuni otaknya.

Sejauh hari berganti, entah sudah berapa lama gadis itu terus menghindarkan keberadaannya disetiap jangkauan Naruto. Hinata benar-benar kehilangan keberanian walaupun sekedar berpapasan, dia akan dengan cepat pergi dengan tingkah konyol yang memalukan. Gadis itu tidak pernah memberi kesempatan untuk Naruto, apalagi saat melihat pria itu meluncurkan secuil ekspresi heran.

Seandainya saja Hinata memberi beberapa detik dari waktunya agar Naruto bisa untuk sekedar bertanya, kegundahan yang ia rasakan mungkin bisa sedikit terkikis. Namun, yang Hinata takutkan justru sesuatu yang belum tentu jelas kebenarannya. Opini yang Hinata buat sendiri secara sepihak.

Bisa saja, Naruto tidak pernah mengingat apapun yang telah terjadi selama ini. Dan Hinata menjadi satu-satunya orang teridiot sepanjang sejarah. Tetapi tetap saja, gadis itu sulit mendapat nyali walau hanya dilihat oleh pria bermata biru tersebut. Lebih baik Hinata berkelahi dengan sepuluh preman daripada harus bertemu dengan Naruto.

Ah, sudahlah.

Hinata menghela napas, mengerik rasa sesak yang sejak tadi mengumpul didada. Pandangannya bergulir untuk melihat jam yang menggantung pada dinding, yang sudah menunjukkan jam kerjanya berakhir.

Gadis itu mulai memeriksa beberapa pekerjaannya dengan saksama, mengecek pembukuan, dan melihat nota penjualan yang sudah ia hitung. Tidak lupa, Hinata mengamati kondisi pantry yang juga sudah dia bereskan sejak tadi.

Semua beres, waktunya untuk pulang.

Hinata mengambil poket make upnya, lalu mendatangi Kakashi untuk pamit.

“Pak, gue pulang, ya.” ucapnya, dihadiahi satu anggukan dari pria setengah baya tersebut. Hinata juga berpamitan pada Yamato dan juga Sai.

“Selamat jalan, Nat. Semoga lo diterima disisi-Nya.”

“Lo kira gue mau mati, eh?!”

Entah apa jawaban yang Sai katakan, Hinata mengacuhkannya dengan berlalu cepat menuju pintu khusus karyawan. Bibir tipis Hinata bergumam sebuah omelan singkat, kemudian tersenyum. Ah, bagaimanapun Sai adalah teman yang asyik meskipun menyebalkan.

Hinata mengingat beberapa serpihan kecil saat hari pertama ia bekerja bersama Kakashi di foodlife. Gadis lugu dan pendiam adalah kesan pertama yang Hinata tampilkan seolah-olah mengelabui rekan-rekan kerja sekaligus bosnya. Dan seiring bergulirnya waktu, hingga sampai detik ini pun, mereka semua masih kurang percaya dengan karakter Hinata yang sesungguhnya.

Wanita kuat, cerewet, suka berkelahi, serba ingin tau, kasar ; semua jemari tangan dan kaki tidak mampu menghitung berapa banyak ketidaksesuaian gadis itu dengan wajahnya.

Dan ketika hal tersebut menyelinap dalam ingatan Hinata, ia merasa terhibur. Entah bagaimana Tuhan bisa menganugerahkan wajah polos seperti itu dengan kepribadiannya yang sangat jelas bertolak belakang? Hinata hanya bisa tertawa.

Hinata melewati lorong dan kemudian menuruni tangga. Sore itu cukup sepi, tidak ada office boy atau office girl yang bertugas disana. Biasanya, dia akan menemui setidaknya dua orang petugas kebersihan.

“Tumben Mbak Shion enggak ada?” gumamnya pelan sembari melajukan kaki jejangnya demi mengikis satu per satu anak tangga. Gadis itu berhasil menuruni tangga pertama. Ia harus melewati tiga tangga lagi untuk bisa sampai ke lantai dasar.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang