Chapter 21

1.4K 175 12
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Apa ini?

Tiba-tiba tubuh Naruto menegang dengan rasa cemas yang mulai menikam hatinya. Kesenangan yang sebelumnya menghibur, berubah menjadi sebuah emosi yang nyaris meledak. Begitu dahsyat hingga memunculkan keasingan yang membingungkan. Suara hati Naruto menjerit-jerit dan menunjukkan kejanggalan.

Hati dan pikiran Naruto mulai berperang, berunjuk rasa dalam situasi kegawat ini. Egonya menolak bujukkan hati yang terus memekik, seakan-akan menggelapkan nurani. Namun, sisi menyenangkan terus mencoba mengambil alih. Mengontrol pikiran yang semakin bertindak sombong. Mencoba membunuh kebaikan sebagai makhluk sosial.

Ini semakin membingungkan pria itu.

Kelopak mata Naruto terpejam, menenggelamkan semua kemungkinan yang tak henti menghujami fungsi dalam diri. Mencari cahaya kebenaran untuk bisa segera bertindak, dan demi Tuhan, Naruto akan mendengarkannya.

Hati kecilnya yang nyaris mencicit kembali mendominasi, mengabaikan ego yang begitu gagah menebar banyak racun. Rasa dongkol, balas dendam, amarah ; semuanya terpupus. Naruto akan memberi kebaikannya sekali lagi, seperti saat itu.

Pria itu membuka matanya lebar-lebar, mencari Hinata yang mulai melangkah pergi seolah tidak peduli. Naruto mulai mengepalkan tangan dan sedikit meremas plastik putih yang berisi nasi goreng yang ia pesan tadi, mencoba mencari kekuatan dan keberanian. Apapun resikonya, Naruto akan terima.

Naruto mulai bergerak, berlari untuk menyusul Hinata. Mengabaikan semua ego dan dendam, termasuk teriakan dari seseorang.

“Mas, bayar dulu woy! Nasi gorengnya belum dibayar!”

Hinata menatap ponselnya dengan kesal. Malam kian larut, satu per satu rekan kerjanya mulai pergi menaiki bus dan angkutan umum. Menoreh perasaan sepi dan gelisah yang bercampur aduk. Bahkan, rasa penat pun ikut membebani tubuh mungilnya.

Gadis itu mulai berjalan menuju halte, mendudukkan diri disana untuk menunggu Neji yang berjanji akan datang. Memperhatikan jalanan yang sedikit ramai namun berangsur lengang, juga terus melirik jam tangan dan ponselnya demi membunuh sang waktu yang terus berputar. Kecemasan dan dongkolnya kian menjadi-jadi, terutama ketika perasaan kantuk menyerangnya dengan cepat.

Jemari itu kembali menekan tombol dial, mencoba terhubung dengan Neji yang masih belum menjemputnya. Namun nihil, kakak sepupunya itu tidak menjawab panggilan sejak terakhir dia mengirimi pesan singkat untuk segera menjemput.

“Kampret! Gue gak akan maafin lo, Ji, lihat saja nanti!” umpat Hinata pada ponselnya. Kata-kata kasar lainnya terus terucap demi melampiaskan emosi.

Ditengah gerutunya yang tak berhenti, sesuatu hal tiba-tiba membelai perasaan Hinata untuk segera sadar. Gadis itu mulai waspada, bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan. Sejujurnya, sejak tadi pun Hinata merasakan aura tidak menyenangkan tengah membuntutinya, dan benar, insting gadis itu tidak pernah salah.

Ada seseorang  yang diam-diam mengikuti gadis itu.

Hinata mendengkus, lalu menyeringai. Jika dia menjadikan Hinata sebagai target, itu adalah sebuah kesalahan yang besar. Bahkan, sepuluh preman pun sanggup Hinata hadapi sendirian.

Gadis itu mencoba merasakan kehadiran orang asing tersebut dalam diam, yang ia yakini bahwa dia sedang bersembunyi di pinggiran gedung kosong yang tidak terlalu jauh dari halte. Amethystnya tenggelam dibalik kelopak mata, tersenyum dengan emosi yang mendidih.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang