Naruto © Masashi Kishimoto
…
“Tumben udah pulang?” Hinata melihat ke samping ketika seseorang menyambutnya dari pintu rumah. Disana, sesosok wanita muda berdiri dengan wajah tersenyum muram. Tampak dipaksakan, mimiknya begitu jelas. Gadis itu dengan cepat melepaskan sepatu dan kaos kaki kemudian menyimpannya di rak.
“Iya,” membenarkan tas selendangnya lalu berjalan menghampiri wanita itu, “Hari ini gak terlalu rame, jadi aku bisa pulang cepat.” jelas Hinata sebagai jawaban. Sorot matanya kembali menyelidik ke arah wanita itu.
“Yuk, masuk! Kamu pasti laper, ‘kan?” tangan wanita itu terulur lalu menarik bahu Hinata secara paksa. Tanpa bertanya, Hinata hanya mengikuti intruksi saja.
Mereka memasuki pintu utama. Saat pertama kali menapakan kaki disana, ruang tamu sederhana dengan nuansa biru muda tampak begitu segar dipandang. Bersih dan rapi, tidak ada secuil debu pun yang hinggap di atas perabotan. Aroma dari pengharum ruangan juga tak kalah menyergarkan indera penciuman. Wanita itu tampaknya begitu memperhatikan kebersihan rumah ini, sehingga rumah sesederhana ini bisa terlihat begitu mewah.
Ya, wanita itu memang begitu apik. Semua ditata dengan sedemikian rupa. Tangannya seperti tangan seorang seniman, apapun yang dia lakukan untuk rumah ini selalu bisa membuatnya indah.
Wanita itu, selain pandai merapikan rumah dia juga sangat ahli dalam urusan dapur. Memasak bukan lagi tantangan berat baginya. Wanita itu sudah seperti sosok Ibu, yang bahkan Hinata pun tak pernah tau wujudnya seperti apa. Ya, tentu saja gadis itu menganggapnya demikian walaupun pada dasarnya dia tak ada hubungan darah dengan wanita itu. Hanya sebatas kakak beradik, bahkan ipar.
Kakak iparnya terus menuntun Hinata melewati ruang tamu untuk menuju dapur. Hidangan menyambut mata Hinata. Aromanya menggugah selera. Di atas meja makan sudah tersaji nasi dan lauk-pauknya bersama dua gelas air minum dan dua buah piring yang masih menelungkup.
“Tunggu, kenapa cuma ada dua piring?” tanpa sadar pertanyaan Hinata terucap.
Gadis itu mencuri satu ekspresi tidak senang dari raut kakak iparnya, “Kamu pasti udah tau kelakuan Abangmu kayak gimana,” matanya berkilat sinis, “Dia lagi-lagi pergi memancing dengan teman-temannya. Buang-buang duit, ‘kan?”
Hinata menghela nafas, “Ya ampun, Neji…,” seolah sudah menduganya.
Hinata mencoba menggenggam tangan kakak iparnya, kemudian mengajaknya untuk duduk. Tidak seperti semula, romannya berubah menjadi sangat kecut. Emosi kakak ipar Hinata begitu pekat sampai gadis itu ikut merasa bingung.
‘Gue harus gimana?’
“Seharusnya yang diajak pergi itu aku, ‘kan? Susah banget pengen pergi ke tempat-tempat wisata sama Abangmu,” kedua tangan wanita itu melipat sempurna didadanya, “Aku juga pengen jalan-jalan! Seenggaknya, kalau mau boros ya borosnya sama aku, bukan sama teman-temannya!” hentakan kaki semakin mempertegas rasa kesal darinya.
Tangan Hinata bergerak ragu, ingin sekali mengusap bahu kakak iparnya, “Duh, Kak, sabar ya. Maafin Neji, dia emang bandel sama hobinya,” gadis itu semakin kebingungan, “Tapi menurutku, lebih baik dia begitu daripada maenin cewek, ‘kan?” dan malah salah ucap, seolah membela Neji dihadapan wanita itu.
Dia terdiam sejenak, “Iya… emang, sih.” kerutan pada dahi wanita itu menjelaskan kalau dia sedang berpikir, “Tapi ‘kan tetep aja ini gak adil, Hin.”
“Uhm, aku ngerti kok, Kak.”
Suasana yang sempat buruk akhirnya perlahan luruh, “Gimanapun, Neji itu suami Kakak. Dia gak akan keluar jalur meskipun begitu. Percaya, deh.” akhirnya Hinata mulai meraih piring dan mengambil nasi, “Mending kita makan aja, yuk? Laper, nih.”
“Oh, iya ya…, Kakak hampir lupa kamu kelaperan.” akhirnya mereka pun makan bersama.
…
…
Insiden yang menimpa Sai dan kelima pegawai bagian fashion pada waktu lalu ternyata masih belum teratasi. Hampir seluruh karyawan Harajuku Plaza Square mengetahui masalah tersebut.
Kekacauan yang terjadi memang bukanlah hal yang bisa dikatakan sepele. Pertengkaran di depan para tamu, bahkan dalam suasana ramainya pengunjung. Itu akan menjadi aib bagi perusahaan.
Dan semua isu yang beredar berhasil melintas ditelinga Wakil Manajer. Keadaan yang sangat beruntungnya adalah, disaat sekacau ini Manajer Harajuku Plaza Square sedang melakukan perjalanan dinas keluar kota untuk beberapa pekan. Namun, tetap saja pada akhirnya Sai diminta menghadap Wakil Manajer bersama Kakashi, Tsunade dan Orochimaru, tak lupa orang-orang yang bersangkutan untuk meluruskan semua masalah ini.
Hinata, dengan emosi yang meluap-luap beberapa kali menggebrak meja pantry, “Ini gak bisa dibiarin! Kalau Sai sampai dipecat, gue gak bisa terima.”
Yamato yang sejak tadi terdiam hanya bisa menyaksikan kekalutan Hinata. Pria itu benar-benar tidak mengerti bagaimana cara menenangkan perasaan seorang perempuan. Sesekali tangannya bergerak merogoh saku celana, hanya untuk memeriksa ponselnya.
“Gosip itu jelas-jelas mereka yang membalikkan fakta, dan jadiin Sai yang bersalah!” sebelah tangannya mengepal kuat, “Dan kenapa juga, sih, Sai bisa temperamental kayak gitu?!”
Helaan nafas berat beberapa kali Hinata lakukan. Amarah yang mendominasi perasaannya mengakibatkan konflik pada dirinya. Bahkan perilakunya berubah-ubah setiap detik, menerangkan seberapa kacau emosi jiwa Hinata.
Pada akhirnya Yamato merasa tak tahan dengan racauan Hinata yang tak ada hentinya sejak tadi, dia kemudian menepuk rambut gadis itu perlahan, “Sabar, Hin.” katanya.
“Gue kesel banget, Bang! Jadinya ‘kan Si Sai kena masalah besar. Udah jelas waktu itu mereka yang ngotot banget, padahal udah gue bilang kalau orderan kita lagi rame!” gadis itu menepuk mukanya dengan frustasi.
Tangan pria itu masih betah menepuk-tepuk rambut Hinata, “Kamu gak perlu khawatir.” Yamato memperhatikan beberapa customer wanita yang berhilir-mudik di depan pantry. Setelah insiden itu, penjualan sedikit demi sedikit mulai menurun.
“Bukannya gue khawatir, Bang, cuman…,”
“Cuman apa? Jelas kok, kamu khawatir. Malahan kedengeran peduli banget.” jawab Yamato, jujur.
Hinata memutar bola matanya bosan, “Bang, jangan bikin gue tambah kesel deh.” ujarnya.
Yamato merogoh saku celana katunnya —lagi untuk mengambil smartphonenya, “Aku hanya mencoba berkata jujur, Hin. Kamu suka, ya, sama Sai?”
Hinata menarik telinga Yamato secara tiba-tiba, “Abang mau telinganya gue tarik sampai putus?” ancamnya dan memilin telinga Yamato sekuat tenaga.
“Aduh, aduh, iya, Hinata, maaf! Udah lepasin! Sakit!”
Gadis itu melepaskan telinga Yamato, “Makanya jangan asal ngomong. Gue cuman gak mau Sai berhenti kerja disini. Abang juga pasti gak mau ‘kan? Gue udah nganggep Sai itu kayak abang gue, sama kayak lo.” pandangan amethystnya lurus ke depan dan terlihat kosong.
Yamato masih sibuk mengusap kasar telinganya yang memerah, rasa sakit itu masih membekas jelas disana, “Iya, aku ngerti, Hin. Aku juga nganggap kamu adik,” meringis.
Hinata melirik Yamato sekilas, lalu kembali menatap kosong ke depan. Mengabaikan semua pekekerjaan, hanya itu yang Hinata perlukan. Pekerjaan ini terasa begitu hambar, tidak ada bumbu-bumbu yang diracik sempurna lagi. Semua ini karena masalah itu, semua ini karena kekacauan itu. Tetapi, keadaan seperti ini pada akhirnya akan tetap terjadi meskipun hanya sekali dalam seumur hidup.
…
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect SPV [ TAMAT ]
FanfictionSweet Cover by @Arite_Chisiki Naruto © Masashi Kishimoto [ AU/Mature/Romance/Comedy ] [ NaruHina Fanfic Story ] Revisi : 1-4 ( Cerita ini mengandung unsur Dewasa ) ... Hinata adalah seorang gadis yang bekerja di Harajuku Plaza Square sebagai Sales...