Chapter 3

3.5K 264 7
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Uzumaki Naruto. Dia adalah seorang Supervisor Hara Electro yang katanya baru beberapa tahun bergabung menjadi ‘keluarga’ di Harajuku Plaza Square. Keahliannya dalam bidang perelektronikan, kecakapannya dalam perniagaan dan bisnis, serta ide-ide gila yang kerap ia kerahkan demi menghidupkan kembali perdagangan elektronik di Harajuku Plaza Square, membuat Manajer berdecak kagum.

Target penjualan elektronik di Harajuku Plaza Square memang terbilang paling tinggi di antara semua brand yang tersedia, meskipun sebenarnya market menjadi titik paling diincar oleh para customer. Tetapi, semenjak Naruto mengambil alih Hara Electro dan menjadi pemimpin disana, penjualan Hara Electro kian stabil. Target yang terlampau tinggi bukan lagi kendala. Setiap bulan pencapaian target semakin melonjak walaupun tidak terlalu banyak. Setidaknya, ia berhasil menyelamatkan Hara Electro yang terancam gulung tikar tersebut.

Ya, Naruto adalah seorang pekerja keras. Di usianya yang masih muda, dia memfokuskan diri untuk berkarier. ‘Bring life to success’ itu adalah serangkaian kata stimulan yang selalu dia pegang. Mungkin karena itulah mengapa sosok Naruto menjelma menjadi seperti yang kebanyakan karyawan katakan.

Dingin. Tidak bersahabat. Mentang-mentang seorang Supervisor. Pilih-pilih pergaulan.

Dan yang paling buruk, isu yang tersebar adalah bahwa Naruto itu pecinta sesama jenis!

Sebagian karyawan memang membenci kepribadian Naruto yang terkadang tidak ramah. Namun disisi lainnya, ada segerombolan pegawai terutama perempuan yang menegakkan sebuah fangirl. Bentuk kecintaan mereka yang terkesan konyol. Mengagumi, lebih tepatnya. Para pengagum sang Spv. Hara Electro.

Mereka bersumpah akan memberantas para penghujat idola mereka agar mau menarik kembali kata-kata busuk yang tidak pantas tersebut. Jadi, hal semacam adu mulut dan saling menyindir bukan lagi sesuatu yang asing ketika terdengar oleh telinga.

Hari ini, Hinata datang cukup pagi. Jam delapan tepat, gadis itu sudah berada di counternya dengan sebuah kain lap dan cairan pembersih dikedua tangannya. Rutinitas untuk Hinata jika ia shift pagi; menyapu, mengelap kaca dan meja pantry, memajang beberapa menu untuk disuguhkan kepada customer, dan beberapa hal lainnya.

Tangannya begitu telaten menggosok-gosokan kain lap ke meja, sampai ia mengabaikan beberapa rekan kerja yang lain saat memberikan sapaan kepadanya.

“Hinata,” seseorang menepuk pundak gadis itu dengan pelan.

Leher Hinata bergerak ke samping, “Eh, morning, Ma’am.” ekspresinya setengah terkejut ketika tau siapa yang menyapanya.

Tsunade Senju, Supervisor Foodlife sekaligus mentornya. Seorang wanita dengan usia hampir menginjak kepala empat tersebut masih terlihat awet muda dan cantik. Entah rahasia apa yang bisa membuatnya tetap seperti sekarang, padahal make up yang merias wajahnya tidaklah terlalu banyak ataupun tebal.

“Panggil saya Ibu.” suara wanita itu menajam penuh dengan tuntutan.

Hinata tersenyum kaku sembari menggaruk pipinya, “M-maaf, Ma’am, tapi kayaknya aku gak bisa melakukannya…,” senyumnya semakin lebar tanpa merasa berdosa.

Tsunade sedikit menjitak kepala Hinata sebelum melanjutkan protesannya, “Mau saya jitak lagi?” tangannya bersiap di udara.

“Ampun!” , “Kalau begitu, aku panggil Mistress aja, gimana?”

“Enggak, enggak.” Tsunade menolak dengan cepat, “Lebih baik kamu panggil Ma’am saja, asal jangan didepan anak-anak lain.” yang langsung disambut dua jempol dari Hinata sebagai tanda setuju.

“Oh iya, Nat, katanya kamu sakit, ya?”

Hinata mengangguk, “Iya, Ma’am. Maagku kambuh lagi. Tapi sekarang udah gak apa-apa, kok. Ma’am, gak perlu sekhawatir itu.” lalu terkekeh saat melihat mentornya memelototi Hinata.

“Pantesan, kemarin saya enggak melihat kamu pagi-pagi. Sai juga lembur sampai malam.”

Hinata memainkan kain lap, “Kok Ma’am tau, emangnya Ma’am nge-full juga?”

“Enggak, Pak Naru yang bilang. Katanya, dia gak ngelihat karyawan cewek di Hara Cafe and Resto.” Jawab Tsunade santai. Tangannya merogoh saku celana dan mengambil handphone untuk melihat pesan masuk yang beberapa saat lalu berbunyi.

Tanpa wanita itu sadari, setelah mendengar perkataan Tsunade yang menyangkut Naruto, Hinata sedikit merasa tercengang. Otaknya diselimuti banyak pertanyaan, tetapi ia menahan suaranya untuk lebih menggali rasa ketidaktahuannya.

“Oh, gitu.” bibir bawah Hinata digigitnya tanpa sadar.

“Ya udah, saya mau mengambil jadwal piket dulu ke bawah.” Hinata hanya mengangguk.


Hinata menumpu kedua lengan di atas pantry. Suasana hari Sabtu yang ramai membuat kedua kaki dan tangannya pegal. Bill menumpuk cukup banyak, tetapi gadis itu sangat malas untuk menyortir nomornya. Dia hanya ingin menikmati waktu santainya sejenak.

Alih-alih melamun, gadis itu tidak sengaja melihat Naruto yang berjalan keluar dari pintu karyawan. Tangan kanannya menggenggam walkie talkie. Sesekali raut wajah Spv. Hara Electro itu terlihat serius akibat percakannya yang entah dengan siapa.

Kelereng amethystnya masih belum memutus kontak dengan wujud lelaki itu yang kini berjalan menghampiri Tsunade yang sedang membantu di kasir Foodlife. Naruto mulai bercakap-cakap disana. Senyumannya tergaris dalam buaian obrolan mereka. Bahkan kekehan yang begitu akrab tak Naruto tutupi. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa pria itu diklaim pemilih dalam bergaul.

“Lagi ngelihatin siapa?”

“Ngelihatin Bapak Ayang,” Hinata menjawab dengan refleks, “E-eh, maksud gue Pak Naru,” dia baru menyadari kalau pertanyaan itu berasal dari seseorang.

Hinata melirik sekilas, ternyata pertanyaan itu berasal dari Yamato yang sudah duduk santai di sampingnya. Dia adalah seorang chef sekaligus orang yang paling dipercayai oleh Kakashi. Keahliannya dalam memasak hampir menandingi leadernya, bahkan Yamato pernah menciptakan sebuah resep dan menjadi best seller dari semua menu yang ada.

“Oh, emang apanya yang dilihatin?” tanya Yamato lagi.

“Bukan apa-apa, sih, adem aja ngelihatnya.”

Tiba-tiba Sai datang dan mengagetkan Hinata dengan tepukan keras pada kedua bahunya, “Hinata!”

“Sialan, lo! Gue kaget, Sai! Kalau gue jantungan, emang lo mau tanggung jawab?”

“Kamunya fokus banget ngelihatin Pak Naru, sampai enggak sadar Sai datang.” sambung Yamato.

“Haha, dasar drama komedi! Kalau lo udah tau, lo pasti illfeel.” sambar Sai.

Hinata mengurut dadanya yang masih berdebar-debar. Tanpa mendengar kelanjutan dari obrolan Yamato dan Sai, ia berdiri untuk mengambil air minum. Satu gelas penuh sudah gadis itu habiskan dalam sekejap.

“Ugh, lebih baik jangan ngomongin soal gosip itu lagi.” Yamato bergidik, kemudian disambut tawaan renyah dari Sai.

Hinata berdesis kesal, “Emang gosip apa, sih? Dari kemarin-kemarin gue nanya, tapi lo gak ngasih tau gue.”

Yamato berdiri, “Gosip apa? Aku juga enggak tau.” kemudian pergi ke dapur. Sai hanya beriul-siul demi mengalihkan diri dari pertanyaan Hinata.

“Sialan kalian!”

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang