Chapter 20

1.8K 188 35
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

W-what?!”

Yamato mendesah, namun sedetik kemudian ia menggerakan kepalanya untuk mempertegas pernyataan. Keingintahuan Hinata mengakibatkan Yamato terkecoh dan mengakui sesuatu yang berhasil menampar perasaannya. Yamato tidak mungkin bisa mengelak, karena wanita adalah kelemahan terbesarnya. Apalagi wanita itu adalah Hinata.

Iris amethyst itu membelalak, “… jadi Abang… dan Pak Naru… i-itu… kalian berdua…” keterkejutan Hinata membuat lidahnya sulit untuk mengolah kata dengan baik.

Entah bagaimana jalur pembicaraan mereka secara tidak sengaja bisa mengarah kesana, menuntut pria berambut coklat tersebut dengan sangat terpaksa mengakui masa lalunya. Masa lalu yang seolah-olah menjadi mimpi buruk yang terus membayangi sisa hidupnya. Kejadian yang sukar dienyahkan, dihilangkan dari akal dan dihindari dari kenyataan. Hinata merasa mual hanya karena membayangkan hal itu.

Untuk ukuran manusia normal, mungkin mendengar fakta menyedihkan tersebut akan menimbulkan perasaan jijik. Hinata nyaris muntah, ketika Yamato mengakui perbuatan terkutuknya dengan Naruto pada dua tahun silam. Namun, kejadian itu didasari karena ketidaksadaran Naruto, si pirang sialan itu mabuk dan mencium Yamato.

Sama seperti Yamato, Hinata juga adalah korban. Setiap perayaan ulang tahun Harajuku Plaza Square, sang Supervisor angkuh itu kerap melakukan kesalahan yang sama. Mencium orang lain saat mabuk. Dan Hinata menebak bahwa Naruto mengingat semuanya.

Jika Naruto tidak kuat terhadap alkohol, lantas mengapa ia harus meminumnya?

“Itu cuman kesalahpahaman,” ucapan Yamato memecah pemikiran sepihaknya, “Pak Naru pernah ngejelasin kalau dia mabuk saat itu.”

“Wah…” suara Hinata nyaris seperti orang yang kagum, “Gue gak bisa percaya, lo semudah itu membela dia.” terdengar decakan sebagai tanda ketidakpercayaan Hinata pada Yamato.

“Sudah, Hin, aku gak mau bahas lagi.” aktivitas masih menyela perbincangan mereka, “Lagipula, itu udah lama.”

“Iya, udah lama banget dan si Sai masih sering ngungkit hal itu sampe gue penasaran.”

Yamato tidak menanggapi dialog Hinata.

“Dan sekarang, lo ngaku hal sehina itu ke gue. Jadi ngebikin gue ngerasa illfeel ama Pak Naru. Gue sering denger banyak gosip-gosip gak enak tentang cowok itu, sampai ngejelekin dia seenak jidat. Well, gue juga rada gak suka sama sikap dia yang sok. Cuman, gue ragu sama anggapan orang yang bilang dia itu gay hanya karena ketahuan nyium lo se-kali.” Hinata mengingat sesuatu yang bersangkutan dengan ucapannya.

“Hm, tapi kamu harus tahu, Hin, gimana memalukannya waktu itu.”

“Ya, gue ngerti, Bang. Pisang sama pisang ciuman itu emang enggak banget! Ngebayanginnya aja gue pengen muntah.”

“Ya sudah, sekarang kamu udah tahu, ‘kan? Jadi kita gak perlu bahas ini lagi.” Yamato melanjutkan pekerjaannya.

Gadis itu menutup percakapan dengan kerutan didahi yang sulit dihilangkan. Akses otaknya masih mengembara pada situs-situs insiden tersebut. Penjelasan Yamato dan nasibnya nyaris sama, hanya saja Dewi Fortuna masih menganugerahi keberuntungannya pada Hinata. Tidak ada orang yang tahu bahwa ia juga salah satu korban cium Naruto.

Selain perasaan dongkolnya yang kian memuncak, Hinata pun memiliki setitik hasrat untuk mengungkap teka-teki yang masih belum terpecah. Hinata meyakini, ada maksud terselubung yang ditutupi oleh Naruto. Entah karena dorongan emosi ataupun yang lain, mencari kelemahan pria menyebalkan itu adalah tujuan Hinata.

Keluar pada malam hari diakhir pekan mungkin menjadi hal yang lumrah untuk sebagian orang, terutama bagi para muda-mudi yang memadu kasih bersama pasangan. Tidak heran jalanan menjadi padat, bioskop penuh dan beberapa tempat dikunjungi oleh berbagai kalangan, menjadikan Naruto merasa sedikit jengah.

Suasana malam Minggu yang romantis, mungkin tidak lagi romantis bagi pria itu. Keputusannya untuk keluar dari apartemen ternyata adalah sebuah kesalahan, apalagi melihat kostumnya yang sama sekali tidak senada. Ini semua gara-gara Sasuke.

Naruto harus mati-matian menahan emosinya ketika dihujami banyak tatapan kurang menyenangkan dari beberapa orang saat ia berjalan. Dan yang hampir membuat pria itu lupa cara bernapas adalah ketika memergoki sepasang kekasih yang bercumbu disebuah gang yang ia lewati.

Oh, astaga.

Ada perasaan yang membengkak di dalam hati Naruto. Keraguan menyelubungi meskipun wajah datarnya bersikap acuh. Butuh keberanian yang kuat hanya untuk melewati sepenggal iklan tersebut, melupakan kejadian idiot yang tayang dengan tanpa rasa malu. Mereka sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Naruto, malah semakin giat beraktivitas hanya untuk memupus hawa nafsu.

Naruto menyadari satu hal yang pasti, namun ia benci untuk mengakui. Sebuah hasrat terpendam yang nyaris sulit pria itu utarakan. Perasaan rindu dan mendamba, begitu bergejolak dengan hebat di dalam sanubarinya. Naruto pun menginginkan hal yang lebih dari sekedar mengekspresikan. Ia ingin memiliki hingga titik penyatuan——Cukup! Otak Naruto menari terlalu jauh.

Dengan cepat, pria itu melewati keidiotan mereka. Mengabaikan jantungnya yang bertalu dengan menghirup oksigen yang tersedia tanpa batas. Perasaan menggebu-gebu itu bersatu dengan hasrat lelakinya. Naruto terus mencoba menyingkirkan semuanya.

Kakinya sudah menapak keluar dari gang cabul itu, menyuguhi shappire birunya dengan segaris jalanan padat yang membentang memisahkannya dengan sebuah bangunan megah. Harajuku Plaza Square, tempat dimana Naruto bekerja. Pria itu baru menyadari jarak apartemen dengan pengabdiannya cukup dekat sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Satu per satu karyawan mulai berjalan keluar dari sana. Ini sudah pukul sepuluh malam, jam kerja sudah selesai.

Naruto memilih untuk berjalan menyinggahi sebuah pedagang kaki lima di sampingnya. Pria itu yakin, akan ada banyak mata yang mengenalinya. Dan ia tahu bagaimana reaksi mereka.

“Bang, nasi gorengnya satu. Dibungkus.” Mata biru Naruto masih berpacu pada segerombolan pegawai yang terus menerus berhamburan keluar. Gelagatnya yang mengendap-endap, menarik perhatian beberapa orang.

“Pedes mas?”

“Iya.”

Akhirnya Naruto memutuskan untuk duduk disebuah kursi yang disediakan, berbaur dengan para pembeli disana.

Pria itu masih tidak bisa memutus fokusnya untuk memperhatikan setiap pegawai yang satu persatu sudah mulai meninggalkan halte, hingga sesosok gadis lugu bersurai gelap menempatkan diri untuk duduk disana, sendirian.

Naruto mengerutkan dahi, menepis emosinya yang sedikit meletup karena kesal. Ketidaksopanan Hinata memang masih membekas, bahkan mungkin pria itu akan terus merasa dongkol karena ulah Hinata. Tetapi, ketidaknyamanan menyelinap dan membuat hati Naruto sedikit hilang fokus.

Bukankah Hinata sering membawa motor?

Gadis itu beberapa kali memainkan ponselnya, terlihat gelisah bercampur kesal ketika orang yang ia hubungi tidak segera menjawab. Rautnya mengundang perasaan yang cukup menyenangkan, sampai tergaris pada bibir Naruto yang tipis. Naruto merasa dendamnya tercicil melihat kesengsaraan Hinata saat ini.

Waktu terus berjalan. Malam semakin larut dan Hinata masih belum pergi dari pandangan Naruto. Di seberang sana, Hinata tampak gelisah menunggu yang entah siapa pun itu. Gadis itu masih mengotak-atik ponselnya dengan sesekali melirik jam tangan. Dan sekali lagi, Naruto tersenyum.

“Mas, ini nasi gorengnya.” Sang pedagang kaki lima menyadarkan Naruto. Entah sadar atau tidak, pria itu seolah-olah kebingungan menerima pesanannya.

“Oh, iya. Makasih.”

Masih terus tertuju memperhatikan Hinata, dengan senyuman yang malengkung manis dibibirnya, seketika semuanya pudar saat sesuatu tidak menyenangkan terjadi. Shappire Naruto melebar dengan  gejolak asing yang tiba-tiba menyelubungi perasaan. Dengan segera, Naruto berdiri.

Gadis itu dalam bahaya.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang