Chapter 15

2.1K 204 14
                                    

Warning : Bahasa kasar bertebaran! Mohon jangan ditiru.

Naruto © Masashi Kishimoto

Dari balik pantry, Hinata terus mengamati orang-orang yang berjalan kesana-kemari demi mendapatkan tujuannya. Iris mutiaranya menatap kosong dan malas, menciptakan kesan kurang ramah. Hampir setiap customer yang bersinggah gagal mengorder karena raut wajah tak menyenangkan itu. Entah, gadis itu akhir-akhir ini lebih banyak merenung ketimbang menebar keceriaan yang biasa ia lakukan.

Gadis itu akan sigap dengan keprofesionalannya menghadapi para pembeli demi menguras habis isi dompet mereka. Biasanya, Hinata akan dengan senang hati melayani mereka dengan penuh senyum dan keramah-tamahan, sehingga menyisakan rasa puas bagi para pelanggan.

Namun, perubahan sikap Hinata bukanlah tanpa alasan. Meskipun pada dasarnya ia harus memisahkan antara urusan pribadi dengan pekerjaan, kali ini Hinata kesulitan untuk mengontrol diri.

Hembusan nafas menyesakkan kerap mendominasi pernapasan. Beberapa kali gadis itu menghela begitu berat dan dalam. Lingkar kehitaman juga tampak membingkai kedua bawah mata Hinata. Wajah imutnya terlihat lesu tak bergairah.

Terbesit satu rekaman kecil yang hadir menguasai pikiran gadis itu. Ingatan yang ingin ia lupakan seumur hidup. Ingatan yang bahkan dirinya masih tidak bisa mempercayai akan semua rangkaian kerjadian tersebut. Dan kejadian itulah yang menjadi alasan dari kekacauan dirinya sekarang, menghadirkan letupan emosi yang membara sampai mendidihkan isi kepalanya.

Tetapi, selain emosi yang tak pernah redup pun mucul rasa bersalah yang berkepanjangan. Hinata menyadari satu hal yang pasti, kejadian itu adalah sebuah ‘kecelakaan’ murni yang memuakkan namun menyisakan kenangan yang sulit untuk ditepis jauh-jauh. Dan yang kedua adalah Hinata tidak memaklumi ‘kecelakaan’ tersebut dan malah meladeninya dengan serius.

Dan akhirnya, Hinata menyesal ketika melihat beberapa luka lebam yang tampil percaya diri diwajah tampan Naruto.

Sial.

Shappire itu nyaris menangkap basah amethyst Hinata yang diam-diam memperhatikannya. Hinata menyembunyikan diri segera setelah Naruto menyadari keberadaannya, di balik meja pantry. Ketidakberdayaan Hinata begitu kontras karena ulahnya sendiri, meskipun gadis itu tidak yakin kalau Naruto mengingat secara rinci.

Detakan tak beraturan berhasil lolos bersama semburat kemerahan yang menegaskan rasa malu. Iramanya beriringan dengan rasa tercubit pada ulu hati. Dada Hinata terasa sempit sekali, seakan oksigen pun menentang untuk diakses.

Astaga, apa yang terjadi?

Seharusnya gadis itu tak perlu melakukan hal konyol seperti ini dan tetap mengabaikan semuanya. Bagaimana jika kenyataannya Naruto tidak pernah mengingat apapun pada malam itu? Tentu saja hanya Hinata yang begitu bodoh disini.

Gadis itu kembali membenarkan posisinya, duduk dengan tetap mengabaikan sekitar. Suara detakan tak beraturan terus meracuni pendengarannya, menghadirkan kegelian yang sama sekali tidak nyaman. Tetapi, ketekadannya terus berperang bersama perasaan. Bagaimanapun juga ia sedang bekerja. Hinata hanya perlu fokus.

Okay, semuanya bakal baik-baik aja.”

“Dua orderan lagi, gue pulang ya.” Hinata menyeru dengan suara khasnya, menepis perasaan tak nyaman itu dengan terus mencoba berinteraksi seperti biasa.

Sungguh, hari ini terasa panjang untuk dilalui. Hinata ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan pulang. Walau tak terpungkiri, setelah menerima cuti tiga hari Hinata pun mendapat pengurangan jam kerja selama tiga minggu ke depan sebagai ganti lemburan yang dia isi selama Sai tidak masuk.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang