Chapter 41

576 91 4
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Hinata meyakini, hampir setengah jam lamanya mereka harus bersembunyi dibalik reruntuhan kotak kardus bekas. Kedua kakinya terasa keram dan kesemutan, dengan udara yang semakin lama kian gerah. Entah memang karena pengap ataupun hal lain. Sejauh ini pula jaraknya bersama Naruto nyaris bersentuhan.

Debaran dirongga dada sama sekali tak memelan. Ritmenya serasa begitu kacau. Hinata maupun Naruto sama sekali tidak mengerti, hanya khawatir dengan degupan itu yang seolah mendominasi indera pendengaran mereka. Ditambah, aroma khas yang menguar pada penciuman membawa keduanya mengulang memori. Mereka meyakini dengan bau wangi dari masing-masing yang terasa begitu familiar.

Naruto melirik Hinata dari ekor mata. Gadis itu tampak mungil dibawah kukungannya. Sejujurnya Naruto tidak sengaja membuat posisi yang cukup intim tersebut. Memojokkan gadis itu disudut dengan satu tangan yang menyangga tubuh besarnya. Bahkan, Naruto semakin tidak mampu bergerak karena beberapa kotak kardus itu nyaris jatuh. Punggungnya menahan agar kardus-kardus itu tidak sampai mengenai lantai, membuat suara yang akan dicurigai oleh segerombolan karyawan disana.

Sekali lagi, Naruto menatap Hinata. Dengan jarak sedekat itu, Naruto memperhatikan beberapa hal dari perempuan itu. Bulir-bulir keringat terlihat mengumpul didahinya. Rambut gelapnya nyaris tergerai. Mata keunguan yang bulat, berpadu dengan hidung mungilnya. Pipi seputih susu, bertabur rona kemerahan yang tampak samar. Terakhir, bibirnya yang tipis berwarna merah muda alami. Naruto nyaris menelan ludah jika saja dia tidak langsung sadar dengan pikirannya. Bahkan, lelaki itu masih sempat mengingat sesuatu memalukan. Buru-buru, Naruto menggelengkan wajahnya.

Hinata menyadari ulah lelaki dihadapannya. Gadis itu mendongak, menatap Naruto dengan pandangan bingung. Dia tidak yakin dengan apa yang terjadi pada lelaki berkulit sawo matang itu, seolah sesuatu hal sedang mengganggu pikiran.

"Pak?" bisiknya. Kedua mata bulatnya semakin menyorot khawatir. Naruto yang segera sadar, membalas tatapan Hinata.

"Ada apa?" Hinata bertanya masih dengan suara yang teramat pelan. Bahkan nyaris suara itu tak keluar. Padahal suara-suara berisik dari sana tidak akan membuat percakapan mereka menonjol. Ruangan loker itu cukup luas, bahkan serasa suara segerombolan pegawai itu lebih mendominasi.

Naruto hanya memberi isyarat dengan menggelengkan kepala, kemudian melempar tatapan ke sembarang arah. Seharusnya, kali ini Hinata sadar detak jantung Naruto semakin hebat. Tetapi tampaknya gadis itu tak menghiraukan.

Hinata berdecak pelan ketika melihat sikap lelaki itu. Naruto tetap saja angkuh dan dingin. Padahal beberapa waktu lalu Naruto agak berbeda. Sisi lainnya pernah terlihat walau hanya sebentar.

Gadis itu merasa sebal beberapa saat.

Suara-suara disana tampaknya mulai berkurang. Satu persatu para pegawai mulai datang dan pergi kembali hanya untuk mengambil barang-barang mereka. Atmosfer terasa sedikit lengang, meskipun mereka yakin masih ada beberapa pegawai.

Tiba-tiba, Naruto mengerutkan dahi. Sesuatu yang menggelitik seolah mengganggu indera penciuman. Rasanya begitu geli dan gatal. Naruto yakin sesuatu telah masuk melalui lubang hidungnya.

Hinata menyadari tingkah Naruto yang mulai gelisah. Dia kembali menatap pria itu.

"Kenapa Pak?" bisik Hinata.

Lelaki itu melirik sekilas, "Sepertinya… sa-saya—" napas Naruto tersendat-sendat. Hidungnya semakin geli. Naruto ingin bersin.

Mata Hinata melebar. Wajahnya berubah gelisah.  Jika Naruto bersin, terbongkar sudah semuanya. Apalagi, diluar sana masih ada orang lain. Secepat kilat jemari Hinata menekan kuat-kuat hidung mancung Naruto, berharap rasa geli dihidungnya akan mereda. Kedua pipi lelaki itu menggembung. Menahan sesuatu yang nyaris keluar.

Hinata merasa lega. Naruto benar-benar bisa menahan bersinnya. Perlahan-lahan jemarinya melonggar kemudian menjauh. Tetapi sialnya, Naruto kembali merasakan hidungnya menggelitik, jauh lebih serasa geli dari sebelumnya. Hinata yang melihat itu terserang panik, dia akan segera menyumbat kembali hidung Naruto, tetapi pria itu sudah tidak mampu menahan bersinnya lagi.

"HAAATCUUUH!!"

Ruangan itu menggema, diiringi dengan kardus-kardus yang ditahan Naruto mulai berjatuhan. Menciptakan kegaduhan yang membuat mereka serasa terciduk. Sementara Hinata menutup matanya begitu rapat. Pasalnya, Naruto bersin tepat didepannya. Percikan air liur nyaris mendominasi wajah cantiknya.

"Maaf." Naruto menggesek hidungnya yang benar-benar gatal.

Gadis itu mendengkus. Emosinya menyulut. Hinata benar-benar marah saat ini. Matanya yang langsung terbuka langsung menyorot Naruto tajam.

"Iiihh!!" teriak Hinata, "Kenapa mesti bersin dimuka gue?!!" amarahnya nyaris meledak, "Jijik! Bau lagi!!"

Secepat kilat tangan Naruto membungkam mulut Hinata, sorot matanya menajam sekaligus terlihat cemas. "Psssttt… diam! Kenapa kamu malah teriak?" tatapan mereka beradu, saling menunjukkan ketidaksukaan.

"Siapa disana?"

Seseorang menyeru. Hinata dan Naruto terperajat, kedua kaki dan nyaris sekujur tubuh seketika terasa kaku. Suara langkah terdengar mendekat. Orang itu tampaknya ingin mencari tahu sumber kebisingan.

Hinata menggigit bibirnya. Emosinya dirundung kekhawatiran alih-alih kesal. Naruto pun merasakan hal yang sama, meskipun emosinya tidak tergambar.

Siluet orang tadi terlihat, Naruto menoleh. Rasanya mereka begitu sulit untuk sekedar bergerak. Fungsi vital benar-benar membeku.

"Kalian?!"

Hinata dan Naruto terlonjak saat suara berat itu terdengar. Keduanya menoleh, melihat pada orang yang berhasil menemukan mereka. Sekatika, iris mereka melebar.


My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang