Chapter 34

735 135 8
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

...

Hinata menatap punggung Naruto yang terlihat lebar. Semenjak Saara pergi, tak sepatah katapun Naruto berbicara. Dia hanya berdiri di ujung rooftop, memandang keindahan perkotaan yang terhampar jelas dari sana. Kedua tangan besarnya bersembunyi dibalik saku celana katunnya dengan elegan. Mengirim aura dingin dan misterius, seperti biasa.

Hinata mengerti, perasaan Naruto kali ini mungkin sedang kacau. Hari ini benar-benar sangat melelahkan, setelah perdebatan panjang yang berakhir dengan hubungan mereka yang ikut usai. Gadis itu merasa sedikit bersalah sekaligus iba. Bagaimanapun juga, Hinata pernah menjadi alasan dibalik pertengkaran diantara mereka.

"Lo ngelamun?"

Tiba-tiba saja Sasuke menepuk bahu Hinata. Ia agak terkejut, hampir melupakan keberadaan pria itu.

"Enggak, kok." Hinata masih melihat ke arah Naruto yang agak jauh, "Saya cuma kedinginan." bohongnya.

Sasuke tersenyum samar, sadar dengan kebohongan kecil yang Hinata lakukan. Kemudian, pria itu mencoba untuk mengalihkan perhatian Hinata, "Hey, lo gak lupa kan buat bersikap santuy dikit ama gue?"

"Tapi, Pak---"

"Panggil gue Sasuke." jawab pria itu dengan cepat. Sasuke tidak pernah mau dibantah, itu yang Hinata tahu. Semua keinginannya adalah mutlak, tanpa ada protes lagi.

Gadis itu mengangguk pasrah. Ia tak ingin memperdebatkan lagi sesuatu hal semacam ini. Tenaganya sudah habis sejak tadi. "Terserah, deh."

Sasuke tersenyum puas, "Good girl."

Hinata memicingkan irisnya dengan tajam, memperlihatkan setidaksukaannya terhadap sikap Sasuke. Dan, malam ini Hinata benar-benar dibuat kesal oleh Sasuke dengan beberapa perihal tentunya.

"Anda tadi kemana saja, sih? Mau numbalin saya, ya?"

Sasuke tertawa. Hinata memang gadis yang unik, menurutnya. "Gue sejak tadi duduk disana, kok. Nontonin kalian bertiga."

"What?! Lo, astaga, jangan-jangan lo juga---"

"Yep!"

Mulut Hinata menganga. Dia merasa dibodohi. Gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau Sasuke ternyata sengaja membuat panggilan telepon pada Hinata. Dan sialnya, Hinata sama sekali tidak menyadari itu. Saat itu, Hinata terlalu panik. Otaknya benar-benar beku.

Sasuke tertawa terbahak-bahak, "Haha, tapi gue gak nyangka lo penggemar dangdut koplo!"

"Berisik, ah!"

Sasuke perlahan-lahan menormalkan tawanya. Pria itu beberapa kali menarik napas agar tidak merasa geli. "Nah, sekarang lo harus minta maaf ke Naruto." ujarnya.

"Dih, kok, gue?!" pekik Hinata tidak terima, "Lo sendiri, kan, yang salah! Kenapa gue yang minta maaf coba."

"Kalo gak mau, ya udah." Kemudian pria itu malah berteriak pada Naruto, "Nar, lo anterin pulang Hinata, ya! Gue ada urusan."

Sekali lagi, Hinata kembali dikejutkan oleh tingkah Sasuke yang tak terduga. Berkali-kali ia menggeram karenanya. Kepalanya merasa ingin pecah lantaran emosi sudah hampir membeludak disana.

"Apaan, sih!" gadis itu setengah menahan suaranya alih-alih melirik ke arah Naruto yang langsung merespon dengan gerakan kepala yang menoleh.

Pria dengan rambut kelam sewarna langit malam itu tersenyum puas, sebelum akhirnya benar-benar pergi dengan lambaian tangan. Membuat gadis itu semakin kesal.

...
...

Hinata dan Naruto berjalan menuju parkiran khusus karyawan. Tak sepatah katapun sedari tadi keluar dari mulut mereka. Keduanya terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Apalagi bagi Hinata, entah mengapa ia merasa sangat gugup.

Suasana malam yang dingin. Langit gelap yang tampak indah dengan taburan bintang. Tak menyangka malam ini banyak hal yang tidak terduga. Seolah takdir kembali mempermainkan mereka.

Hinata juga tidak tahu kapan terakhir kali ia berbicara dengan Naruto. Mengingat statusnya saat itu, juga Saara, bahkan sikap Naruto yang seolah meminta jarak agar mereka tidak mengenal satu sama lain.

Dan tiba-tiba saja hari ini...

Tidak terasa langkah kakinya sudah memasuki area parkir. Hinata menatap Naruto sudah semenjak tadi berdiri disamping motornya. Dengan perasaan ragu, gadis itu menghampiri Naruto.

"Anu, Pak..." ia mulai bersuara, "Kalo Bapak keberatan, saya bisa kok, pulang sendiri." katanya. Mungkin karena gugup, Hinata yang semula sarkastik terhadap Naruto mampu berbicara begitu sopan.

Naruto melirik pada Hinata dengan tatapan datarnya, "Gak apa-apa." balasnya singkat.

"Uh, saya dijemput, kok, Pak!" tegas Hinata, "Ada Abang saya..."

Naruto menatap Hinata sebentar, kemudian menjawab, "Kalo begitu, hubungi dia."

"Ah!" Hinata hampir lupa. Sebelumnya Neji menitip pesan untuk memberikan kabar segera setelah jam kerja usai. Dan ini sudah lewat satu jam. Gadis itu agak ragu.

Dengan cepat ia mengambil handphonenya, memijit nomor dial untuk segera menghubungi Neji. Perlu beberapa kali untuk menghubungi kakak sepupunya tersebut, namun tidak diangkat.

"Uh!" Gadis itu mulai kesal. Dia pun kembali mengirimi beberapa pesan singkat pada Neji. Tetapi, masih nihil.

Hinata terus mencoba menghubungi Neji. Hasilnya tetap sama. Pria tua itu sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Emosi Hinata mulai naik turun. Antara kesal dan bimbang. Semua argumen bercampur aduk di dalam pikiran. Kalau saja bukan karena Sasuke, Hinata tidak akan terjebak dengan situasi semacam ini. Lagipula, mengapa Naruto pun tak menolak?

Iris unik itu menatap muram ponselnya. Dengan ragu, Hinata berbicara, "Anu, Pak... gimana kalo saya naik angkutan umum aja..."

Naruto memandang Hinata. Tatapan yang masih sama, tanpa secuil ekspresi yang terbit. Membuat Hinata bimbang sendiri, takut jika Naruto merasa terpaksa.

"Gak ada angkutan umum jam segini." suaranya yang berat terdengar agak serak. Hinata sedikit bergidik, entah karena apa. Mungkin udara semakin dingin dan malam kian larut.

"Ta-tapi, Pak..."

"Biar saya antar." Naruto mulai menaiki motor dan menyalakannya.

"Rumah saya jauh, Pak. Mending saya..."

"Udah. Cepetan naik. Ini udah malam. Kamu harus pulang."

Hinata tertegun. Suara Naruto begitu dingin, namun terasa lembut menyapa indera pendengaran. Tubuhnya meremang merasa merinding. Sesuatu hal seakan membuatnya sadar, tetapi justru memberi perasaan bersalah.

Gadis itu memutuskan untuk menurut. Segera ia meraih helm penumpang di tangan besar itu, kemudian memakainya.

"Maaf, ya, Pak. Saya ngerepotin." ujar Hinata.

"Enggak. Justru... saya ingin berterimakasih." Segaris senyum mematri samar di wajah Naruto. Entah sadar atau tidak, ucapannya membuat gadis itu merasa bingung.

"Kenapa berterimakasih? Selama ini saya kan..."

"Udah. Ayo naik."

Tanpa Hinata sadari, senyum itu terus mematri dibibir Naruto.

...
...

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang