Chapter 35

687 135 6
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

...

Naruto meregangkan kedua tangannya yang terasa kaku. Beberapa jam berlalu begitu cepat, setidaknya pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak seperti biasa. Namun, laporan keuangan, penjualan dan pembelanjaan harus tetap dicatat secara detail, seberapa besarpun. Pekerjaannya sebagai seorang supervisor memang tidaklah mudah.

Selain menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, Naruto pun harus aktif dilapangan. Tentu saja, itulah alasan mengapa dia tidak memiliki ruangannya sendiri. Setidaknya, dia bisa dengan mudah berkomunikasi dengan semua bawahannya secara langsung.

Naruto berdiri, mengedarkan pandangan. Semua koleganya sibuk berinteraksi dengan calon pembeli. Ia menanggalkan sebuah senyuman, merasa bangga. Strategi penjualannya berhasil, seperti biasa.

Naruto meraih gelas kopi hitamnya yang masih mengepul. Aromanya begitu khas, menyapa indera penciumam. Memberikan relaksasi yang menenangkan. Ia mulai menyesap kopi itu, rasa manis dan pahit langsung terasa dilidah. Perpaduan kenikmatan yang tidak dapat Naruto gambarkan. Rasa letih langsung hilang dalam sekejap.

Alih-alih menikmati secangkir kopi, tanpa sengaja matanya melihat jauh ke arah sana. Shappire itu menatap sesosok gadis berambut gelap, sedang mengobrol dengan rekan kerja disampingnya.

Setelah malam itu, dia benar-benar belum menemukan kesempatan untuk bisa berbicara lagi. Namun, ada sesuatu hal yang lain setelah malam itu. Mereka tidak lagi saling menghindar, setidaknya tatapan Hinata kali ini terlihat lebih akrab. Mereka hanya saling melempar senyum saat bertemu, layaknya interaksi atasan dan bawahan pada umumnya.

Tanpa sadar, Naruto tenggelam dengan pikiran. Matanya masih fokus pada gelagat perempuan itu.

Namun, didetik berikutnya, manik mutiara itu bertaut dengan tatapan Naruto. Hanya beberapa saat, kemudian keduanya saling memutus kontak. Naruto bergidik, tubuhnya meremang sesaat.

Pria itu kembali duduk, mencari objek untuk menetralkan rasa tidak nyaman. Tanpa sadar, seseorang sudah duduk disamping mejanya, menatapnya dengan geli.

"Lo kenapa?"

Ada tawa disela kalimatnya, membuat Naruto agak tersentak. Sosok itu selalu saja muncul tiba-tiba, seperti setan. Datang tak diundang, tapi pulang menumpang.

"Dari kapan lo disitu?" tanya Naruto agak ketus. Ia mulai mengendalikan diri. Kembali dingin dan datar.

Sasuke tergelak. Perutnya benar-benar geli menangkap basah perbuatan Naruto. "Gue? Udah lama... ya, lumayan puas ngeliat lo salting."

Naruto mengabaikan ucapan Sasuke. Memilih menganalisa beberapa pekerjaannya yang masih ada dilayar laptop. Tangan kanannya mulai gencar menscroll disana dan mengedit beberapa hal.

"Jadi, gimana?" tanya Sasuke, ambigu.

Naruto masih mengabaikannya. Sudah berapa kali temannya terus-terusan menyerangnya dengan berbagai pertanyaan, yang tentu saja menurut Naruto tidaklah penting. Semenjak malam itu, Sasuke gencar mewawancarai Naruto. Seperti seorang pemburu berita yang haus informasi seputar gosip.

Mengingat kata gosip, Naruto sudah menjadi perbicangan dihampir penjuru mall. Kabar putusnya dengan Saara sudah menyebar dengan cepat. Dia yakin, Saara membesar-besarkan masalah dan memutar-balikkan keadaan. Tapi, Naruto tidak peduli.

"Apanya?" balas Naruto, tak acuh.

"Lo harusnya berterimakasih ke gue. Berkat gue, akhirnya benih-benih cinta akan tumbuh lagi setelah kisah lo dan Si Lampir kandas..."

"Gue emang berterimakasih. Tapi bukan karena itu. Seenggaknya, lo udah nyelametin harga diri gue."

"Terus, si Hinata gimana?"

"Emang dia kenapa?"

Sasuke mendecih, "Gak usah dibego-begoin. Entar bego beneran!"

Naruto hanya mengedikkan bahunya.

"Gue serius, Nar. Lo entar nyesel."

"Gue juga serius."

Sasuke menghela napas. Menyikapi Naruto memang membutuhkan tenaga yang ekstra. Meskipun sudah terbiasa, tetapi Sasuke selalu gemas terhadap temannya tersebut. Selain dingin, Naruto juga tipikal orang yang selalu menyangkal perasaan. Pria itu agak sulit untuk bisa jujur pada dirinya sendiri.

Tetapi, meskipun begitu, Naruto pun kerap memiliki tingkat keyakinan yang tidak ada seorangpun mampu membantah. Tentu saja, sikap seperti itu tidak ia terapkan dalam pekerjaan, lain halnya dengan urusan pribadi. Meskipun Naruto cukup cerdas dan berkompeten dalam bidangnya, sebenarnya dia adalah pria yang kaku.

"Gue masih sangat penasaran. Malam itu, lo nganterin Hinata, kan?" kembali Sasuke memberi pertannyaan yang entah sudah berapa juta kali keluar dari mulutnya.

Naruto melirik, matanya berkilat dingin, "Harus gue jawab lagi?" Ia mendengkus dengan bosan.

"Gue yakin, lo bohongin gue."

"Enggak."

"Lo anterin dia, kan?"

"Enggak."

"Ngaku lo!"

"Gue udah jujur."

"Gue mencium bau-bau dusta..."

"Gak."

Sasuke memijit pelipisnya. Emosinya mulai dongkol. Sasuke merasa menyesal meninggalkan mereka malam itu, bukannya membuntuti mereka.

Bukan tanpa alasan, Sasuke memang sengaja membuat umpan. Dia hanya penasaran dan ingin meyakini asumsinya, meskipun situasi dan kondisi saat itu diluar prediksi.

Seberapa jauh perasaan mereka selama ini?

Tanpa ada seorangpun yang sadar, benih itu sudah mulai tumbuh meski tak tahu kapan tepatnya. Mereka hanya terlalu bodoh, keduanya saling menangkis emosi. Mereka menganggap insiden itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan belaka.

"Kalo perasaan?"

Naruto agak terdiam sesaat, "Enggak ada."

"Serius? Lo gak ada perasaan apa-apa ama Hinata?"

"Serius."

"Sedikit pun?"

"Sedikit pun."

Mata hitam Sasuke mendelik. Ingin sekali dia membungkam mulut Naruto yang begitu pandai berkelit.

Tiba-tiba, terbesit ide dalam otak Sasuke.

"Lo tahu, Hinata itu unik menurut gue." Sasuke merogoh saku celananya, mengambil sebuah handphone. Ia bermaksud memamerkan nomor kontak Hinata pada Naruto.

Pria berambut pirang itu mencuri pandang dari ekor matanya. Sasuke menekan foto profil gadis itu yang tampak begitu memesona.

"Cantik, lugu, telihat polos, tapi dia bermental besi. Tubuhnya bener-bener berisi bahan bangunan. Kuat, kokoh dan terpercaya!" mata Sasuke berbinar, "Gak ada cewek sekuat dia."

"Awalnya, gue gak niat buat serius deketin dia. Tapi, ternyata gue salah." Sasuke tersenyum lembut, "... tanpa sadar muncul perasaan lain."

Sasuke melirik ke arah Naruto. Ekspresi Naruto berubah tegang. Meski sesaat, Sasuke meyakini satu hal. Naruto agak terganggu dengan ucapannya.

Secepat kilat wajah rupawan itu kembali dingin. Seolah semua gertakkan yang Sasuke lakukan tidak berpengaruh sama sekali. Naruto berdiri, kemudian memukul kepala Sasuke dengan setumpuk berkas ditangannya.

"Berhenti tersenyum. Lo bikin gue jijik." Naruto berlalu begitu saja.

"Sialan lo!" dan Sasuke pun menyusulnya.

...
...

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang