Chapter 8

2.3K 220 7
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Tiga minggu terlewati dengan rasa lelah yang begitu kentara membebani tubuh gadis itu. Selama tiga minggu ini, banyak kelalaian yang ia lakukan. Tak ayal, beberapa komplain dari customer sering menghadiahinya hampir setiap hari. Entah itu salah pesanan, salah memberikan pesanan, kelebihan menulis pesanan dalam bill yang menciptakan kerugian bagi pelanggan.

Bukan karena ramainya pembeli yang menjadi alasan Hinata sering mengalami gagal fokus. Seiring berlalunya insiden saat itu dan usaha kerasnya menarik perhatian pelanggan, perlahan-lahan customer kembali bertambah. Setidaknya itu lebih baik dari sebelumnya. Dan mungkin karena diskon pun sudah mulai diberlakukan.

Memang tak terpungkiri. Tanpa Sai, Hinata tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan maksimal.

Bahkan, akhir-akhir ini pun Naruto dan beberapa staff lain sering mengunjungi counter mereka walaupun sekedar memesan kopi dan minuman dingin. Dan tentu saja, selalu ada beberapa dari mereka menyinggung soal Sai, sampai membuat Hinata bosan untuk menjelaskannya.

Pukul setengah empat, Hinata sudah melaju mengendarai roda duanya dengan rasa kantuk yang masih terasa berat. Perjalanan menuju tempat ia bekerja menyita waktu sekitar tiga puluh menit. Cukup terbilang jauh.

Angin subuh menerpanya berlawanan, membuat hampir seluruh tubuh Hinata mengingil kedinginan. Jika bukan karena acara itu, Hinata enggan untuk pergi sepagi ini. Apalagi tubuhnya terasa pegal dan sakit karena kurang istirahat.

Untung saja, Kakashi mengizinkannya libur untuk tiga hari kedepan.

Motornya memasuki kawasan parkir karyawan. Hinata memarkirkannya dekat dengan gerbang, agar dia mudah untuk mengambilnya kembali. Jajaran parkiran paling depan digunakan oleh para staff, setidaknya sudah cukup terlihat penuh.

“Astaga, gue kedinginan.” Hinata tidak berminat membuka sarung tangan dan jaket tebalnya. Ia langsung pergi ke loker pegawai untuk menyimpan beberapa barang.

Di loker tampak penuh oleh beberapa pegawai dari berbagai macam bagian. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan. Suasana begitu riuh karena obrolan tidak penting yang mereka ciptakan, bahkan ada juga yang berebut cermin full body yang memang disediakan satu saja. Padahal, masih ada cermin lain yang tersedia kalau hanya sekedar ingin touch up.

Hinata menghela nafas. Keadaan semacam ini membuat sakit kepalanya bertambah. Dengan cepat, ia menyimpan barang-barangnya di dalam lemari loker lalu menguncinya kembali. Gadis  itu pun keluar dari ruangan bising tersebut.

Dalam langkahnya menuju scan absensi, seseorang menepuk kedua bahunya sekuat tenaga.

“Woy, Nat! Apa kabar? Lo gak kangen sama gue, ‘kan?” dia adalah seorang pemuda berkulit putih pucat sekaligus merangkap sebagai rekan kerja Hinata, Sai.

Gadis itu terperanjat, “Sialan, lo! Ngagetin gue aja.” wajahnya menampilkan ekspresi tak bersahabat meskipun dalam hati Hinata ia merasa senang.

Sai mulai berjalan berdampingan dengan Hinata, “Jelas, ‘kan? Udah tiga minggu gue gak jahilin lo.” yang mendapat decihan singkat dari gadis itu.

Hinata dan Sai men-scan sidik jari mereka sebagai tanda bukti kehadiran, lalu mengikuti instruksi untuk menuju aula terbuka yang begitu luas dan sudah didesain seperti lapangan sepak bola. Setelah menapaki tempat yang dimaksudkan, mereka disuguhi dengan suasana ramainya orang-orang. Jajaran staff masih disibukkan dengan persiapan podium untuk sambutan yang akan dilakukan Manajer sebelum memulai acara.

Para karyawan dimintai scurity untuk mendudukan diri di tempat yang beralaskan karpet rumput tersebut secara tertib. Suasana masih gelap dan dingin menusuk dengan pencahayaan minim dari lampu kerlap-kerlip yang mengelilingi seluruh sudut. Bahkan hampir semua didekorasi oleh lampu kerlap-kerlip itu, tentu saja dengan berbagai jenis agar terlihat indah saat dipandang. Hinata berbaur dengan entah siapa saja, karena tadi ia sempat berpisah dengan Sai.

Hiruk pikuk yang dihasilkan oleh para karyawan akhirnya mereda setelah Manajer naik ke podium. Suasana tampak begitu khidmat, membuat Hinata merasakan kembali kantuknya yang cukup berat. Telinganya sama sekali tidak fokus untuk mendengarkan apapun yang Manajer pidatokan. Sesekali ia terbangun karena sorakan dan tepukan tangan.

“Hin, bangun, Hin.” kata seseorang, “Kita disuruh berdiri buat senam.”

Hinata melenguh sesaat, lalu melihat siapa yang membangunkannya, “Oh, Ino? Emangnya gue ketiduran?” matanya menyipit saat menyadari kalau matahari sudah akan terbit.

“Lo tidur dari Pak Hashirama pidato,” gadis itu membantu Hinata berdiri, “Untung lo duduk pas diantara anak-anak foodlife.”

Hinata tersenyum lebar, “Hehe, sorry, deh.”

Mereka pun mengambil posisi. Senam pagi diawali dengan pemanasan terlebih dahulu, kemudian musik, bukan, lebih tepatnya video diputarkan dan dapat ditonton melalui pantulan sinar proyektor pada layar.

“Dih! Itu sih bukan senam, tapi tarian pinguin.” hampir semua mengumpati apa yang para staff hadiahkan kepada mereka. Pasalnya, tarian itu sering diputar saat ada kontes tarian anak-anak.

Hinata menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Dia merasa begitu idiot untuk melakukan tarian semacam itu. Amethystnya melihat Ino yang asyik mengikuti arahan dalam video tersebut. Tidak hanya Ino, Hinata juga melihat Yamato, Sai, Kakashi dan beberapa rekannya yang lain menari-nari layaknya yuwana.

“Astaga, mereka semua gila!” umpatnya.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang