Chapter 46

718 111 4
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Hinata masih mengulang-ulang memori yang tidak bisa dengan mudah ia hentikan. Tiba-tiba saja, Naruto menanyakan sesuatu hal yang sejujurnya tidak ingin ia bahas. Barangkali lebih baik kalau lelaki itu benar-benar tidak akan pernah mengingat apapun. Karena jujur saja, Hinata merasa malu. Keteledoran dari sikap yang akhir-akhir ini semakin terasa bodoh, bahkan nyaris tidak terkendali. Hinata sama sekali tidak mengerti mengapa dia selalu demikian, seolah ada hal yang membuatnya serasa lain. Sensasi yang menyenangkan sekaligus membuat candu.

"Jujur, saya lupa. Mungkin hanya beberapa hal yang saya inget." Naruto kembali bersuara, matanya masih menyorot dingin pada gadis itu, "Maaf kalo saya lancang. Saya hanya mau mastiin, kalo saya gak ngelakuin hal gak sopan lagi ke kamu."

Hinata tertegun. Alih-alih, dia bisa merasa lega untuk beberapa saat, meskipun kekhawatiran mendominasi lebih kentara. Tetapi, hal menarik secara bersamaan membuat gadis itu mengulum segaris senyum tipis.

Entah mengapa, Hinata agak senang ketika Naruto mau lebih terbuka. Dan lelaki itu tampak tidak ragu untuk mengatakan sesuatu hal yang mengganggu baginya. Naruto sudah mulai mau menyuarakan pikirannya, bahkan beberapa hal yang lain pun mulai menggugurkan image dinginnya. Entah karyawan lain menyadari atau tidak, atau mungkin Naruto demikian hanya pada Hinata saja. Yang jelas, perubahan itu memberikan kesan baik bagi Hinata.

"Enggak, Pak," ujar Hinata, "Gak ada hal yang harus Bapak inget. Mungkin sebaiknya Bapak gak perlu nginget-nginget lagi." yang lebih jelas, Hinata tidak mau ketahuan melakukan tindakan tidak senonoh terhadap salah satu atasannya tersebut. Terlalu memalukan. Tidak tahu seberapa kalipun Hinata menyumpahi dirinya sendiri, semua itu tidak akan terhapus dengan mudah.

Lelaki itu menaikkan intesitasnya untuk memperhatikan Hinata. Kedua sudut pipi Hinata samar-samar terlihat merona. Mata keunguannya bahkan bergerak gelisah. Rautnya agak cemas, seperti menyembunyikan sesuatu.

Hanya saja, mendengar ucapan Hinata seolah menyuruhnya untuk tidak bertanya lebih jauh. Walau membutuhkan waktu yang lumayan lama, Naruto yakin dia akan mengingat dengan baik apa yang sudah terjadi dikemarin malam. Sejauh  ini hanya itu satu-satunya cara untuk membunuh rasa keingintahuan.

"Kalo gitu, saya undur diri, Pak. Mau lanjutin kerjaan soalnya."

Naruto menahan bahu Hinata secara spontan, menghentikan gerakan perempuan itu untuk segera pergi darinya. Gadis itu terlihat terkejut, menatap tangan besar itu menyentuh bagian tubuhnya. Sontak, lelaki itu langsung menarik tangannya kembali.

"Maaf…" ujarnya. Naruto agak kebingungan untuk mencari topik pembicaraan. Egonya seperti tidak mau kebersamaannya dengan Hinata berlalu begitu cepat.

"Ah," Hinata terlihat gelagapan, "Ada apa, Pak?"

Naruto menatapnya ragu. Dia bahkan tidak menyadari dengan apa yang sudah dilakukan. Lelaki itu bingung sendiri, memilah alasan yang tepat untuk memberikan jawaban pantas.

"Gak ada…"

Gadis itu mengerutkan dahi, menatap heran pada Naruto. Lelaki itu juga terlihat memalingkan wajah, memberikan kesan yang membuat Hinata agak kecewa beberapa saat.

"Kalo gitu… saya pamit…"

"Nona Hinata,"

Suara Naruto kembali menahan niatnya. Hinata meremas tangannya sendiri, mengurung emosi yang entah mengapa menyulut dalam dada. Tidak habis pikir, lelaki itu mempermainkannya seperti sekarang. Tanpa berpaling, Hinata hanya memasang pendengaran, menunggu Naruto kembali bicara.

"Maaf, tapi… setelah hari ini, kamu…" lelaki itu agak ragu. "Kamu ada waktu?" dengan pikiran kosong Naruto hanya asal berkata. Terdengar ambigu, bahkan dia tidak yakin Hinata mengerti karena itu. Entah bagaimana pikiran lelaki itu agak berantakan. Akhir-akhir ini Naruto agak kesulitan mengontrol emosi.

Hinata membatu sesaat. Otaknya berhenti berpikir. Matanya melebar semakin bulat. Perasaan berdesir ngilu dengan sebuah harapan yang bahkan dia tidak yakin.

Pak Naru maksudnya mau ngajak gue jalan?

Hinata menggeleng cepat. Dia tidak mau terbawa perasaan lagi setelah beberapa kali terbuai oleh lelaki pirang itu. Barangkali Naruto hanya akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau semacamnya. Atau mungkin menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.

Gadis itu berbalik, menghadap tubuh Naruto. Dia tersenyum, lebih tepatnya menampilkan senyum bisnis. Hinata hanya perlu bersikap profesional dan tidak melibatkan perasaan.

"Bapak mau saya buat meluangkan waktu?" ucapannya lebih terdengar seperti seorang kolega bisnis daripada karyawan. Atau mungkin seperti seorang sekretaris pribadi untuk Naruto. Sikap, nada bicara, bahasa formal, semua itu seakan menjelema dengan baik untuk menutupi keaslian dari seorang Hinata.

Naruto agak terganggu dengan perihal itu. Dia merasa semakin jauh dengan perempuan itu. Berhubungan dengan Hinata, ibarat menaiki wahana roller coaster. Naik dan turun berkali-kali. Sebenarnya ikatan mereka memang sangat rumit.

Naruto berdehem pelan, "Saya pikir, kita harus keluar sekarang." dengan hati yang berat dan kekecewaan yang merundung, lelaki itu melangkah. Mendahului Hinata yang sepertinya sama persis memandangnya kecewa. Kepingan harapan benar-benar pupus. Naruto bahkan mendongkol karena semua hal.

Mereka berdua tidak mengerti. Mungkin lebih tepatnya tidak mau untuk mengerti. Keduanya saling membantah perasaan masing-masing. Bahkan keyakinan dari rasa kecewa yang timbul membuat ketidakpekaan mereka semakin tebal.


My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang