Dion menghempaskan tubuhnya diatas kasur, setelah pernyataan konyolnya tadi keadaan diantara dirinya dan Aisya benar-benar membuatnya gerah, sepanjang jalan mereka hanya terdiam dengan pemikiran masing-masing. Bahkan Aisya yang biasanya cerewet selalu merecokinya pun memilih diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun hingga atmosfir didalam mobil benar-benar membuat Dion gerah.Dion hanya menyampaikan apa yang ada di fikirannya, sebelum ia mengakui perasaannya pada gadis itu, ia tidak ingin jika nanti Aisya ketakutan bahkan lebih parah Aisya akan membencinya, bagaimana bisa gadis itu mencintai anak dari wanita yang hampir membunuh Uminya bahkan hampir melenyapkan Aisya yang masih berada didalam perut Uminya.
Ya Tuhan...
Dion meremas kepalanya dengan kuat bahkan tanpa pria itu menjambak rambutnya hingga tercabut beberapa helai. Dion merasa marah pada dirinya sendiri percuma ia membentengi dirinya dengan terus menerus menyakiti Aisya jika pada akhirnya ia juga kalah dengan perasaannya sendiri.
Benar, Ia mencintai Aisya.
Dion mencintai Aisya sebagai seorang wanita bukan adik.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Tidak ada.
Dion akan selamanya menelan rasa cinta itu tanpa berniat mengungkapkannya, ia tidak bisa. Mendapatkan cinta dari Abi dan Umi -nya saja sudah sangat cukup. Jika ia kembali mendapatkan cinta dari Aisya rasanya akan sangat tamak untuk ukuran anak dari pembunuh sepertinya.
Dion menghembuskan nafasnya berkali-kali untuk mengurangi rasa sesak di dadanya, bagaimana bisa ia kelepasan seperti ini? Bagaimana bisa perasaannya melenceng jauh dari perkiraannya? Jika seperti ini percuma ia memilih keluar negeri bertahun-tahun toh pada akhirnya ia kembali mencintai Aisya.
Benar, Dion sudah mencintai Aisya sejak lama namun ia cukup tahu diri bahwa selamanya Aisya akan menjadi adiknya namun siapa yang sangka kalau ternyata Aisya memiliki perasaan yang sama padanya, jika Dion memilih kabur untuk melenyapkan perasaan itu berbeda dengan Aisya, gadis itu dengan berani mengungkapkan perasaannya. Bahkan gadis itu masih belum menyerah setelah berkali-kali ia menyakiti hati Aisya.
Siapa yang salah disini? Dia yang tidak tahu diri? Atau Aisya dengan segala keberaniannya?
Tidak ada. Semuanya terjadi karena jalan takdir, Tuhan sudah menggariskan semuanya.
Jika memang seperti itu bolehkah ia menjadi manusia tamak? Setelah mendapatkan kasih sayang, ketulusan dan cinta dari Ali dan Prilly sekarang ia kembali mengharapkan cinta lainnya dari Aisya.
Toh bukan ia yang menjadi pembunuh, saat itu dia masih sangat kecil bahkan tidak mengetahui apa-apa selain melihat Prilly yang kesakitan sambil memegang perutnya dan Ibu kandungnya, sedang berteriak ingin membunuh wanita hamil itu.
Dion mengingat semuanya dengan jelas, sangat jelas. Bagaimana ia berlari melindungi Prilly dan kehilangan kesadarannya sampai akhirnya ia terbangun hanya ada Prilly disampingnya dan setelah itu ia berjanji seumur hidupnya ia akan membahagiakan Prilly dan juga bayi dalam kandungan wanita itu yang tidak lain adalah Aisya.
Tapi tetap saja di dalam aliran darahnya mengalir darah dari wanita pembunuh itu, Ibu kandungnya. Selamanya didalam darah Dion ada darah pembunuh.
Dion mengangkat kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca bertahun-tahun ia menolak kenyataan bahwa sebenarnya ia adalah anak dari seorang pembunuh, bahwa didalam aliran darahnya mengalir darah seorang pembunuh.
"Arrggghhhh!!!!"
******
Aisya menyisir rambut sambil melamun bahkan gadis itu tidak perduli dengan kondisi rambutnya yang masih basah. Fikiran gadis itu masih melayang-layang karena perkataan Dion di cafe tadi, Aisya masih mengingat dengan jelas kata pembunuh yang diucapkan oleh Dion.
Siapa yang pembunuh? Dion? Tidak mungkin.
Lalu siapa yang dibunuh? Uminya? Abinya? Atau dirinya?
Ya Tuhan, dengan cepat Aisya membenturkan dahinya hingga beradu dengan meja riasnya. Dasar bodoh bagaimana bisa ia dibunuh sedangkan ia masih hidup sampai sekarang begitu juga dengan kedua orang tuanya, maki Aisya dalam hati.
Aisya masih belum berhenti membenturkan dahinya berusaha sekuat tenaga menghilangkan berbagai pemikiran buruk yang mulai memenuhi kepalanya, "Tidak mungkin. Tenanglah Ais kau hanya salah dengar."Aisya merapalkan kata-kata itu untuk menenangkan perasaannya.
Sialan.
Aisya menegakkan kembali tubuhnya, fikiran buruk itu tidak juga hilang dengan kesal Aisya melempar sisirnya beranjak dari depan cermin gadis itu memilih keluar dari kamar hanya mengenakan piyama tanpa lengan dengan celana diatas lutut. Ia ingin tidur hanya saja ia tidak mungkin bisa memejamkan matanya jika perasaannya saja gelisah seperti ini.
Aisya membuka pintu kamarnya, berniat menuju dapur untuk membuat segelas coklat hangat untuk menenangkan kembali perasaannya, Aisya menutup pintu kamarnya dengan pelan sebelum melangkahkan kakinya ia lebih dahulu dikejutkan dengan teriakan dari kamar Dion.
"Abang!"lirih Aisya tanpa sadar. Tanpa aba-aba Aisya segera berlari menuju kamar Dion yang berada tak jauh dari kamarnya,
"Abang!"panggilnya dengan suara keras.Tok!
Tok!
"Buka pintunya bang!"pekik Aisya tak sabar.
Aisya berusaha membuka knop pintu sial ternyata terkunci. Aisya semakin panik apalagi ketika tidak mendengar suara apapun lagi didalam kamar Dion, apa pria itu sudah mati?
Ya Tuhan Aisya apa yang kau fikirkan, tanpa sadar Aisya memukul kepalanya dengan keras sebelum kembali menggedor-gedor pintu kamar Dion dengan lebih kencang. Namun tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar Dion.
"Ya Tuhan apa yang sedang terjadi didalam sana."gumam Aisya sendiri.
Tanpa menunggu lagi Aisya kembali berlari menuju kekamarnya jika Dion tidak membuka pintu maka ia akan masuk lewat pintu balkon kamar pria itu, masa bodoh jika ia akan jatuh karena harus melompat dari balkon kamarnya menuju balkon kamar Dion.
Aisya menyibak tirai jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon dengan tergesa-gesa setelah berada di balkon kamarnya Aisya kembali mendesah kesal, "Kenapa juga Abi harus desain rumah lantai dua begini? Mana tinggi lagi."Keluh Aisya sambil menghentakkan kakinya.
Namun itu tidak berlangsung lama setelah ketakutannya kembali kala mengingat Dion, dengan cepat Aisya mendekati pagar balkonnya Aisya menarik nafas dalam lalu menghembuskannya tanpa melihat kebawah Aisya mulai memanjat pagar balkonnya.
Meskipun sempat kesal karena Abinya mendesain rumah lantai dua begini tapi didalam hati Aisya juga bersyukur setidaknya Umi dan Abinya menjadikan kamarnya dengan Dion berdekatan dengan balkon berseberangan seperti ini, jika terjadi hal-hal genting seperti sekarang setidaknya melompat balkon sedikit berguna walaupun begitu memacu adrenalinnya.
Aisya memegang erat tembok kamarnya ketika ia sudah berhasil berdiri diatas pagar balkon, Aisya kembali menarik nafas dalam lalu kembali dihembuskannya, didalam hati ia berdoa semoga ia bisa melompat dan mendarat dengan selamat di balkon Dion.
"Tenang Aisya! Fokus terus fokus yang penting jangan pernah lihat kebawah."gumam Aisya sambil mengusap-usap dadanya yang semakin bergejolak karena rasa takut juga rasa khawatirnya.
"Jangan takut Aisya! Ini tidak tinggi."Ucap Aisya penuh tekad, "Tapi tetap saja kau akan mati jika tergelincir dari atas sini."sambungnya lagi dengan frustasi.
Aisya menggelengkan kepalanya ia tidak bisa berlama-lama karena Dion pasti membutuhkannya, Aisya sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk melompat sebelum kembali meyakinkan dirinya,
"Semangat Aisya! Pasti kau akan dapat bayaran mahal atas perjuangan ini." gumam Aisya sambil memejamkan mata.
Lalu.....
Hap!!!
*******
![](https://img.wattpad.com/cover/133572767-288-k948644.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
Любовные романы(CERITA INI PRIVATE FOLLOW DULU KALAU MAU BACA, THANKS) Aisya anak tunggal Ali dan Prilly, gadis cantik nan ceria. Gadis yang dibesarkan dengan limpahan Kasih sayang kedua orangtuanya harus merasakan sakitnya jatuh cinta bahkan untuk pertama kali d...