FL-32

1.6K 188 9
                                    


Dion segera membopong tubuh lemas Aisya menuju kamarnya, air mata sedari tadi di tahannya kini luruh sudah, hatinya remuk redam mengetahui kenyataan bahwa Abi dan Umi mereka sudah tiada. Bagaimana ia bisa menghadapi semua ini? Coba katakan apa yang harus dilakukan olehnya?

Dion merebahkan tubuh Aisya diatas ranjang, wajah Aisya pucat pasi dan Dion benar-benar kalut saat ini. Memang belum ada kepastian yang jelas namun entah kenapa sebagian hati kecilnya merasakan bahwa sesuatu yang buruk memang sudah terjadi. Dion terduduk lemas dilantai dengan tubuhnya bersendar pada ranjang.

Bayangan indah masa kecilnya bersama Ali dan Prilly kembali menyeruak, bagaimana Prilly dan Ali menyayanginya bahkan setelah kelahiran Aisya Putri kandung mereka, Ali dan Prilly sama sekali tidak pernah membedakan kasih sayang antara dirinya dan Aisya.

Dion kembali menatap Aisya sebelum beranjak dari duduknya ia mengecup lembut kepala Aisya, "Tenang sayang, Abi dan Umi pasti baik-baik saja."gumamnya sebelum beranjak keluar dari kamar.

Dion kembali keruang tamu mencari handphone miliknya yang ia lempar sembarangan tadi ketika mendapati Aisya pingsan. Dion segera mengambil benda pipih yang terletak disudut sofa, setelah menyalakan handphonenya Dion segera mencari nomor seseorang disana.

Dion segera menempelkan benda pipih itu di telinganya matanya bergerak gelisah sebelum terdengar suara orang itu menyapa pendengarannya, "Segera cari apa pun informasi tentang pesawat yang hilang kontak itu. Apapun dan aku ingin secepatnya kau memberi kabar."

Tut!

Dion kembali melempar handphonenya setelah memutuskan sambungan telefon bahkan sebelum seseorang di seberang sana menyahuti perintah darinya. Dion menghela nafas sebelum kembali beranjak menuju ke kamar di mana Aisya berada.

Dion membuka pintu dengan perlahan sebelum memasuki kamarnya ia terlebih dahulu menuju kamar Aisya mengambil minyak kayu putih yang akan ia gunakan untuk menyadarkan Aisya.

Dion duduk disamping ranjang sambil mengusap pelan kepala Aisya sebelum tangannya beralih membuka tutup botol minyak kayu putih lalu sedikit menuangkan ke jarinya. Dion mendekatkan jarinya yang sudah berlumur minyak kayu putih ie hidung Aisya.

"Sayang, bangun! Semua akan baik-baik saja."lirih Dion disela kegiatannya.

Aisya tampak mengernyitkan dahinya sebelum secara perlahan kedua mata wanita itu mengerjap sangat pelan sesaat kemudian kedua mata indah itu terbuka dengan sempurna, "Abang."lirih Aisya setelah sepenuhnya sadar.

Dion tersenyum setelah meletakkan minyak kayu putih dimeja kecil dekat ranjangnya ia kembali memusatkan perhatiannya pada Aisya yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, "Semua baik-baik saja sayang, Abang yakin Abi dan Umi kita pasti baik-baik saja."Ucap Dion seakan tahu pemikiran Aisya.

Aisya menganggukkan kepalanya meskipun air mata gadis itu menetes membasahi pipi bulatnya, melihat itu Dion menghela nafas ia bergerak berniat merebahkan tubuhnya disamping Aisya hingga Aisya harus menggeserkan tubuhnya demi memberi ruang pada Dion.

Dion segera menarik Aisya ke dalam pelukannya begitupun Aisya yang langsung menyusupkan wajahnya ke dada Dion, memejamkan matanya disana menahan segala kepedihan hatinya. Meskipun ia sangat mempercayai perkataan Dion namun tetap saja ia masih ketakutan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi mengingat belum ada kepastian apapun tentang keberadaan orang tua mereka.

"Tidurlah! Abang janji semua akan baik-baik saja."

Aisya mengangguk pelan hatinya sedikit tenang saat ia merasakan kecupan Dion dikepalanya di susul usapan lembut tangan pria itu, Aisya mengangkat tangannya memeluk erat tubuh Dion menyalurkan perasaannya pada pria itu.

Aisya memejamkan matanya seiring usapan lembut di kepalanya membuat mata Aisya semakin berat sebelum kantuk benar-benar merenggut kesadarannya Aisya masih sempat mendengar bisikan dan merasakan kecupan hangat di kepalanya lagi.

"Apapun yang terjadi kamu tidak sendiri sayang, ada aku disini yang akan menjadi sandaran hatimu."

******

Dion dan Aisya berlarian menuju bandara guna mendapatkan informasi terbaru pasca hilangnya pesawat yang mengangkut ke dua orang tua mereka.
"Hati-hati sayang."ucap Dion ketika melihat Aisya hampir terjatuh.
Aisya tersenyum sambil mengeratkan genggamannya pada tangan Dion seolah menunjukkan dirinya baik-baik saja.

Suasana bandara cukup ramai, suasana duka begitu terasa disini tidak sedikit dari mereka yang menangis disudut ruangan bahkan terang-terangan menangis sambil meraung tidak jelas. Melihat itu dada Aisya semakin sakit, apalagi pihak bandara tidak memberi informasi yang memuaskan karena keberadaan pesawat naas itu memang belum ada kepastian.

Dion mengeratkan genggaman tangannya ketika melihat Aisya linglung dengan mata berpendar melihat suasana duka di sekitar mereka. Dion meneguhkan hatinya ia menerobos kerumunan hingga tepat berada di hadapan petugas bandara.

"Maaf pak, untuk sementara kami belum bisa memberikan informasi apapun untuk keluarga penumpang, maafkan kami."

Dion menghela nafas bahkan sebelum ia mengutarakan keinginannya pihak bandara terlebih dahulu menjawab, Dion mengangguk sopan sebelum berbalik menatap Aisya yang juga tengah menatapnya. Dion memaksakan senyumannya meskipun tidak berpengaruh apapun pada Aisya.

"Apa sudah saatnya kita kehilangan Abi dan Umi bang?"Tanya Aisya dengan mata berkaca-kaca.

Dion segera menarik Aisya ke dalam pelukannya sambil membawa Aisya menjauhi kerumunan, Dion tetap memeluk erat Aisya meskipun ia sedikit kesusahan dalam melangkah hingga tiba di ruang tunggu Dion mendudukan Aisya disana. Dion bersyukur setidaknya diruangan ini tidak semenakutkan ruang tadi. Meskipun ada beberapa orang yang duduk sama shock nya dengan Aisya namun suasana di sini jauh lebih baik.

Aisya menangkupkan wajahnya dengan telapak tangan, melihat itu membuat Dion menghela nafas sebelum ia berjongkok sambil memegang lutut Aisya, tangannya terangkat untuk menyingkirkan kedua tangan Aisya yang digunakan gadis itu untuk menutup wajahnya.

Dion berhasil menyingkirkan tangan Aisya membuat dirinya bisa melihat dengan jelas jejak air mata kekasihnya itu, Dion menggengam kedua tangan Aisya sebelum membawa tangan itu ke dekat bibirnya dan melabuhkan ciuman tangan pada kedua tangan Aisya.

"Kamu tidak percaya pada Abang?"Tanya Dion dengan mata menatap tepat di manik mata Aisya.

Aisya menggelengkan kepalanya, gadis itu menggigit kuat bibirnya menahan isakan namun gagal karena air matanya tidak berhenti menetes hingga membuat Dion kembali menghela nafas gusar. Dion melepaskan sebelah tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam tangan Aisya tadi, kini ia beralih mengusap lelehan air mata kekasihnya itu.

"Berhentilah menangis sayang! Kita memang belum tahu bagaimana keadaan Abi dan Umi, tapi percayalah Tuhan pasti melindungi orang tua kita."

Aisya mengangguk namun air matanya semakin deras mengalir, "Ais.. percaya hanya saja Ais takut kalau.. kalau kita tidak bisa memeluk Umi dan Abi lagi Abang.hiks.. Hikss.. Bagaimana ini.. Hiks.."racau Aisya tanpa bisa mengendalikan perasaannya lagi.

Dion segera beranjak lalu duduk disamping Aisya membawa gadis itu ke dalam pelukannya tangisan Aisya semakin menjadi-jadi bahkan Dion tidak mampu menahan air matanya, pria itu terpaksa mendongakkan kepalanya menahan buliran hangat dari kedua matanya.

Bukan hanya Aisya yang takut tapi dirinya juga bahkan ia lebih takut jika benar mereka akan kehilangan orang tua mereka lalu apa yang harus ia lakukan untuk menjaga Aisya? Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya gadis dalam pelukannya ini jika mendapati kenyataan bahwa mereka akan menjadi yatim piatu.

Dion mengeratkan pelukannya pada Aisya, menyembunyikan tangisannya di leher Aisya, sekuat tenaga ia menahan ledakan perasaannya, ia sangat ketakutan saat ini.

"Abi.. Umi.. Dimana kalian? Abang harap Tuhan masih memperkenankan Abang untuk membalas kebaikan kalian. Abang mohon tetap baik-baik saja dimana pun Umi dan Abi berada. Cepat kembali kami sangat merindukan kalian. Abang mohon Mi.."

*******

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang