FL-53

1.5K 155 12
                                    


Dion masih menggenggam tangan Aisya, gadis itu masih belum membuka matanya bahkan sudah hampir 1 jam berlalu. Dion tersenyum lembut ketika mengusap-usap pipi dan juga kepala Aisya.

Dia masih mengingat jelas bagaimana gadisnya ini berteriak didepan pintu sebelum tubuhnya ambruk bahkan ia yakin gadis itu tidak melihat dengan jelas bahwa saat itu dirinya sedang memberi keterangan pada seorang dokter rumah sakit jiwa.

Yah, Misha terpaksa harus dirawat disana jiwanya benar-benar terguncang saat ini. Dion bersyukur sebelum benar-benar hilang akal Misha masih sempat menelfon rumah sakit hingga ketika ia sadar sudah ada beberapa orang berpakaian putih dirumahnya dan kepalanya juga sudah selesai diperban.

"Bapak tenang saja, luka dikepala bapak tidak terlalu parah hanya saja perlu mendapat beberapa jahitan dan kami menanganinya dengan baik ketika anda masih belum sadar."

Dion hanya bisa mengangguk sambil menahan rasa sakit di kepala belakangnya, "Dan satu lagi pak, kami terpaksa memanggil tenaga medis dari rumah sakit jiwa untuk menangani seorang wanita yang terus saja menjerit bahkan nyaris melukai anda kembali."

Dion sudah tahu siapa yang dimaksud ahli medis didepannya ini, "Terima kasih banyak atas bantuannya."Dion mengangkat tangannya menyalami 3 orang ahli medis yang sudah membantunya termasuk menangani Misha.

Sebelum beranjak dari duduknya Dion kembali dikejutkan dengan teriakan Aisya disusul ambruknya tubuh gadis itu. Dion kalang kabut tanpa memperdulikan lukanya ia berlari menuju tubuh Aisya yang tergeletak tak berdaya dilantai tepat didepan pintu rumahnya.

Dion segera menggendong Aisya ke kamar tamu yang kebetulan terletak paling dekat disana, ahli medis sudah memeriksa Aisya dan menyatakan Aisya hanya terlalu kaget hingga kehilangan kesadarannya.

Dan sudah hampir 1 jam berlalu, Aisya masih belum membuka matanya. Dion masih setia berada didekat Aisya hingga perlahan-lahan kelopak mata gadis itu bergerak-gerak sebelum terbuka sempurna dan tangis Aisya pecah,

"Mas Dion.. Hikss.. Hikss.. Mas Dion."Aisya terus menangis histeris memanggil nama Dion.

Dion sedikit kewalahan menahan tubuh Aisya yang terus bergerak liar karena rasa sakit di kepalanya, "Sstt... Mas disini sayang Mas disini."Dion berhasil menangkup wajah Aisya.

Hingga mata sayu bercucuran air mata milik Aisya terpaku pada wajah Dion. Dion mengembangkan senyumnya hingga tangis Aisya kembali pecah disusul tubrukan kuat di tubuhnya. Aisya memeluk erat Dion sambil terus menangis.

Dion tersenyum geli melihat tingkah menggemaskan Aisya-nya. Tangannya mengusap-usap lembut kepala hingga punggung Aisya berusaha memberikan ketenangan pada gadis itu, "Mas disni dan Mas baik-baik saja sayang."

Aisya masih menumpahkan semua ketakutan dan juga kekhawatirannya berupa tangisan yang tak kunjung reda. Demi Tuhan ia benar-benar takut jika sesuatu hal buruk terjadi pada Dion.

"Jangan seperti ini lagi Mas. Jangan!"lirih Aisya didalam pelukan Dion.

Dion mengangguk sambil mengeratkan pelukannya pada tubuh Aisya. Selanjutnya, ia yakin langkahnya bersama Aisya akan jauh lebih mudah. Semoga saja.

*******

"Terus Misha gimana sekarang?"Aisya bertanya disela membuka mulutnya menerima suapan nasi dari Dion.

Saat ini mereka sedang makan malam, bermodal nasi bungkus yang dibeli Dion diwarung yang tak jauh dari komplek rumahnya, Aisya masih terlalu lemah untuk sekedar beranjak dari tempat tidur hingga akhirnya Dion memilih membeli nasi diwarung saja.

Sebenarnya ia heran yang seharusnya lemah tak berdaya dirinya, kepalanya saja masih berdenyut sakit seharusnya ia juga yang di manja oleh Aisya bukan sebaliknya. Lalu siapa yang sebenarnya sakit disini?

Dion hanya mampu menggelengkan kepalanya ketika mendengar alasan dari mulut Aisya, "Mas. Aku masih lemas akibat shock berat ngeliat ambulans didepan rumah kita."

Ingin rasanya Dion menjawab, 'memangnya salah mas kalau kamu shock hanya karena ambulans?'Tapi sayang sekali Dion tidak bisa menyuarakan isi hatinya, ia terlalu menyayangi gadis manis ini.

"Mungkin sekarang lagi menjalani perawatan. Entahlah Mas belum bisa pastikan semuanya karena Mas memang belum kesana."sahut Dion sambil menyeka mulut Aisya yang belepotan.

"Ngapain Mas kesana?"Mata Aisya memicing, ia tidak ingin Dion sampai menemui wanita gila itu. Bukan apa, ia tidak ingin wanita itu menyakiti Dion lagi.

Aisya bergidik ngeri ketika mendengar semua penjelasan Dion mengenai kronologi kejadian naas yang menimpa Dion hingga akhirnya Misha kehilangan akalnya. Benar-benar seperti mimpi ia tidak menyangka kalau akhir kisah Misha menjadi  penghuni rumah sakit jiwa.

"Jangan sembunyikan apapun lagi dariku Mas!"

Aisya sedikit marah ketika mengetahui apa yang direncanakan Dion, ia marah pada dirinya sendiri kenapa tidak bisa membaca isi kepala Dion. Kenapa ia terlalu buta dengan perasaan Dion. Seharusnya setelah menghabiskan waktu hampir seumur hidupnya ia lebih bisa mengerti bahwa Dion bukanlah pria yang akan mampu menyakitinya. Dion benar-benar menyayanginya meskipun kadang dengan cara yang menyebalkan.

Aisya memeluk erat Dion seolah menegaskan pria itu adalah miliknya, " Jangan sampai hal buruk seperti ini terulang kembali Mas."

Dion tersenyum sambil mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Aisya, "Tentu sayang. Setelah ini Mas janji semua akan baik-baik saja."

Aisya mendengus sambil memukul punggung Dion sedikit keras hingga pria itu mengaduh kesakitan, "Sebelum Mas nikahi aku semua nggak akan baik-baik saja."keluh Aisya sambil melepaskan pelukannya pada Dion.

Aisya manyun membuat Dion terkekeh, "Jadi Mas kamu lamar lagi nih?"goda Dion sambil menoel-noel pipi Aisya.

Aisya mendengus namun tidak menepis tangan jahil Dion di pipinya, "Iya. Ditolak lagi pasti nih."sahut Aisya kembali memanyunkan bibirnya.

Tawa Dion pecah, pria itu kembali merengkuh Aisya memeluk erat gadis itu tanpa memperdulikan gerutuan Aisya, "Mas cinta kamu."

"Percuma cinta kalau nggak dinikahin!"Balas Aisya namun kedua lengan gadis itu sudah memeluk Dion.

Dion kembali tertawa tanpa menanggapi apapun keluhan Aisya, baginya kembali memeluk Aisya seperti ini sudah lebih dari cukup. Sekarang ia mulai bisa bernafas lega karena Aisya kembali ke dalam pelukannya.

Untuk kedepannya Dion hanya perlu berusaha sedikit lebih keras lagi untuk melindungi Aisya, secepatnya ia akan menjadikan Aisya miliknya.

"Besok aku bakal kembaliin semuanya seperti semula."

Dion mengerti arah pembicaraan Aisya,"Tidak perlu sayang. Semua itu memang hak kamu, Mas nggak apa-apa jadi OB asal kamu nggak malu punya pacar OB kayak Mas."

Aisya kembali mendengus, "Emang siapa yang mau jadi pacar mas?"

Dion kembali terkekeh, "Jadi nggak mau jadi pacar Mas lagi nih? Iyalah Mas ngerti siapa yang mau pacarin OB kayak Mas."Dion pura-pura sedih hingga kembali mendapat pukulan di punggungnya. "kamu mukul Mas terus loh sayang."

"Biarin. Nyebelin sih!"

Dion melepaskan pelukannya, "Mas cinta kamu."Ucapnya lagi ketika kedua tangannya sudah menangkup wajah Aisya.

Aisya manyun namun tetap membalas pernyataan cinta Dion, "Kita balikan ya. Mas nggak mau kita musuhan kayak kemarin."mohon Dion pada Aisya.

Aisya mendelik sinis sebelum menjawab dengan suara dibuat setegas mungkin,
"Pacaran sih no. Kalau nikah mah Yes."

********

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang