FL-19

2.1K 203 5
                                    


Aisya masih berusaha menetralkan detak jantungnya bahkan hampir setengah jam berlalu Aisya masih bisa merasakan bagaimana kehangatan genggaman Dion ditelapak tangannya. Aisya masih bingung dengan sikap Dion, kenapa tiba-tiba pria itu menggandeng tangannya, oke jika hanya menarik pergelangan tangannya ia masih bisa mengerti tapi Dion menggengam catat pria itu menggenggam erat tangannya seperti di drama-drama romantis korea.

Ya Tuhan mimpi apa ia semalam, bathin Aisya bahagia.

Aisya berdehem ia sengaja mengalihkan pandangannya keluar karena tidak ingin Dion melihat semburat merah yang ia yakini sudah menjalar diwajahnya, bagaimana tidak Aisya bisa merasakan wajahnya seperti terbakar.

"Kenapa?"Tanya Dion yang sedari tadi memperhatikan keanehan Aisya.

Aisya menggelengkan kepalanya berusaha sebiasa mungkin namun tetap saja rona merah diwajahnya tidak bisa di sembunyikan dan Dion bisa melihat itu dengan jelas. Dion segera mengalihkan pandangannya dari Aisya namun tanpa ada yang menyadari sudut bibir Dion tertarik keatas membentuk sebuah senyuman tipis amat sangat tipis.

"Mau makan atau langsung pulang?"Dion kembali bersuara.

Aisya menolehkan kepalanya menatap Dion, "Mau makan tapi masakan Umi."

Dion menghela nafas sambil membelokkan mobilnya memasuki area parkir sebuah rumah makan namun terlihat seperti cafe dengan nuansa sedikit romantis. Aisya masih diam sekuat tenaga ia berusaha menahan air matanya, meskipun sekarang orang tuanya sudah berada didalam pesawat tetap saja rasa ikhlas darinya belum ada. Semakin dekat menuju rumah semakin tidak ikhlas ia melepaskan orang tuanya. Kenapa kemarin ia tidak bersikeras menahan kepergian orang tuanya? Kenapa baru sekarang ia menyesalinya?

Dion yang melihat Aisya menunduk sambil meremas kedua tangannya menghela nafas ia mengerti untuk seseorang semanja Aisya keadaan seperti ini benar-benar menyiksa, adiknya itu tidak pernah berjauhan dengan Abi dan Umi mereka bahkan dulu Aisya kerap kali dibawa oleh orang tua mereka ketika menghadiri sebuah acara kalau Abi dan Uminya diharuskan menginap.

Dan sekarang tiba-tiba gadis itu harus berpisah dengan ke dua orang tua mereka dengan jarak yang sangat jauh dan waktu yang tidak ditentukan memang bukan hal yang mudah. Dion sangat memahami itu.

Karena itu tanpa bisa ditahan Dion menarik Aisya kedalam pelukannya, ini adalah kontak fisik pertama yang mereka lakukan setelah berbagai permasalahan yang terjadi, mendapat perlakuan seperti itu membuat tangis Aisya meledak tanpa bisa ditahan gadis itu menangis hebat dalam pelukan Dion. Tubuhnya melekat pada Dion, Aisya membenamkan wajahnya pada leher Dion dengan tangan yang juga melingkar erat dileher pria itu.

Dion mengusap lembut punggung Aisya sesekali ia mengecup lembut kepala adiknya, entahlah kini ia merasa ada yang aneh dengan pelukan mereka, jika dulu ia bisa memeluk atau mencium Aisya tanpa ada getaran atau debaran didalam dadanya seperti sekarang. Dion merasa jantungnya benar-benar berdetak hebat bahkan ia takut jika Aisya sampai menyadari itu.

Benarkah ia sudah mencintai gadis ini? Tidak. Dion tidak mencintai Aisya ia hanya menyayangi adiknya hanya itu.

Teruslah berbohong pengecut!

Teruslah berbohong sampai saat dimana kau akan menyesali semuanya.

Dion semakin mengeratkan rengkuhan pada tubuh Aisya ketika mendengar bisikan-bisikan yang menyudutkannya, untuk saat ini ia hanya ingin memeluk Aisya. Hanya itu.

"Sudah lebih tenang kan dek?"

Aisya mengangguk lemah sambil memaksakan senyuman, matanya sudah benar-benar perih karena terlalu lama menangis dan sekarang mereka ada disalah satu meja didalam cafe menunggu pesanan setelah menghabiskan waktu hampir 40 menit didalam mobil dan selama itulah Aisya menangis dan Dion dengan setia memeluknya.

Manis sekali bukan?

Aisya bersyukur setidaknya disaat-saat seperti ini Dion tidak mengabaikannya, ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika sampai Dion mengabaikan dirinya apalagi kini ia tidak bisa memeluk kedua orang tuanya. Untuk beberapa waktu kedepan hanya Dion yang ia miliki.

"Udah jangan nangis lagi! Umi sama Abi nggak lama kok disana."Dion berucap lembut sambil mengusap airmata Aisya.

Aisya tersentak ketika merasakan sentuhan Dion dipipinya bahkan ia tidak menyadari sejak kapan ia menangis, "hahh rasanya benar-benar aneh berjauhan sama Abi dan Umi bang."keluh Aisya sambil mendaratkan pipinya diatas meja menghadapkan wajahnya kearah Dion.

Dion tersenyum begitu lembut dan Aisya bersumpah ini senyuman pertama yang Dion berikan selembut ini padanya bahkan dulu-dulu sebelum mereka bertengkar Dion tidak pernah tersenyum selembut ini dan Aisya bersumpah ia bisa melihat binaran bahagia dimata tajam milik Dion.

"Udah ah, jangan lebay orang Abi cuma sebentar kesana."Ucap Dion kembali menyentuh pipi bulat Aisya.

Aisya mengerjapkan matanya berkali-kali benarkah yang berada didepannya ini Dion? Pria menyebalkan yang selalu menolak kehadirannya itu? Daebak!!

"Abang benar-benar dalam keadaan sadar kan?"Tanya Aisya.

Dion mengerutkan dahinya, "Memang Abang mabuk."sahutnya asal.

Aisya memanyunkan bibirnya, "Ya kali Abang mabuk secara sikap Abang aneh gini."

Dion tersentak dengan cepat ia menjauhkan tangannya dari pipi Aisya lalu berdehem beberapa kali, Aisya mengernyitkan dahinya melihat tingkah Dion, seketika senyuman terbit diwajah Aisya saat melihat rona merah diwajah Dion bahkan rona itu menjalar sampai keleher pria itu. Jadi saat ini Dion sedang malu? Dion salah tingkah karena berada didekatnya?

Ya Tuhan sudah sejelas itu lalu kenapa pria ini masih tidak mengakui perasaannya? Dasar bodoh.

"Ekhem! Lama sekali sih pelayannya."gerutu Dion sambil menoleh ke kiri kanan sesekali ia mencuri pandang pada Aisya yang menatapnya penuh minat.

"Abang salah tingkah ya?"Tanya Aisya geli, gadis itu terlihat begitu bersemangat menggoda Dion.

Dion kembali berdehem sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Biasa aja."ucapnya berusaha senormal mungkin.

Aisya terkikik sejenak ia melupakan kesedihannya, "Biasa gimana? Muka abang aja sudah merah begitu."ejek Aisya tanpa sadar Dion meraba-raba wajahnya dan seketika tawa Aisya pecah.

Beberapa orang melirik keduanya ada yang menatap kagum pada Aisya yang memiliki paras yang sangat cantik berpasangan dengan Dion yang sangat gagah dan juga tampan namun tidak sedikit terutama wanita-wanita atau remaja tanggung yang berada di cafe itu menatap iri pada Aisya bagaimana bisa ia memiliki pasangan sesempurna Dion.

"Berhenti tertawa Aisya!"Dion mulai sebal dengan tingkah Aisya yang terus saja menertawainya sebenarnya ia malu.

Aisya berdehem, "Ambekan banget sih bang."seru Aisya yang diabaikan oleh Dion. Dion memilih mengeluarkan iPhone miliknya dari saku celana dan mengutak-atik benda kecil itu dari pada harus meladeni keisengan Aisya.

Aisya menatap dalam wajah Dion pria itu sedang memperhatikan iPhone-nya. Dion benar-benar tampan, mata sipitnya terlihat begitu tajam namun mata itu juga terlihat lembut diwaktu bersamaan. Dion benar-benar mendekati kata sempurna.

Aisya kembali memindai bagian lain dari Dion, tubuh Dion yang tegap dengan tinggi yang pas untuk ukuran pria dan satu lagi bahu lebar milik Dion benar-benar menarik mata perempuan untuk menoleh dua kali pada pria ini.

Ck, bagaimana bisa Dion tercipta sesempurna ini? Bathin Aisya.
Tidak heran jika Aisya jatuh cinta setengah mati pada pria ini.

Saat Aisya sedang asik menatap Dion saat itu pula Dion mengangkat wajahnya hingga pandangan mereka terkunci satu sama lain, Aisya dengan kekagumannya dan Dion, entahlah. Aisya sama sekali tidak bisa membaca arti pandangan pria itu. Aisya semakin menyelami iris mata hitam itu, Aisya tidak menemukan apapun disana, kosong dan hampa.

Aisya mengernyitkan dahinya, ia sendiri tidak mengerti dengan pemikirannya belum hilang kebingungannya perkataan Dion semakin menambah kebingungan gadis itu,

"Pantaskah jika anak dari seorang wanita pembunuh sepertiku mendapatkan cinta seorang putri sepertimu?"

*****

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang