FL-35

1.5K 178 4
                                    

Aisya terlihat sibuk mengaduk nasi goreng yang sengaja ia siapkan untuk sarapan pagi dirinya bersama Dion. Setelah semalaman ia harus tidur sambil memeluk Dion karena pria itu tidak mau lepas darinya sama sekali. Dan pagi-pagi seperti ini ia harus bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan saparan untuk kekasihnya itu.

Aisya terlihat kesusahan karena rambutnya yang terlepas dari sanggulan mempersulit dirinya, berkali-kali ia mengibaskan rambut panjangnya namun tetap saja masih menggangu kegiatan memasaknya.

Aisya tersenyum senang saat nasi goreng buatannya sudah siap untuk dihidangkan hanya tinggal menggoreng telur saja, ia masih belum terlalu mahir dalam urusan dapur jadi ia memilih menyiapkan sarapan sederhana saja dan semoga Dion tidak kecewa dengan rasanya.

"Yah telurnya tinggal satu."desah Aisya ketika membuka kulkas dan mendapati satu telur saja di dalamnya.

Aisya merengut sedih, bagaimana bisa ia sebagai wanita lupa dengan tugas pokok dirinya yaitu berbelanja. Memang beberapa hari ini ia terlalu larut dalam kesedihan karena sampai sekarang belum ada kabar apapun mengenai pesawat yang ditumpangi oleh Abi dan Uminya itu. Namun ia percaya dan yakin jika Umi dan Abinya pasti baik-baik saja disuatu tempat seperti kata Dion.

"Di dadar aja kali ya telurnya kalau mata sapi kan cuma dapat satu."gumam Aisya sendiri sambil membawa telur itu.

Aisya kembali larut dalam kegiatannya, ia sibuk merajang bawang merah, daun bawang dan juga satu cabe merah. Ia memilih untuk membuat dadar telur saja selain gampang ia juga tidak memiliki pilihan lain, terlalu memakan waktu jika ia berbelanja sekarang. Biar nanti saja ia akan berbelanja. Fikir Aisya.

Tanpa Aisya sadari seorang pria tampan dengan penampilan acak-acakan sedang berdiri sambil bersidekap dengan mata tak lepas darinya. Dan pria itu adalah Dion. Entah apa yang sedang difikirkan oleh Dion hingga setiap melihat Aisya ia merasakan dadanya sakit. Mungkin efek dari mimpi semalam. Dan ia tidak ingin memikirkan mimpi ia yakin itu hanya bunga mimpi reaksi alami karena ia sangat merindukan kedua orangtuanya. Benar hanya itu.

Tanpa menunggu lama Dion mulai melangkahkan kakinya mendekati Aisya yang masih belum menyadari kehadirannya, Aisya masih terlihat sibuk dengan kegiatan memasaknya hingga pelukan dari Dion membuat tubuh gadis itu tersentak.

"Ya ampun bang! Ngagetin tau nggak."

Dion hanya terkekeh kedua lengannya membelit pinggang Aisya sedang wajahnya sudah tenggelam pada leher kekasihnya itu. Aisya bergidik namun tidak memaksa melepaskan pelukan Dion karena ia sendiri juga merasa nyaman. Pelukan Dion adalah tempat ternyaman untuk seorang Aisya.

Aisya meneruskan pekerjaannya tanpa menghiraukan keberadaan Dion yang menempel erat padanya, "Kenapa heum?"Akhirnya Aisya bersuara setelah memasukkan telur yang sudah di kocok ke dalam teflon.

Dion menggelengkan kepalanya namun pria itu semakin menekan tubuhnya pada tubuh Aisya kedua tangannya semakin mengerat pada pinggang Aisya hingga gadis itu semakin sulit untuk bergerak sebenarnya ia agak kesusahan melakukan pekerjaannya namun ia memilih diam, Dion-nya masih belum bisa melupakan mimpi semalam sepertinya.

Aisya mematikan kompor miliknya setelah melihat telur dadar ala dirinya sudah matang namun Dion masih belum bergerak dari tubuhnya padahal mereka sudah lebih dari sepeluh menit dengan posisi seperti ini. Jujur saja Aisya mulai merasakan kakinya mulai kesemutan.

Aisya mengusap lembut tangan Dion yang membelit perutnya,"Sayang, sarapan dulu yuk!"

Dion mengangkat kepalanya bertepatan dengan Aisya yang juga ikut menoleh padanya, "Aku sayang kamu."bisik Dion tanpa mengalihkan pandangannya dari Aisya.

Darah Aisya berdesir apalagi dengan kedekatan mereka saat ini,"Aku lebih sayang kamu."suara Aisya tak kalah lirih hingga tanpa bisa menahan diri lagi Dion segera meraup bibir Aisya.

Keduanya larut dalam ciuman panas bahkan keduanya sudah lupa dengan sarapan pagi mereka. Suara decapan hingga desahan lirih Aisya memenuhi dapur rumah itu. Beberapa menit berlalu hingga ciuman itu terlepas, Aisya menghirup udara dengan rakus begitu pula dengan Dion. Dahi keduanya sambil menempel hampir tidak ada jarak di antara dua insan di mabuk Cinta itu.

"Selalu Cinta."lirih Dion dengan nafas tersengal.

Aisya tersenyum tangannya terangkat menangkup wajah Dion tanpa membuka mata, "Selamanya Cinta."

******

Dion memandang dua peti di hadapannya dengan tatapan kosong, semua masih terasa mimpi untuknya. Abi dan Uminya benar-benar sudah meninggalkan dirinya dan Aisya. Mengingat Aisya kembali Dion merasa sengatan sakit di ulu hatinya. Ia masih tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah kekasihnya itu ketika akhirnya mereka mendapat kabar tentang keberadaan orang tua mereka.

Tapi Demi Tuhan, sama sekali tidak terlintas di dalam benaknya maupun Aisya bahwa kabar yang mereka terima merupakan petaka. Mereka berfikir orang tuanya sudah ditemukan meskipun tidak dalam keadaan baik-baik saja namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa orang tua mereka ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Lalu apa yang harus mereka lakukan sekarang? Terutama Dion.

Dion masih belum memikirkan apa-apa kecuali bayangan ke dua orang tuanya ketika mereka menghampiri dirinya di dalam mimpi, jaga dan lindungi Aisya.

Dion tersenyum miris bahkan ia sama sekali belum sempat membahagiakan ke dua orang tuanya namun Tuhan telah berkehendak lain. Tuhan memanggil ke dua orang tuanya di saat bersamaan bahkan di saat dirinya belum sempat mengakui perasaannya terhadap Aisya.

"Abi." Dion menatap nanar peti mati yang bertuliskan nama Abinya disana.

Lalu pandangannya beralih pada peti di sebelahnya yang kembali meremukkan hati Dion disana tertulis nama wanita yang sangat dicintai olehnya. "Umi."

Tangis Dion pecah kedua kakinya terasa lemah hingga tak mampu menompang tubuhnya. Dion terduduk sambil menangis terisak-isak didekat peti mati orang tuanya. Ya Tuhan.. Kenapa harus secepatnya ini. Kenapa harus secepat ini dirinya kehilangan Abi dan Umi yang sangat dicintainya. Kenapa? Raung Dion di dalam hati.

Sedangkan di dalam kamar inap dirumah sakit yang sama terbaring Aisya, gadis cantik dengan mata bulat yang selalu berbinar ceria namun itu dulu lebih tepatnya beberapa waktu lalu sebelum sebuah panggilan masuk ke dalam handphone milik Dion dan semuanya berubah. Hidupnya hatinya bahkan nyawanya seperti terenggut paksa ketika ia melihat peti mati berisikan jasad kedua orangtuanya.

"Abi.. Umi.. "Suara itu berupa bisikan sudah terdengar sejak satu jam lalu tepat ketika Aisya membuka mata dari ketidaksadaran dirinya.

Aisya pingsan tepat ketika melihat peti mati bertuliskan nama Abi dan Uminya. Dunianya hancur dalam sekejap.

Aisya masih menatap kosong keluar jendela kamar rawatnya yang mulai basah karena rintikan hujan. Aisya tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca haruskah selalu seperti ini? Dimana keadaan menyeramkan selalu diiringi dengan rintikan hujan.

Aisya masih menatap kosong namun luka menganga jelas tidak bisa disembunyikan dimata gadis itu. Harusnya saat itu ia lebih tegas melarang orang tuanya untuk mengantarkan Kesha ke London. Harusnya ia menangis keras ketika Abi dan Uminya mengatakan akan pergi ke London hingga mereka mengurungkan niatnya karena tangisan Aisya. Harusnya. Harusnya. Harusnya semua tidak seperti ini.

Raungan tangis Aisya memenuhi kamar, gadis itu menahan berteriak meluapkan rasa sakitnya. Ia menyesal kenapa ia tidak dengan tegas melarang orang tuanya pergi ,ia menyesal kenapa selama ini ia terlalu banyak menghabiskan waktu demi meratapi kisah percintaannya dari pada membahagiakan orang tuanya.

Kenapa? Kenapa orang tuanya? Kenapa harus dirinya yang harus merasa kehilangan seperti ini? Kenapa?

**********

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang