FL-18

1.9K 208 5
                                    


Aisya dan Dion baru saja sampai dibandara, dengan cepat Dion membuka pintu mobilnya tanpa menunggu Aisya ia memilih menghampiri kedua prang tuanya.

Prilly dan Ali hari ini harus bertolak ke London bersama Misha tentu saja, Mona dan Rama dikabarkan mengalami kecelakaan disana, Misha sejak menerima kabar itu langsung kalut dan panik  dengan keadaan seperti itu tentu saja Ali dan juga Prilly tidak tega membiarkan gadis itu berangkat ke London sendirian hingga akhirnya Prilly dan Ali yang akan mengantarkan gadis itu.

Aisya melangkah malas mengikuti Dion, sejak awal memang ia tidak setuju dengan ide itu, bahkan ia untuk pertama kali dalam usianya yang hampir menginjak 20 tahun ia harus berpisah sejauh ini dengan Abi dan Uminya.

"Mi, suruh aja yang lain buat ngantar Misha."bujuk Aisya saat Prilly sedang mempersiapkan keperluannya bersama Ali.

Prilly tersenyum sambil tetap melanjutkan pekerjaannya, "Emang siapa yang harus Umi suruh sayang?"Prilly bertanya dengan tangan masih sibuk memasukkan baju-baju Ali kedalam koper besar.

Aisya berdecak, "Ya siapa aja kan banyak tuh orang suruhan Abi atau salah satu kepercayaan Abi, yang penting bukan Abi dan Umi yang kesana."

Prilly menghela nafas meninggalkan pekerjaannya lalu beranjak menghampiri putrinya yang sedang merajuk, "Sayang dengerin Umi,kondisi Misha sekarang benar-benar memprihatinkan sayang."Prilly mengusap lembut kepala putrinya, "Bayangkan saja orang tuanya disana sedang kritis sedangkan dia berada jauh sangat jauh sayang Ais bisa bayangkan bagaimana jika posisi Misha sekarang ada di Adek atau bang Dion?"

"Umi apaan sih! Nggak suka deh Ais bayangin hal-hal buruk terjadi sama Abi dan Umi."protes Aisya membuat Prilly terkekeh.

"Nah sekarang adek ngertikan maksud Umi? Misha sedang memerlukan bantuan kita sayang, hari ini mungkin Misha besok bisa jadi kita yang akan memerlukan bantuan orang lain lagi."Ucap Prilly bijak.

Aisya mengangguk mengerti lalu melabuhkan diri kedalam pelukan Uminya, ia mengerti bahkan ia ikut prihatin melihat kondisi Misha, sejak menerima telfon sore tadi gadis itu hanya menangis dan terus menangis didalam kamarnya, tidak ada lagi tatapan mengejek atau mencela yang biasanya diperlihatkan gadis itu.

Misha terlihat begitu menyedihkan, mungkin gadis itu menyesal karena tidak ikut kembali bersama orang tuanya beberapa waktu lalu ditambah dengan kejadian seperti ini jika saja Misha ikut mungkin saat ini gadis itu sudah melihat keadaan orang tuanya. Menemani mereka bukan malah menderita sendiri disini dan semakin sialnya lagi jarak tempuh yang akan dilalui gadis itu memakan waktu lama dan semakin lengkaplah penderitaan gadis itu.

Tapi tetap saja Aisya tidak ikhlas jika ia harus berjauhan dengan Abi dan Uminya, bukankah Misha anak orang kaya kenapa tidak ada yang menjemputnya? Kenapa tidak ada jet pribadi yang akan menjemput gadis itu?

"Jangan konyol sayang! Kehidupan nyata tentu tidak semanis kehidupan di novel bacaanmu itu."ucap Prilly dengan kikikan jahilnya.

Aisya mendengus dengan bibir manyun rupanya ia baru saja menyuarakan isi otaknya tanpa ia sadari.

"Masih merajuk ya kesayangan Abi?"

Aisya memanyunkan bibirnya berbanding terbalik dengan ekpresi yang diperlihatkannya gadis itu malah menyusup ke dalam pelukan Abinya, Aisya memeluk erat Abi-nya ia benar-benar tidak rela dengan keputusan orang tuanya. Meskipun ia kasihan melihat Misha yang masih saja menangis meskipun tidak kencang namun Aisya bisa melihat kesedihan dimata gadis itu bahkan beberapa kali Misha menyeka air matanya.

Namun tetap saja ia tidak rela jika orang tuanya memilih mengantarkan gadis itu, biar saja ia dikatakan jahat toh ia memang lebih berhak atas kedua orang tuanya.

"Sudahlah dek, kan cuma sebentar doang perginya lagian ada Bang Dion juga kan."Ali membesarkan hati putrinya, ia sungguh tidak rela meninggalkan putrinya tapi ia juga kasihan pada Misha.

Aisya mengangguk saja, biarpun dalam hati ia sama sekali tidak mempercayai perkataan Abinya barusan, ia sangat tahu bagaimana kebaikan hati Umi dan Abinya mereka pasti tidak sanggup membiarkan Misha sendirian disana apalagi jika kondisi kedua orang tua Misha benar-benar buruk. Tidak menutup kemungkinan jika Abi dan Uminya akan menetap dalam jangka waktu lama disana.

Memikirkan hal itu kembali membuat Aisya kesal sekaligus sedih ia semakin merapatkan tubuhnya pada Ali, bahkan ia tidak perduli dengan pandangan orang-orang disekitarnya, bagaimana tidak Ali yang masih sangat tampan diusianya terlihat sedang memeluk gadis belia nan cantik dengan pelukan posesif. Tentu saja mengundang pemikiran negatif orang-orang yang melihatnya.

Prilly hanya tersenyum geli melihat kelakuan suami dan putrinya itu, "Mi, barang-barang sudah lengkapkan? Tidak ada yang tinggal?"

Prilly menoleh ia tersenyum ketika melihat Dion memperhatikan barang bawaannya, "Tidak sayang, hanya Aisya yang Umi tinggal."Goda Prilly membuat Dion tersenyum dengan semburat merah dipipinya.

Prilly mengernyit bingung, tidak biasanya Dion bereaksi seperti ini jika ia goda, namun dengan cepat Prilly menghalau berbagai pemikiran buruk yang mulai bermunculan dikepalanya, hingga pengumuman keberangkatan menarik perhatian semuanya. Ali segera melepaskan pelukannya setelah mewanti-wanti putrinya ia mengecup lembut seluruh wajah Aisya dan kembali memeluk gadis itu sebelum ia benar-benar menarik kopernya.

Prilly juga melakukan hal yang sama pada Dion dan beralih pada Aisya, "Jangan manyun!"Godanya sambil memeluk erat tubuh puterinya. Ia juga berat harus berjauhan dengan anak-anaknya namun apa mau dikata jika semua harus seperti ini.

"Cepat pulang! jangan lama-lama disana! nanti Ais rindu."Ucap Aisya dengan manja namun matanya terlihat berkaca-kaca.

"Oh sayangku."Prilly kembali memeluk erat putrinya sekuat tenaga ia menahan tangisnya.

Aisya melepaskan pelukannya matanya menangkap interaksi Abi dan Dion, Aisya tidak tahu apa yang dibicarakan kedua pria itu hanya saja ia melihat Dion mengangguk beberapa kali yang dibalas tepukan bahu oleh Abi mereka.

Setelah peluk haru selesai akhirnya Ali dan Prilly beserta Misha melangkah kedalam bandara meninggalkan Aisya dan Dion yang masih menatap kepergian orang tuanya, Aisya sekuat tenaga berusaha tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Dion melirik Aisya yang masih tersenyum sambil melambaikan tangannya padahal Umi dan Abi mereka sudah tidak terlihat lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dion melirik Aisya yang masih tersenyum sambil melambaikan tangannya padahal Umi dan Abi mereka sudah tidak terlihat lagi. Dion segera meraih tangan Aisya yang masih terangkat lalu menggenggamnya tanpa memperdulikan reaksi Aisya.

Dion terus melangkah meninggalkan area bandara menuju pakiran tanpa melepaskan tangan Aisya dari genggamannya, ucapan Abi-nya tadi kembali terngiang dikepalanya mengiringi setiap langkah kakinya,

"Terima apa yang sudah digariskan nak, Takdir seseorang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa, tidak seharusnya kita sebagai umat mengabaikan apalagi sampai menolaknya. Abi titip Aisya, jaga dia, sayangi dia sesuai keinginanmu. Pesan Abi ikuti kata hatimu nak."

*****

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang