FL-36

1.4K 172 5
                                    


Aisya masih terpekur menatap dua gundukan tanah yang masih basah disisi kanan dan kirinya yang sudah dipenuhi taburan bunga diatasnya. Gundukan tanah yang menyembunyikan kedua jasad manusia yang sangat dicintai oleh Aisya.

Aisya menyentuh papan putih bertulis nama ke dua orang tuanya dengan tangan kanan dan kirinya, berdasarkan permintaan orang tuanya sejak lama, Abi dan Uminya ingin dikuburkan saling berdekatan dan Aisya sudah mengabulkannya hari ini.

Cinta orang tuanya memang benar-benar sejati bahkan mereka merenggang nyawa disaat bersamaan hingga tempat peristirahatan terakhir merekapun harus saling berdekatan. Cinta Abi dan Uminya benar-benar luar biasa menurut Aisya.

"Abi bahagia disana?" Aisya memandang sendu kuburan Abinya lalu matanya beralih pada kuburan Uminya, "Umi juga bahagiakan? Jangan bertengkar disana ya? Umi jagain Abi walaupun Abi sedikit menyebalkan tapi Abi sangat mencintai Umi."Aisya berbicara sendiri seolah Abi dan Uminya berada di hadapannya langsung.

Aisya tersenyum pedih airmatanya sudah mengucur deras namun ia tetap memaksa berbicara meskipun tersendat-sendat karena terlalu lama menangis. Tak jauh di sisinya Dion melakukan hal yang sama ia memandang sendu penuh luka pada gundukan tanah basah di hadapannya.

Tangan Dion terulur menyentuh pundak Aisya yang sedari tadi berjongkok di hadapannya, ia berharap Aisya-nya tidak melupakan keberadaan dirinya. Masih ada dirinya yang akan selalu menjaga Aisya membahagiakan Aisya seperti janjinya pada ke dua orang tua mereka.

"Kita pulang sayang?"

Aisya mendongakkan kepalanya tersenyum perih sebelum kembali menatap makam orang tuanya, "Umi dan Abi harus bahagia disana! Jangan khawatirkan Aisya disini Ais tidak sendirian ada Bang Dion yang akan menjaga Aisya."Ucap Aisya sendu tangannya terangkat bertumpu pada tangan Dion yang meremas bahunya.

Aisya kembali menitikkan air mata, "Bang Dion dan Aisya sudah resmi berpacaran Mi, maafkan kami karena belum sempat menceritakan berita bahagia ini pada kalian."Aisya menyusut air matanya, sedangkan Dion sudah berjongkok memeluk tubuh lemah Aisya.

"Maafkan kami Bi, Abang janji akan menjaga dan berusaha membahagiakan Aisya semampu Abang, Aisya belahan jiwa Abang, maafkan Abang."Dion ikut bersuara. Aisya tersenyum, "Kami akan berbahagia disini begitu juga dengan kalian apapun yang Abi dan Umi tinggalkan didunia ini ikhlaskanlah seperti kami yang sudah mengikhlaskan kepergian Abi dan Umi."tutup Aisya dengan air mata.

Dion segera membawa Aisya kedalam pelukannya, Aisya menangis tergugu sambil mengeratkan pelukannya pada pinggang Dion, "Sakit bang, rasanya sangat sakit."Adu Aisya di tengah tangisannya.

Sekuat tenaga Dion menahan airmatanya ia hancur bahkan tidak berbentuk, kepergian orang tuanya dan kehancuran Aisya benar-benar menjadi pukulan berat untuknya.

"Kuat sayang, kita harus kuat. Umi dan Abi sudah tenang jangan persulit jalan mereka dengan tangisan kita."bisik Dion sambil mengusap lembut kepala Aisya.

Aisya menganggukkan kepalanya namun tangisannya masih belum reda hingga beberapa saat Aisya baru bisa mengontrol dirinya, ia masih memeluk Dion namun kepalanya sudah menoleh menatap makam kedua orang tuanya kembali.

Putra putri Ali dan Prilly terlihat begitu hancur namun mereka berusaha saling menguatkan, jalan orang tuanya sudah berhenti disini, masa orang tuanya untuk tinggal di dunia sudah terakhir namun jalan untuk Dion dan Aisya masih panjang, keduanya sepakat melanjutkan hidup mengumpulkan puing-puing hati mereka yang ikut hancur seiring kepergian orang tua yang sangat mereka cintai.

*******

Sebulan telah berlalu, terhitung sejak hari pemakaman Ali dan Prilly, kehidupan Dion dan Aisya sudah kembali normal meskipun tak jarang Dion masih mendapati Aisya-nya menangis sendirian di tengah malam sambil mendekap foto kedua orang tua mereka.

Dion mengerti semua ini tidaklah mudah untuk Aisya-nya begitupun untuk dirinya hanya saja Dion merasa memiliki tanggung jawab terhadap Aisya hingga ia tidak memiliki waktu untuk meratapi nasibnya. Kehilangan orang yang benar-benar dicintai olehnya bukanlah hal mudah namun jika ia hancur bagaimana dengan Aisya? Siapa yang akan menjaga gadis manisnya itu?

"Sayang, aku pulang."

Aisya yang sedang memasak di dapur hanya tersenyum geli saat mendengar teriakan Dion."Ais di dapur mas."

Aisya sepakat mengganti panggilannya untuk Dion mengingat jalinan hubungan mereka yang kini adalah sepasang kekasih. Rasanya lebih cocok Dion dipanggil Mas daripada Bang oleh Aisya.

"Masak apa hari ini?"

Aisya sedikit tersentak saat tiba-tiba Dion memeluk erat tubuhnya. "Ayam goreng sama sayur asem."

Dion mengecup lembut bahu Aisya, "Sekalian sama terasi juga dong sayang."mohon Dion yang dibalas gelengan oleh Aisya.

"Enggak ah, Ais lagi malas ulek-ulek mas."

Dion memanyunkan bibirnya, "Mas yang ulek kamu kasih tahu bahannya aja."

Aisya tersenyum, "Emang mas bisa ngulek?"Goda Aisya sambil mengerling manja.

Dion terkekeh kembali mengecup bahu telanjang Aisya, "Kamu raguin mas? Nanti kamu ampun-ampunan loh kalau udah ngerasa ulekannya mas."

Aisya terbahak kepalanya bergerak mengetuk pelan kepala Dion yang masih bertengger di bahunya. "Mesum!!"

Mereka tertawa bersama, inilah yang mereka lakukan untuk melupakan kepedihan akan kepergian ke dua orang tua mereka. Aisya dan Dion sepakat untuk membangun kembali kebahagiaan mereka. Meskipun kesakitan itu masih ada tapi yang bisa mereka lakukan hanyalah bertahan dan kembali menjalani hidup.
Mereka yakin kedua orang tua mereka sudah berbahagia di surga.

Dion dan Aisya menyantap makan malam mereka dalam suasana bahagia, ternyata benar ketika mereka ikhlas hidup yang akan mereka jalani menjadi lebih menyenangkan.

"Mas besok keluar kota."

Aisya menghentikan suapannya, "Berapa hari?"Aisya berusaha biasa saja meskipun hatinya mulai bergemuruh.

Dion menyimpan sendok dan garpunya, inilah yang ia takutkan ketika Aisya bergantung padanya sedangkan dirinya memiliki tanggung jawab besar pada perusahaan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka. Dion kini menjabat sebagai Direktur di Wijaya Group dan itu benar-benar ia lalui dengan proses tidak mudah.

Dan Aisya? Ia juga tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya pada gadis ini. Selain karena janjinya pada almarhum orang tua mereka Dion sendiri tidak bisa jauh dari pujaan hatinya ini.

"Tidak lama paling dua hari sayang, nggak apa-apa ya kamu tinggal dulu atau mau ikut abang aja sekalian liburan?"Dion menyentuh tangan Aisya dengan lembut.

Aisya terdiam, ia tahu bahwa dirinya sudah berlaku egois tapi demi Tuhan ia tidak akan bisa bertahan kalau bukan karena pria ini. Aisya lebih memilih menyusul orang tuanya kalau tidak ada Dion yang menguatkannya. Tapi, Aisya mengangkat wajahnya menatap wajah tampan Dion.

Hatinya menghangat ketika mendapati senyuman tulus Dion, pria ini pemilik hatinya penguat hidupnya dan demi apapun Aisya tidak ingin kehilangan Dion. Tidak sampai kapanpun.

"Abang akan kembali?"Cicit Aisya dengan mata mulai berkaca-kaca.

Dion tersentak dengan cepat ia bangkit dari duduknya lalu berjongkok di hadapan Aisya tanpa kata Dion segera membawa Aisya ke dalam pelukannya dan saat itu tangis Aisya pecah, gadis itu menangis hebat, meraung-raung sambil mendekap erat tubuh Dion.

"Jangan pergi! Jangan.. Jangan pamit lalu tak kembali seperti Abi dan Umi. Jangan bang! Aisya mohon. Hiks.."

Terasa di hantam badai besar, Dion baru menyadari bahwa selama ini Aisya-nya tidak baik-baik saja.

******

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang