06: Smile

989 158 8
                                    

Valerie mendapatkan istirahat penuh untuk 2 hari kedepan, karena masa hukuman yang diberikan oleh Bira kepadanya telah berakhir. Dokter muda itu telah bekerja 24 jam penuh di rumah sakit sejak kecelakaan lalu lintas itu terjadi, dan kini saatnya ia beristirahat.

Walaupun sangat sering ditinggal, rumah yang Valerie bangun dengan jerih payahnya sendiri tidak pernah dibiarkan kotor dan berdebu. Ia selalu menyempatkan diri untuk membersihkan lantai dan menata ulang benda-benda setelah dilap.

Valerie alergi debu dan dingin. Dua hal itu tidak akan pernah siapapun temui di rumahnya. Banyak lilin aromaterapi tersebar di rumahnya. Bahkan di kamar mandi sekalipun.

Itu adalah pukul 7 pagi ketika ponsel Valerie berdering di atas nakas. Gadis itu baru bisa mendengarnya saat selimutnya jatuh ke atas lantai.

"Errrrrrr- ya Ben," Valerie menguap. "Hue baru bangun,"

"Selamat pagi ibu dokter yang cantik," sapa Ben dari seberang. "Bangun ya, terus mandi, terus sarapan. Temenin gua keluar hari ini. Lo libur kan?"

"Ben..." Valerie mengeluh sambil kembali meletakkan kepalanya di atas bantal. "Kenapa lo... kalo ngomong gak pernah nyante..."

"Kayaknya ayah gua beneran bakal ambil pensiun sebentar lagi Val," lanjut Ben kemudian. "Gua mau beli beberapa pasang sepatu sama kemeja hari ini. Anter gua ya, please? Gua tau selera lo bagus banget terhadap fashion cowok."

"tAPI GAK HARUS PAGI JUGA BEEEEEN," Valerie ngamuk, tapi masih sambil ngerengek. Gimana gak ngamuk? Jam tidurnya dipakai hanya untuk meladeni ocehan Ben yang gak jelas.

"i-IYA IYA AGAK SIANGAN," Ben ikut teriak di telepon. Valerie gatel mau matiin sambungan. "Yaudah pokoknya lo jangan tidur lagi oke? Kalo tidur lagi gua manjat balkon kamar lo terus gua selundupin kadal hidup."

"Najis," gumam Valerie samar.

Ben terkekeh geli, lalu mematikan sambungan telepon. Valerie menaruh kembali ponselnya di atas nakas, lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

Andai saja Ben tidak berspekulasi bahwa ayahnya akan mengambil pensiun sebentar lagi. Pasti lelaki itu tidak akan menelpon Valerie di pagi buta untuk meminta Valerie menemaninya pergi ke pusat perbelanjaan.

Dasar, Ben. Gak pernah berubah dari dulu.

*

Valerie mengetuk-ngetuk ujung sepatu sandalnya ke atas granit mall dengan kesal. Gadis itu mendesah sambil menopang dagunya, memperhatikan Ben yang masih sibuk menimang-nimang beberapa pasang kemeja yang ditawarkan oleh pihak toko.

Untung saja Ben tidak apa-apa dengan ide Valerie yang seperti itu. Hanya tinggal menyuruh pihak toko memberikan saran kemeja terbaik, lalu Ben tinggal memilih. Valerie bisa duduk di luar toko sambil mendengarkan musik atau membuka sosial media.

Namun itu akhirnya bukan menjadi pilihan yang bagus jika Ben memakan waktu satu jam untuk memilih 4 pasang kemeja.

Instagram story di akun Valerie sudah habis dibuka. Begitu juga notifikasi Path, lalu personal chat LINE, lalu pesan suara di Whatsapp. Kenapa Ben tidak kunjung selesai?

Valerie rasanya ingin pergi ke orang pintar dan menyumpahi Ben agar cepat tua, lalu bisa beristirahat dalam kedamaian.

Pria itu memang memberi Valerie sejumlah uang untuk membeli minuman dan makanan ringan, namun semua makanan dan minuman yang dibelinya telah lenyap hanya dalam kurun waktu lima belas menit saja. Valerie sudah hampir mati kebosanan.

Di tengah lamunannya mengenai kalimat sumpah serapah apa yang harus ia ucapkan kepada Ben, seseorang menepuk pundaknya dan membuat Valerie tidak sengaja mengucapkan kata-kata yang ia pikirkan.

"Fou!"

Adrian-- yang tak lain adalah pelaku yang membuat Valerie bersumpah serapah di hadapan publik, kemudian mengerutkan keningnya sambil duduk di samping dokter muda tersebut. "Ngomong apa barusan?"

Valerie memperhatikan Adrian-- antara bingung sama kesel karna keceplosan. Untung aja keceplosannya dalam Bahasa Perancis, mungkin lelaki itu gak tau barusan dia ngomong apa.

"Enggak, cuman nyeletuk aja."

Adrian duduk di sebelah Valerie, lalu memperhatikan mimik wajah gadis di sebelahnya. Valerie menoleh karna sadar diperhatikan. "Apa?"

"Dokter cantik-"

"Jangan panggil saya dokter kalau di luar rumah sakit," potong Valerie.

"Ehm, oke," Adrian membersihkan kotoran di tenggorokannya, lalu menggumam. "Valerie, kamu cantik, sih,"

Valerie melirik Adrian melalui ekor matanya.

"Tapi sayang, barusan ngatain saya gila."

"Pfffft," Valerie mendesis pelan. "Kok ngerti sih? Pake translate, ya?"

"Enggak," Adrian ngegeleng. "Mana? Saya gak bawa ponsel,"

"Bohong banget," Valerie mulai ngecekin semua kantong-kantong kardigan milik Adrian, sementara lelaki itu mengangkat tangan layaknya seorang buronan.

Mustahil sekali manusia jaman sekarang tidak membawa ponsel, apalagi ke mall. Namun Valerie tidak menemukan apapun sementara ia memeriksa kantung kardigan Adrian-- sampai ia teringat akan sesuatu.

Kenapa dia peduli soal ponsel orang lain?

Valerie berhenti, sambil memasang raut wajah yang begitu menggemaskan bagi Adrian.


"Kok aku malah jadi peduli soal ponsel sih-" Valerie menatap Adrian heran, sementara ia kembali duduk di tempat duduk semula.

Sementara Adrian sedang sibuk menahan diri untuk tidak berteriak. Udah geregetan mendengar perempuan itu menggunakan kata 'aku', walaupun hanya sekali.


"Valerie," kata Adrian kemudian. Valerie menoleh sambil mengangkat alisnya. Sepertinya gadis itu telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Adrian menaruh telunjuk tangan kanan di salah satu sudut bibir Valerie, lalu telunjuk yang lain di sudut bibir yang lain. Lelaki itu sedikit menekan ujung jarinya dan perlahan menariknya ke atas, sehingga terbentuk lengkungan tipis nan manis di wajah Valerie.

"Harus banyak-banyak senyum, apalagi di tempat umum," kata Adrian, masih dengan telunjuk yang menempel di kulit wajah Valerie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Harus banyak-banyak senyum, apalagi di tempat umum," kata Adrian, masih dengan telunjuk yang menempel di kulit wajah Valerie. "Saya tau pekerjaan kamu berat dan melelahkan. Tapi dengan gak senyum gak akan ngurangin jam kerja kamu."

Valerie cuman ngebeku di tempat. Diem. Dan tau-tau Adrian udah pergi lenyap di kerumunan orang.

"Val? Val?"

Hanya suara panggilan dari Ben yang menariknya ke realita. Akhirnya lelaki itu berhasil memilih 4 buah kemeja.

trauma | sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang