"..jadi?"
Valerie membalikkan tumitnya dan menghadap langsung ke arah Adrian yang berdiri tepat di belakangnya. Mereka kini telah sampai di akomodasi Valerie-- sebuah homestay sederhana di pesisir pantai.
Adrian menunduk, lalu memijat tulang hidungnya. Jika sudah seperti ini, mendadak saja dia tidak kepikiran apa yang harus dia ucapkan duluan.
"I'm sorry, Valerie," ujar Adrian, akhirnya. "Maaf, aku udah merlakuin kamu kayak kemarin. I know you don't deserve that,"
"Aku nggak minta kamu jelasin tentang kemarin, aku cuman mau kamu jelasin, kenapa kamu di sini?" potong Valerie cepat. "Kenapa kamu tau aku di sini?"
"Dari Ben," jawab Adrian. "Ben, yang kasih tau aku."
Valerie menggeram. "Ben...."
Adrian berjalan mendekat, menginjakkan kakinya di keramik teras dan meraih kedua sisi pinggang Valerie. "Valerie, maafin aku. Aku emang bodoh."
"Kamu gak seharusnya kayak gini," Valerie mengepalkan kedua telapak tangannya. "Kamu gak boleh nyari-nyari aku lagi."
"Kenapa?"
"Ada perempuan lain yang sekarang perasaannya jauh lebih penting untuk kamu jaga," sahut Valerie. "Bukan aku, Ad. Bukan aku yang sekarang harus kamu jaga."
Adrian meremat kaos Valerie, lalu menunduk. "I told you, ini gak sama kayak yang kamu bayangin, Valerie. Aku gak ada apa-apa sama Allura,"
"Hey, coba liat aku," tutur Adrian lembut. Lelaki tersebut menuntun Valerie mengangkat dagunya, sementara lengannya semakin erat memeluk pinggang Valerie.
"Aku tau, Valerie. Aku salah karna udah terlalu bodoh biarinin kamu pergi gitu aja waktu itu. Aku juga salah because I can't even read my own feelings," ujar sang lelaki. "Aku terlalu kalap waktu itu,"
"Allura boleh jadi pernah jadi orang yang selalu bikin aku bahagia, but it happened a long time before I met you, Valerie. Kamu gak tau how blue am I to lose you even if it's just for a week.."
"I'm sorry for leaving you alone for so many times before. And I'm sorry... for almost ditching you out from my life."
Entah sejak kapan Valerie sudah sesak menahan nafasnya yang memburu. Sekeliling matanya kini sudah memerah, ditambah bibir yang pucat membuat Adrian sesekali membuang nafasnya dengan kasar.
"No," Valerie menggeleng cepat. "Kamu harus pergi, Ad. Don't be like this, you will end up hurting both of us.."
"You deserve her. Kamu gak tau seberapa bahagianya air wajah kamu waktu kamu ceritain dia ke aku," kata Valerie lagi. "You deserve to be--"
Sebelum Valerie sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu menarik gadis tersebut ke pelukannya. Valerie membenamkan wajahnya di dada Adrian, sementara sang lelaki menempatkan puncak hidungnya di puncak kepala sang gadis.
"I deserve to be happy, sama kamu, Valerie," bisik Adrian.
Valerie mengangkat wajahnya, lalu menatap ke arah iris sayu Adrian yang tak henti menatap matanya. Lelaki tersebut tersenyum tipis.
"Terserah kamu mau suruh aku pergi, berapa kalipun. You are my home, Valerie, the only place I always come back to."
Sang gadis menjatuhkan keningnya di dada Adrian, lalu mulai menumpahkan banyak air mata. Adrian tak henti menggumamkan kata-kata maaf di telinga Valerie, sambil dengan hati-hati menyelipkan satu tangannya di bawah lutut Valerie dan menggendong gadis tersebut masuk ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Short StorySemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626