11: Not Yet

672 136 2
                                    

"Gimana Val, udah mendingan?"

Valerie menaruh seiris daging semur di atas setumpuk kecil nasi-- satu-satunya benda yang menghiasi baki makanannya siang ini. Di sebelahnya ada Safiya dan Fatya yang ikut mengantri untuk mengambil makanan prasmanan.

"Udah lumayan mendingan sih," Valerie berjalan menuju salah satu meja yang kosong di pojok ruangan kaca. "Tapi ya gitu. Masih gak enak badan. Gue rasa nyium bau betadine aja gue mau muntah,"

"Yaudah.. relax yourself, Val. Bentar lagi kan musim panas, lo bisa minta cuti beberapa hari untuk istirahat di rumah," ujar Safiya.

Fatya mengambil sepasang sumpit, lalu mulai memakan menu makan siangnya. Sementara Safiya-- gadis itu mengambil sesuatu dari kantung jas prakteknya, lalu menaruhnya di sebelah baki makan Valerie.

"Safiyaaaaaaa vanilla," Valerie merengek sambil menimang susu pemberian Safiya. "Lo kan tau gue sukanya susu vanilla bukan susu strawberry!"

Safiya menggendikan bahunya pelan. "Yang penting kan lo gak alergi strawberry."

Valerie berdecak kesal, namun pada akhirnya gadis itu tetap meminum susu pemberian Safiya-- dengan iming-iming akan buang-buang uang jika tidak diminum.

"Val," tegur Fatya setelah gadis itu menyelesaikan makan siangnya. "Gimana soal.. uhm. Adrian?"

Valerie melirik Fatya yang ada di seberangnya, lalu kembali sibuk dengan susunya-- dia berakhir mengabaikan semua nasi dan daging semur. "Nggak tau."

Fatya dan Safiya sama-sama mendesah pelan-- khawatir sekaligus prihatin atas perasaan yang melanda rekan kerja mereka akhir-akhir ini. Baik Fatya dan Safiya sama-sama tahu pasti bahwa Valerie jarang uring-uringan-- kecuali pada hari kematian ibu dan ayahnya.

"Udah yuk? Balik kerja," Valerie membiarkan baki makanan yang masih penuh dengan nasi dan daging tergeletak di atas meja, dan malah meraih kotak susu yang tidak berisi. "Gue ada jadwal operasi terakhir jam 3 nanti."

*

Beginilah Valerie di luar gedung rumah sakit saat jam prakteknya telah usai. Kesepian.

Terlihat begitu menyedihkan memang, namun begitulah keadaannya. Hanya pekerjaannya sebagai dokter yang membuat hidupnya sedikit lebih berwarna. Di luar gedung rumah sakit hanyalah ruang abu-abu berisi udara dan hiruk-pikuk kebahagiaan orang.

Hidup Valerie bagaikan sebuah kanvas polos. 1/8 bagian dari kanvas tersebut diwarnai oleh warna kuning atau hijau, dan sisanya adalah warna abu-abu atau kadang-kadang Valerie merasa sebagian dari hidupnya tidak pernah berwarna.

Berjalan di trotoar kota sendirian dengan langit mendung malah menambah kesan menyedihkan pada dirinya.

Perlu Valerie akui, bahwa ia ingin sekali menonjok rahang Ben setelah gadis itu mendengar deretan kalimat monolog milik tetangganya itu. Namun, sebagian kecil kata-kata Ben masuk menyelinap, lalu mengiris hatinya.

Bagaimana jika Ben benar? Bagaimana jika ia memang terlampau konyol untuk menyukai Adrian, pemuda yang tidak sengaja bertemu dengan Valerie saat adik perempuannya kecelakaan?

Gadis itu menyukai Adrian. Valerie tentu berpikir terlebih dahulu untuk menyukai pria seperti Adrian-- ia bahkan tidak tahu seluk beluk pria tersebut.

Namun satu kelebihan yang sangat Valerie sukai dari Adrian. Lelaki itu membawa secercah kebahagiaan untuk Valerie, bahkan walaupun Valerie hanyalah seorang dokter yang kebetulan menangani operasi adik perempuannya.

Tidakkah lelaki itu tahu bahwa menghilang seperti ini hanya akan menyiksa Valerie? Astaga- dasar pria.

Langkah Valerie terhenti di depan sebuah kedai emperan yang menjual berbagai macam minuman dan alkohol.

Gadis itu tahu bagaimana mengakhiri harinya yang memprihatinkan ini.

trauma | sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang