41: Ill

698 103 23
                                    

Valerie jatuh sakit setelah 4 jam berlalu. 

Ben dengan telaten merawat Valerie-- mengompres kening gadis tersebut dan membelikan bubur setiap waktu makan-- karna Ben tidak bisa memasak. Lelaki itu bahkan menghabiskan waktunya untuk tidur, makan, dan belajar mata kuliah di rumah Valerie. 

Tubuh Valerie seakan-seakan tidak berdaya di balik selimut satin marun hangat yang menutupinya. Gadis tersebut mengigau sepanjang malam menyebut nama Adrian, meremat selimut dan kembali tertidur dengan keadaan menangis. 

Bahkan Ben tidak dapat melarang gadis tersebut kembali mengonsumsi obat depresan. 

Pada malam esoknya, Valerie bisa sepenuhnya terjaga. Gadis tersebut tak mendapati seorangpun di kamarnya, namun lampu di ruangan tengah masih menyala; yang berarti ada seseorang yang belakangan ini terus merawat dan menjaganya. 

Gadis itu bangun dari tidurnya, lalu perlahan bersandar di kepala ranjang. Tangannya dengan erat memegang pinggiran nakas. Air di dalam gelas terlihat goyang akibat getaran kecil di sana. 

Ben datang 15 menit setelahnya. Lelaki itu membawa buku tebal bertuliskan panduan TOEFL. Mukanya menyiratkan banyak kegelisahan. 

"Valerie.. oh God. Akhirnya lu bangun juga," Ben menaruh buku tebal di atas meja besar di kamar Valerie, lalu duduk di samping ranjang. "Are you feeling better now?" 

Valerie memejamkan matanya. "Gue.. emang gak papa kok." 

Suaranya serak-- bahkan nyaris menghilang.

"Muka lu masih pucet, bego," Ben menghela nafas, lalu mengusap surai Valerie dengan lembut. "Mau minum?" 

Valerie menggeleng pelan. Gadis itu merasakan rasa pahit luar biasa di pangkal tenggorokannya. 

"Sebenernya lu kenapa? Siapa yang bikin lu pulang-pulang nangis kayak semalem?" tanya Ben. "Lu gak biasanya kayak gini, Val. Gua tau lu gimana, apalagi semenjak lu kenal sama cowok yang namanya Adrian itu." 

Valerie melenguh kecil, lalu menggelengkan kepalanya kuat untuk menahan air mata kembali meluncur ke wajahnya. 

"Gue.. gak mau ceritain itu ke lo. Gak penting," sahut Valerie dengan suara serak. "Cari tau sendiri aja." 

Ben menghela nafas. "Gua habisin orang yang bikin lu kayak gini, Val. Gua gak bercanda." 

Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar Valerie. Terlihat sosok Safiya yang berdiri di ambang pintu, kemudian berjalan perlahan masuk ke kamar. 

"Nah, kebetulan lu dateng," Ben mendesah lega, lalu berdiri dari kursi dan menarik lengan Safiya. "Lu jagain dulu si Valerie, gua mau cariin dia makanan. Oke?" 

Safiya mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu menempati bangku yang tadinya ditempati oleh Ben. Valerie memperhatikan Safiya, lalu menghela nafas dan memejamkan mata. 

"Are you okay now, Val?" bisik Safiya. Kedua tangannya meremat celana kulot yang ia kenakan. Perasaan bersalah memenuhi dadanya.

Valerie tidak menjawab. Gadis itu masih memejamkan matanya.

"I'm sorry forㅡ"

"Udah gak ada lagi Val sama Ad, Fi," ujar Valerie pelan. Gadis itu membuka matanya yang sembab, lalu menatap datar ke arah Safiya.

Safiya menghela nafas.

"Kenapa lo gak kasih tau gue?" Valerie berbisik serak, lalu kembali menangis. "Gue tau.. gue tau lo temen baiknya Allura. Mustahil lo gak tau apa tujuan dia dateng ke sini."

"Gue juga tau lo mau ngomong soal confession-nya Allura waktu kita ketemu di lift, ya, kan?" Valerie terisak hebat, tubuhnya kembali bergetar.

"Gue," Safiya menggigit bibir bawahnya. "Gue takut, Val.. gue takut lo kecewa saat lo lagi bahagia-bahagianya,"

"Gak ada bedanya, Fi," timpal Valerie. "Mau lo ngomong, atau enggak. Things will find its truth. Gue juga pada akhirnya bakal tau apa yang terjadi di balik Ad sama Allura. Bahkan dengan cara yang se-menyedihkan ini. Lo ngerti maksud gue?"

"Only if you know, Fi. Kalau aja lo tau gimana kesiksanya gue setelah nyadar, I belong to no other than my own trauma."

Valerie menatap Safiya dengan tatapan sulit diartikan, sementara Safiya terus menerus menunduk sambil masih meremat kulotnya.

Gadis itu melorot kembali berbaring di ranjang. Valerie menarik selimut, lalu menutup matanya.

"Pulang, Fi," ujar Valerie melembut.

"Maaf, Val.. maaf. Tolong jangan benci gue," Safiya menggigit bibir bawahnya.

Valerie tersenyum kaku.
"Gue gak pernah benci lo," sahutnya. "Tapi seenggaknya... gue butuh waktu untuk mencerna semuanya."

trauma | sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang