Sang gadis terus berjalan menyusuri ilalang tinggi yang tumbuh menjulang sampai menutupi tubuh bagaian bawahnya, sementara sang lelaki masih terus memanggil namanya.
"Valerie!" teriak sang lelaki.
Valerie mendesah kesal sambil terus menggigiti bibir bawahnya, menahan air mata yang rasanya ingin melesak turun membasahi wajahnya. Kenapa harus dateng lagi, sih?
Sampai sang priaㅡ yang tak lain adalah Adrian tiba di titik penghabisan kesabarannya, ia menarik lengan Valerie dan memaksa gadis tersebut untuk memutar tumitnya.
"Valerie, dengerin aku dulu," kata Adrian. "Can't you just give me one more chance?"
"What else?" Valerie menghela nafas, separuh malas menatap sosok yang kini tengah berdiri di hadapannya. "We're over. Gak ada yang perlu dibahas lagi."
"We're not over," sahut Adrian cepat. Lelaki tersebut menggenggam pergelangan tangan Valerie hingga buku-buku jarinya memutih.
"Aku sibuk, Ad," timpal Valerie cepat, sambil menyembunyikan kesedihannya. "Aku mau selesain tugas aku dulu."
Adrian menarik lengan Valerie untuk membawa gadis itu mendekat, lalu menaruh telapak tangannya di kening dan pelipis Valerie.
"You're sick, Valerie,"
Valerie memejamkan matanya, lalu perlahan merintih. "Jangan ganggu aku dulu.."
Adrian membiarkan Valerie larut dalam pikirannya, masih dalam keadaan terpejam, sementara Adrian terus menahan lengan Valerie dan menempatkan lengannya yang lain di sekitar pinggang belakang Valerie.
Valerie kemudian membuka matanya, yang langsung disambut oleh mata Adrian.
"Aku emang bingung sekarang. I'm too perplexed by the fact that you are here, Ad," ujar Valerie. "Tapi aku engga mau denger penjalasan kamu dulu. Lebih baik nanti aja."
Adrian mengangguk maklum. Gadis itu mungkin masih butuh waktu untuk memahami semuanyaㅡ memahami maksud kedatangan Adrian yang mendadak di pesisir pantai tempat ia melaksanakan tugas.
"Want to go home?" tutur Adrian lembut, sambil mengusap kening Valerie. "I mean, ke akomodasi kamu. You're sick, Valerie, jangan terlalu maksain diri."
Valerie menggeleng. "Aku mau lanjut kerja."
Adrian terdiam sebentar, lalu mengangguk.
"Kalau gitu, tolong izinin aku," kata Adrian. "Izinin aku buat jagain kamu."
**
Jika Adrian bilang akan membantu, maka lelaki tersebut tidak main-main. Lelaki tersebut kini sudah sibuk berkutat dengan berbagai macam kit medis yang berserakan di pasir pantai.
"Kamu gak bisa nyusunnya?" kata Valerie tiba-tiba, membuyarkan Adrian yang tengah menatap kosong ke arah rak besi di depannya. "Kan udah ada bagian-bagian untuk setiap kitnya, kamu tinggal susun aja di setiap bagian rak yang udah disekat-sekat."
"Oh, enggak, kok," sahut Adrian. "Aku cuman lagi liatin itu, pohon kelapanya bagus banget."
Valerie menunjuk arah telunjuk Adrian, tepat mengarah ke sebuah pohon kelapa yang tak jauh dari posko tim medisnya.
"Hah?" Valerie mengerutkan keningnya.
"Bagus, kan?"
"Bagus apanya?" Valerie balik bertanya, namun pertanyaan gadis tersebut hanya dibalas oleh kekehan ringan Adrian.
"Cepet sembuh," Adrian mengusap surai Valerie dengan lembut, lalu lelaki tersebut mulai sibuk menata kit medis di atas rak, meninggalkan Valerie yang masih menatapnya dengan heran.
"Wah, siapa, tuuuh?" Lena menyenggol lengan Valerie, sambil terus memompa tensimeter. "Suami?"
"Apa, sih?" Valerie tersenyum tipis sambil menggeleng. "Bukan siapa-siapa."
Itu adalah hari kedua Valerie bertugas sebagai sukarelawan, karena gadis tersebut langsung bekerja ketika sampai kemarin pagi.
Banyak sekali warga sekitar pantai yang berbondong-bondong datang untuk memeriksakan kesehatan mereka pasca bencana beberapa pekan yang lalu, dan Valerie tidak bisa begitu saja takluk dengan kondisi tubuhnya di saat banyak sekali hal yang harus ia selesaikan.
"Tekanan darah normal, detak jantung normal," ujar Valerie pelan. "Kamu gak ngerasain apa-apa selama beberapa minggu setelah bencana kemarin?"
"Enggak," sahut seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun. "Kebetulan waktu kejadian, aku lagi diajak Papa ke hutan, sedikit menjauh dari bibir pantai. Makanya aku.. nggak terlalu banyak kerendem air."
"Oh, bagus deh kalau gitu," Valerie tersenyum, lalu mengusap lengan anak tersebut. "Mama kamu mana, sayang?"
"Aku belum liat Mama dari dua minggu yang lalu," sahut gadis kecil tersebut, polos. "Kata Papa sih Mama belum pulang, mungkin sebentar lagi."
Valerie tertegun sebentar dengan mulut yang sedikit terbuka, lalu tersenyum tipis. Gadis itu bahkan tidak bisa menahan tangannya untuk terus mengusap rambut dan pipi gadis cilik di depannya.
"Mama kamu pasti seneng kamu sehat," bisik Valerie sambil tersenyum lebar.
"Tapi ada masalah kecil di kulit kamu," Valerie mengusap satu bagian di kulit lengan sang perempuan. "Habis dari sini, kamu cari tenda yang warnanya kuning gading. Nanti kamu dikasih obat biar kulit kamu jadi bagus lagi."
"Emangnya gak papa, Kak Dokter?" tanya si anak kecil. "Tadi aku cuman disuruh ke sini aja, soalnya."
"Bilang aja disuruh Kakak Valerie, oke?" Valerie mencubit pipi anak kecil tersebut, lalu menepuk puncak kepalanya. "Dah, cepetan! Nanti keburu malem, loh!"
"Duuh, lucu deh," cibir Lena sambil terkekeh. "Kayak ngurus anak sendiri."
"I'm still sad.... for her mom," ujar Valerie sambil menghela nafas.
"Semoga baik-baik aja deh anaknya,"
Valerie mengangguk, lalu berdiri dari duduknya sambil mengalungkan stetoskop di lehernya. Gadis tersebut berjalan menghampiri Adrian yang daritadi acara menyusun kit medisnya belum juga selesai.
"Val, anak tadi kenapa?" tanya Adrian kepada Valerie yang mulai membantunya menyusun peralatan medis di rak besi.
Namun alih-alih menjawab, Valerie malah bungkam dan asik menata bungkus-bungkus kapas di sana.
Adrian tersenyum. "Kamu cocok, Valerie, jadi dokter."
"Kamu daritadi ngapain aja?" Valerie menoleh sambil mengangkat alisnya. "Kok nyusun barang segini dikitnya aja nggak beres-beres?"
Bisa mampus Adrian jika dirinya terciduk memperhatikan Valerie selama gadis itu memeriksa 'pasien-pasien'-nya. Bahkan menyusun kapas dan betadine pun membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit bagi lelaki tersebut jika fokusnya telah jatuh pada sosok Valerie yang berada di belakangnya.
"Hey," tegur Valerie.
"Oh," Adrian mengerjap, masih tersenyum. "Itu, aku masih liatin pohon kelapa yang tadi aku tunjukin ke kamu. Lucu banget."
"...what?"
**
kSKSKKS SUMPAH DEMI APAPUN ini part paling absurd kayanya gatau lagi gwe :"(
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Short StorySemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626