20 menit berlalu, dan Adrian belum berani melepaskan genggamannya dari genggaman Valerie. Pasalnya, lelaki itu masih merasa riskan setelah melihat reaksi Valerie atas tempat yang mereka jadikan sebagai tempat untuk menghabiskan waktu di hari libur tanggal merah.
Gadis itu juga masih terlihat sibuk menenangkan dirinya. Kadang-kadang meremat habis tangan Adrian, tapi lelaki itu tidak menggubrisnya. Apapun asal Valerie bisa merasa tenang dan aman.
"Valerie, are you really okay?" Adrian memegang satu tangan Valerie dengan kedua tangannya. "Kita bisa pulang atau cari tempat lain kalau-"
"No," sahut Valerie. "Aku engga apa-apa."
Celakanya, Adrian tidak pernah tahu bahwa Valerie sepertinya memiliki ketakutan atau phobia tersendiri terhadap lautan dan kapal pesiar. Kenapa juga Adrian lupa menanyakan gadis tersebut soal phobia?
Satu tangan Valerie yang lain tidak lepas dari pagar pembatas di pinggiran kapal pesiar mini yang mereka berdua pijaki saat ini. Pandangannya terpaku pada ufuk tepat di depan wajahnya. Adrian menghela nafas khawatir.
"Indah."
Valerie kemudian melepaskan tangannya dari tangan Adrian, lalu mencoba merogoh isi tas selempangnya-- mencari sesuatu. Adrian mengangkat alisnya, lalu kembali meraih tangan Valerie dengan cepat.
Valerie mengangkat alisnya, cukup terkejut atas tindakan Adrian.
"Valerie, ada apa?" Adrian menggenggam erat tangan Valerie. "Ada apa antara kamu sama laut?"
Sebuah senyum tipis terukir di wajah Valerie.
"Laut, ya? Aku takut," Valerie terkekeh kecil. "Tapi kangen."
Ada sebuah perasaan yang tersirat dari bola mata Valerie. Perasaan antara sedih dan rindu terpancar jelas dari sana.
Adrian berhasil menenangkan Valerie, sementara kapal pesiar mini-nya berlayar ke tempat yang cukup bagus untuk melihat matahari terbenam.
*
"Ad,"
"Hmm?"
"Gimana rasanya.. kalau kamu harus liat salah satu keluarga kamu ngakhirin hidupnya di laut," Valerie menggoyangkan gelas yang berisi cairan yang tidak terlalu pekat. Sejenis mojito. "Dengan mata kepala kamu sendiri?"
Adrian menatap Valerie lekat-lekat, lalu mendesah sambil kembali melihat lautan. "Pastilah aku sedih, Valerie. Gak ada yang mau liat anggota keluarganya sendiri meninggal, apalagi di tempat semacam lautan. Sarat akan kesepian,"
Valerie mengerjap. "Tapi aku ngalamin.. walaupun aku gak mau."
Sebuah lengan membawa Valerie mendekat ke arah Adrian, sementara satu tangan Adrian mengambil gelas dari tangan Valerie dan menaruhnya di meja terdekat.
Valerie menaruh tengkoraknya di atas bahu kiri Adrian, dan wajahnya kini langsung menghadap ke arah langit senja dengan kawanan kelelawar yang berterbangan.
"Aku di sini Val," bisik Adrian. "Aku dengerin semua curahan hati kamu."
"Ayah aku harus meninggal di atas kapal dan berakhir di lautan," Valerie mencari posisi nyaman di bahu Adrian, sementara lelaki di belakangnya menciumi puncak kepalanya. "Kalo Ibu aku beda lagi. Dia meninggal di rumah sakit pas pagi-pagi, karna tim medis gak bisa nolongin nyawanya."
"Apa itu alesannya kamu mau jadi dokter?" tanya Adrian hati-hati. Valerie mengangguk.
"Asalnya aku mau jadi psikolog," sahut Valerie. Suaranya kini sudah semakin bergetar, namun masih sebisa mungkin tetap tenang. "Tapi gak mungkin.. susah untuk tenangin orang lain, kalau tenangin diri sendiri aja aku masih belum bisa."
Kalimat terakhir Valerie sukses membuat Adrian menghela nafas. Tangan lelaki itu memeluk Valerie jauh lebih erat, sementara Valerie sudah mulai meneteskan air matanya satu per satu.
Baik Adrian maupun Valerie sama-sama mempertahankan keheningan sampai 5 menit ke depan. Hanya ada suara deburan ombak serta bising katrol yang menurunkan jangkar. Valerie menghela nafas, lalu melepaskan diri dari rengkuhan Adrian setelah air matanya mengering.
Gadis itu berdiri di hadapan Adrian, lalu menunjukkan senyumnya. Senyum yang cerah, walaupun matanya masih terlihat cukup sembab. Hal itu membuat Adrian tersenyum tipis.
"Valerie," ujar Adrian. "Jujur sama aku. Pil-pil yang kamu bawa di dalem tas kamu. Itu-"
Valerie mengangguk. "Iya, Ad. Pil depresan."
"Aku belum bisa lepas dari obat depresan," Valerie kembali merogoh tas selempang yang belum ia lepas dari tubuhnya, lalu mengeluarkan botol transparan, persis seperti yang Adrian lihat tadi pagi. "Aku masih rutin minum obat depresan, walaupun nggak tiap hari."
"Sulit rasanya hidup tanpa depresan, Ad," Valerie tersenyum ringkih. Lalu tangan Adrian meremas lengan atasnya. "Aku trauma bahagia... aku trauma untuk bahagia dan akhirnya malah menderita lagi, kayak dulu."
Adrian menunduk, lalu memejamkan matanya. Semua kepedihan yang diceritakan oleh wanita yang dipujanya ini seakan tersalurkan ke dalam hatinya sendiri.
"Valerie, sayang," Adrian mengangkat dagunya. Tangan kirinya mengambil botol pil depresan milik Valerie, lalu menaruhnya di meja yang sama yang ia gunakan untuk menaruh gelas mojito. "Aku suka kamu bukan untuk sesuatu yang khusus. Aku gak mau minta macem-macem, tapi aku mau kamu lakuin satu hal. Untuk aku, untuk kamu, untuk masa depan kamu and of course, untuk masa depan kita berdua,"
Di detik itu Valerie belum berani melepas pandangannya dari sendal santai yang ia kenakan, sampai tangan Adrian meraih dagunya dengan lembut.
"Berhenti konsumsi pil depresan," ujar Adrian tegas, namun masih terdengar menenangkan. "Kamu itu dokter, Valerie. Aku gak perlu jelasin lebih jauh soal efek depresan. Yang jelas itu bahaya buat kamu."
Valerie kembali terisak. Namun tak ada sedikitpun usaha untuk memalingkan kepala.
"Aku tau, sulit bagi kamu untuk hidup dengan beban memori yang gak menyenangkan. Tapi kamu gak butuh depresan, itu sama sekali gak berguna buat kamu," Adrian menarik Valerie lebih dekat. "Yang kamu butuhin cuman keberanian untuk cerita, Valerie,"
"Banyak orang yang sayang sama kamu. Ada aku, Safiya dan Fatya rekan kerja kamu, Ben, tetangga dan sahabat kamu dari kecil, Adnan adik aku juga sayang sama kamu," Adrian menunduk, lalu mengusap pipi Valerie. "Bahkan Vinka kolega aku di kantor juga seneng sama kamu. You are loved, Valerie. Semua orang di sekitar kamu lebih berguna daripada sekedar pil depresan."
Valerie meremas kemeja khaki milik Adrian. "Aku udah ketergantungan sama depresan,"
"Ada aku, Valerie," Adrian menghapus jejak air mata yang terlukis di kedua pipi putih gadis tersebut. "Aku gak akan biarin kamu inget sama depresan terus. Aku tau, kamu bisa lepas dari ketergantungan obat depresan. Kamu lebih kuat dari yang kamu bayangin."
Adrian menggenggam tangan Valerie di pinggangnya, menggenggamnya. Sesaat kemudian lelaki itu membawa Valerie ke pelukan hangatnya. Sebuah pelukan di bawah langit musim panas.
Lelaki itu membiarkan Valerie terisak di dadanya. Dagu Adrian ditempatkan di puncak kepala Valerie, sambil tangannya menepuk punggung Valerie.
Adrian menunduk, lalu berbisik lembut di daun telinga Valerie.
"Aku mau jadi orang yang bisa jauhin kamu dari semua rasa trauma kamu," ujarnya. "You are worth for everything, Valerie."
**
makin drama aja mbak drew : (
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Short StorySemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626