Tidak ada yang membuka percakapan setelah mobil Adrian berlalu selama 10 menit. Valerie malah asik memperhatikan jalanan panjang yang penuh dengan daun-daunan kering.
Pikiran Valerie berkecamuk kemana-mana. Vinka itu siapa? Apa bener cuman temennya Adrian? Safiya pernah bilang kalau biasanya antara rekan kerja itu selalu muncul setidaknya sedikit perasaan. Apa Adrian suka sama Vinka?
Dan lebih parahnya lagi, kenapa Valerie malah memikirkan soal ini?
Padahal dia bukanlah siapa-siapa bagi Adrian-- maksudnya, hanya sekedar teman mengobrol saat lelaki itu berkunjung ke rumah sakit untuk membesuk Adnan.
Penampilan Vinka yang elegan masih terbayang di benak Valerie. Bagaimana gadis itu menyampirkan blazer kotak-kotak kuning di bahunya, serta baju polos nan mahal di baliknya, rok hitam di atas lutut dan high heels hitam yang mengkilap.
Valerie pelan-pelan melirik penampilannya sendiri. Jas praktek seorang dokter, baju hijau pastel sederhana, celana kulot putih lengkap dengan sepatu tali dengan warna yang senada-- Valerie tidak biasa memakai high heels saat jam kerja.
Diam-diam gadis itu menghela nafas. Namun, helaan nafasnya terdengar oleh Adrian. Kebetulan posisi mobilnya sedang terhenti akibat lampu merah.
"Ad,"
"Hmm?"
Valerie terdiam sebentar. Lalu memberanikan diri menatap Adrian. Lelaki itu sudah siap untuk mendengarkan Valerie yang terdengar ingin bertanya.
Namun kemudian,
"Kok gerobak buburnya gak ada?"
Adrian hampir mati karena ngakak akibat pertanyaan konyol Valerie. Tunggu-- jangan-jangan gadis itu benar-benar mempercayai profesinya sebagai penjual bubur? Tidak mungkin. Adrian bahkan sudah menilik pertanyaan apa yang akan gadis itu tanyakan.
"Kok nanyain bubur? Yakin itu pertanyaannya?" jawab Adrian ringan. Lelaki itu mengetuk-ngetuk jari telunjuknya terhadap setir.
"Iya, bener," kata Valerie singkat. "Kamu bilang kamu jualan bubur di depan gedung abu-abu barusan."
Adrian terkekeh. Lelaki itu menoleh, lalu mendekatkan tubuhnya kepada tubuh Valerie yang masih diam di tempat-- tidak mau menghindar.
"Valerie.. Vinka itu temen saya. Cuman rekan kerja. Kamu mikir apa, hayo?" ledek Adrian, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Valerie yang sudah berubah menjadi layaknya kepiting rebus.
Gadis itu berdecak malu. "Ish- beneran mau nanya tentang bubur padahal."
Adrian tersenyum teduh, lalu menjalankan kemudi setelah lampu berubah menjadi hijau. "Beneran jual bubur, kok."
"Bohong banget, nggak ada gerobaknya!"
"Val, kamu mau tau? Saya itu terima orderan bubur," ujar Adrian jahil. "Jadi saya jualannya di dalem gedung. Pake pakaian rapih juga."
Valerie cuman micingin mata, sambil memperhatikan Adrian yang tersenyum jahil. Gadis itu melipat tangannya. "Yaudah, kalau gitu aku mau order. Boleh gak?"
Adrian ngangguk pasti. "Boleh. Order berapa Bu Dokter?"
"Mm," Valerie menggumam. "Satu aja."
"Siap deh. Buat sarapan besok, ya?"
*
Valerie baru saja tiba di rumah sakit bersama Ben. Lelaki itu sengaja mengantar Valerie ke tempat ia bekerja, karena ia harus memeriksa matanya. Ben mengaku penglihatannya sedikit memburam akhir-akhir ini.
Hari ini, Valerie bekerja sedikit lebih siang dari biasanya, karena ia tidak punya jadwal pasien untuk kontrol ataupun operasi di pagi hari.
Baru saja mengambil name tag yang digantung di dekat meja resepsionis, Valerie telah dikejutkan dengan pekikan khas milik Safiya. Ada Ares yang mengekor di belakang.
"Safiya!" Valerie ngambek. "Kok lo teriak-teriak sih? Gak bisa kalem dikit apa, ya?"
Safiya mendekat ke arah Valerie, lalu mengangkat sebuah kantung plastik berwarna hitam, yang dibalas dengan tatapan penuh tanya dari Valerie.
"Apaan nih?"
"Sejak kapan lo seneng mesen bubur buat sarapan di rumah sakit?" Safiya menaruh kantung plastik berisi sebungkus bubur karna Valerie tak kunjung meraihnya.
"Setau gue nih setau gue," Ares menimbal. "Lo sukanya makan sereal gratisan di dapur rumah sakit. Ya gak Val?"
Sementara dirinya diejek oleh rekan kerjanya, Valerie masih bingung memikirkan asal mula sebungkus bubur yang ada di hadapannya saat ini.
"Sumpah demi apa gue gak mesen- oOOOH!"
Ares dan Safiya mendadak mundur menjauhi meja resepsionis akibat teriakan dari Valerie. Untung penjaga mejanya lagi pergi ke belakang, jika tidak? Valerie sudah kembali diusir ke unit ugd oleh atasannya, Dokter Bira.
"Gue tau gue tau!" Valerie membuka kantung plastik hitam itu dengan semangat, lalu menemukan sebungkus bubur polos lengkap dengan topping ayam, kacang dan bawang-bawang yang terpisah.
Safiya terkikik geli, lalu berlalu sambil menggeret Ares agar tidak mengganggu mood Valerie yang sedang berbunga-bunga.
Gadis itu tersenyum. Kenapa lagi Adrian benar-benar membelikannya sebungkus bubur ayam?
Sebuah telpon di atas meja resepsionis menginterupsi lamunan Valerie. Gadis itu menormalkan suaranya, lalu mengangkat telepon. "Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?"
"Uh, halo," sapa orang di seberang telepon. "Bisa bicara dengan Dokter Valerie?"
Valerie terkekeh geli. Suara Adrian. Ia bisa memastikannya.
"Dengan saya sendiri," sahut Valerie sambil menahan tawa. "Ini dengan tukang bubur?"
Akhirnya, Adrian bisa mengeluarkan tawanya dengan lega. "Hahaha. Udah sampe buburnya?"
"Udah, makasih ya?" Valerie tersenyum. "Kamu ngapain nelpon ke telepon kantor? Ada-ada aja. Untung pas-pasan aku yang lagi deket di meja."
"Ponsel saya ketinggalan di rumah. Belum diambil," sahut Adrian dari seberang. "Yaudah, kamu sarapan dulu kalo gitu. Saya mau pulang dulu ambil ponsel."
Valerie tersenyum lagi, lalu membiarkan Adrian memutus sambungan telepon. Gadis itu menaruh kembali gagang telepon ke tempat semula, lalu meraih bungkus bubur ayam dan lekas berjalan ke lift untuk makan di ruangannya.
Untuk apa pula lelaki bernama Adrian ini benar-benar membelikannya sebungkus bubur ayam? Dan kenapa pula dia mengingat nomor telepon Valerie di luar kepalanya?

KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Historia CortaSemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626