Tak perlu menunggu hari esok bagi Adrian untuk secepatnya berangkat menuju kediaman Valerie yang lumayan jauh dari rumahnya. Ditambah jalanan yang macet di malam hari, lelaki itu baru bisa memarkirkan mobilnya di depan rumah Valerie sekitar pukul delapan malam.
Adrian begitu rindu berkunjung ke rumah Valerie. Seperti sudah lama sekali dia tidak memeriksa kondisi Valerie di rumah ini, padahal hal tersebut seperti sudah menjadi kebiasaannya sebelumnya.
Setelah mengunci mobilnya, Adrian membuka gerbang, lalu berjalan pelan mendekati pintu masuk. Sebelumnya lelaki tersebut mendapati lampu tengah rumah Valerie yang masih menyala. Itu artinya gadisnya belum tidur.
"Valerie," kata Adrian, setelah mengetuk pintu. "Ini aku, Val. Buka pintunya."
"I'm sorry, Val," kata Adrian lagi.
Tidak ada sahutan. Lelaki tersebut kembali mengetuk pintu, kali ini dengan lebih banyak tenaga yang tersisa, walaupun Adrian merasa begitu kelelahan. Lelaki tersebut terus mencoba sampai akhirnya matanya jatuh pada sebuah benda yang terletak persis di sebelah pintu.
Sebuah alat fingerprint dan passcode.
Adrian masih ingat betul bahwa kodenya adalah 1401. Kode yang diberikan Valerie saat ia membawa gadis itu pulang dan sampai terbaring di kamarnya.
Sebetulnya, manner adalah aturan pertama bagi Adrian dan lelaki itu belum pernah melanggarnya. Namun mungkin dia harus mematahkan aturannya untuk kali ini saja.
Tetapi belum sempat jemarinya menekan satu angkapun, seseorang membalikkan tubuh Adrian dan melayangkan sebuah tinjuan ke rahang pria tersebut.
"Brengsek!"
Ben datang dan tanpa basa-basi memukul Adrian yang mencoba masuk ke kediaman Valerie. Lelaki tersebut menarik kerah baju Adrian dan menyeretnya ke halaman rumah Valerie yang lengang-- biasanya hanya ada mobil milik Ben terparkir di sana.
Setelah puas meremukkan rahang dan meninju tulang pipi Adrian, Ben meremat habis kerah kemeja Adrian dan sedikit mengangkatnya-- membuat Adrian sedikit mengangkat kepalanya sambil terus mengatur nafasnya.
"Jangan karna lo bisa gitu aja ngalihin Valerie dari segala penderitaannya, lo jadi ngerasa gak bersalah kayak gini, bro," Ben menggertakkan giginya. "Lo harus tau betapa bahayanya hidup lo sekali lo merlakuin Valerie layaknya sampah kayak yang lo lakuin sekarang,"
Adrian hanya menatap lurus ke arah Ben. Hidungnya kini bahkan telah berdarah.
"Sorry," gumam Adrian. "Sorry.. udah bikin sahabat kesayangan lo... sakit."
Bug.
"Lo yang sakit," bentak Ben. "Dosa apa Valerie di kehidupannya yang sebelumnya sampe dia ketemu cowok macem lo, Adrian?"
"Gua mau perbaikin semuanya," Adrian memejamkan matanya akibat pandangan yang mulai muram, sambil terbatuk-batuk. "Gua juga gak mau dia pergi,"
Bug.
"Nyesel gua udah relain Valerie bahagia sama lo," Ben masih setia mengangkat dan meremat kerah kemeja Adrian, sementara sang lawan seperti telah tak sadarkan diri sambil terus memejamkan mata, menggumamkan nama Valerie. "Nyesel gua udah biarin cewek yang gua sayang lo sakitin gitu aja. Brengsek, lo."
Jauh dari halaman tempat di mana Ben dan Adrian saling baku hantam, Valerie menyaksikan semuanya di balik sebuah jendela yang terbuka kecil. Terisak, bersama dengan semilir angin yang menyelinap masuk.
Gadis itu begitu kesakitan melihat kedua lelaki yang ia sayangi terlibat baku hantam, terlebih ia adalah alasan dibalik mengapa pertengkaran tersebut terjadi.
Valerie begitu menyayangi Ben sebagai seorang sahabat. Namun gadis itu tak perlu menyebutkan sebagaimana besar ia menyayangi sosok Adrian hingga ia sendiri merasa kesakitan saat melihat Adrian babak belur karena Ben.
Gadis itu menekuk kedua lututnya, menumpuk kedua lengannya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia harus bagaimana?

KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Cerita PendekSemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626