Walaupun rasa sayang yang dirasakan oleh wanita tersebut masih terasa sangat membuncah, namun tidak bisa Valerie pungkiri bahwa semuanya telah berbeda.
Adrian tidak lagi meneleponnya di pagi hari dan tidak lagi mengunjungi rumahnya di akhir pekan setelah Valerie berolahraga. Maka Valerie selalu menghabiskan waktu liburannya sambil menonton seri-seri televisi, sendirian.
Valerie dan Adrian kini hanya bertukar kabar ketika Valerie mengunjungi Vinka di kantor.
Pada awalnya, Valerie biasa saja dan maklum soal hal ini. Adrian bukanlah pria menganggur sejak pertama kali ia bertemu dengan Valerie. Terlebih itu adalah pertengahan tahun, di mana kesibukan di dunia kerja meningkat tajam dibanding awal tahun.
Namun gadis itu tidak tahu semuanya dapat berubah begitu saja.
Seperti biasa, Valerie memilih berjalan dari bus stop ke rumah sakit tempat dia bekerja. Rumah sakit buka pukul delapan pagi, namun Valerie tidak perlu datang sepagi ituㅡ kecuali dia punya jadwal operasi.
Rumah sakit telah ramai dikunjungi banyak orang saat Valerie melewati pintu masuk utama. Gadis itu memilih untuk masuk melalui pintu belakang untuk terlebih dahulu mengambil sebotol air putih sebelum mulai bekerja.
"vALERIEEE!" Sebuah teriakan nyaris membuat gelas yang dipegang Valerie melayang ke udara. Ada Safiya yang datang sambil sedikit berlari ke arahnya.
"Sumpah," kata Valerie, setelah tubuh mungilnya sukses masuk ke dekapan Safiya. "Lo cocok deh, pacaran sama Ben. Sama-sama enggak pernah nyantai, tau gak?"
"Hehehe, kangen gue," kata Safiya. "Kangen si Vayeyie ini kerja lagi di rumah sakit."
"Gimana liburannya?" tanya Safiya.
"Mm, lumayan," Valerie menaruh gelas di konter dapur, lalu melepas pelukan Safiya dan bersandar di meja konter.
"Gue.. seneng banget sih di sana," Valerie tersenyum. "Walaupun hari-hari terakhirnya gak sama Ad."
Bayangan malam penuh bintang di mana ia dan Adrian menghabiskan malam bersama di atas sofa penthouse, berbagi pelukan dan kecupan ringan kembali membuat Valerie meremat jas prakteknya.
Astaga, sebesar inilah efek presensi Adrian di hidupnya. Valerie bisa-bisa membuat kesalahan saat operasi jika Adrian terus menerus membuatnya gugup.
Safiya mendesah, lalu menyenggol lengan Valerie. "Bucin!"
Valerie terkekeh. "Eh, ngomong-ngomong, anter gue ke lobby, yuk? Mau ngomong sama Pak Kevin."
"Ngomong apa?" Safiya mengerutkan keningnya.
"Ada deh!" Valerie merangkul pinggang Safiya, lalu keduanya berjalan menuju lobby rumah sakit.
*
Langkah pendek Valerie dengan sepatu putihnya terhenti saat ia melihat seseorang yang begitu familiar di indranya.
Begitu juga Safiya. Keduanya terhenti beberapa langkah sebelu mencapai lobby, tepat di depan meja resepsionis.
"...Ad?"
Kelopak mata Valerie sedikit melebar.
Bukan kehadiran Adrianlah alasan dibalik jantungnya yang hampir mencelos, melainkan seorang gadis yang berdiri di sebelahnya, dengan lengan Adrian yang tersampir di sekitar bahunya.
Valerie melanjutkan langkahnya, sementara Adrian perlahan menurunkan lengannya dari bahu sang gadisㅡ diikuti oleh tatapan heran dari Allura.
"Hey," Adrian menggumam pelan, bingung ingin berbicara apa. "Kamu udah dateng?"
Valerie mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke Allura.
"Oh, iya," Adrian menoleh ke arah Allura. "Valerie, kenalin. Ini Allura,"
"Temen SMA aku," jelas Adrian.
"Hai," sapa Valerie. "Valerie."
"Hai, Valerie!" sapa Allura ramah, sambil tersenyum manis. "Aku Allura, temen SMA-nya Ian, sekaligusㅡ"
"Kita dulu sama-sama pernah masuk kepengurusan OSIS, Valerie," Adrian memotong kalimat Allura, sementara gadis di sebelahnya memberi tatapan what's wrong? seakan-akan tidak terima dengan sikap Adrian barusan. "Makanya, kita lagi temu kangen, kebetulan dia lagi liburan singkat ke sini."
"Oh, I see," sahut Valerie singkat, sambil berusaha tersenyum.
"How about both of you?" Allura bergantian menatap Valerie dan Adrian. "Kalian rekan kerja, atau apa?"
Sebenarnya sudah sewajarnya Valerie mengangkat dagunya, dan memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Adrian di depan wanita bernama Allura.
Sudah sewajarnya gadis itu mengamit lengan Adrian dan membawa sang lelaki pergi ke tempat lain.
Namun, suatu alasan membuat lutut Valerie terasa lemas bahkan untuk melangkah sekalipun.
"Kita.. temen deket," sahut Adrian pelan. "Tempat kerja kita deket, thus aku suka ke sini buat ngobrol sama Kevin jadinya kita suka ketemu. Iya, kan, Val?"
Alih-alih menjawab, Valerie malah sibuk mengusap lengan kirinya menggunakan tangan kanannya. Tersenyum kepada Allura dan Adrian seakan dirinya baik-baik saja dengan jawaban Adrian barusan.
Teman dekat.
"Safiya!"
Valerie mengangkat dagunya, lalu melihat Safiya melangkah mendekat dan berdiri di antara dirinya dan Allura. Gadis tersebut menyambut pelukan Allura, sementara maniknya masih menatap Valerie yang kebingungan.
"Akhirnya ya lo muncul juga," Allura menepuk pinggang belakang Safiya. "Gue nungguin lo daritadi tau, gak?"
"Kenapa lo gak nyamperin gue aja?" balas Safiya. "Gue kan gak harus selalu stand by di lobby."
"Hehehe," Allura terkekeh, lalu pandangannya menoleh ke Adrian. "Yan, aku ngobrol sama temen dulu, ya? Kamu juga mau ngobrol sama temen kamu, kan?"
Adrian berjalan mendekat ke arah Valerie, namun maniknya masih menatap manik milik Allura. "Iya, Al."
Allura merangkul Safiya dan membawa gadis tersebut menuju pintu lift. Kepala Safiya menoleh ke belakang, menatap Valerie dengan tatapan sayu sementara Valerie tersenyum sambil melambaikan tangan.
Gadis itu bahkan tidak sadar jika air mata yang melintas di pipinya dapat terlihat oleh Safiya yang mulai menjauh.
"Val,"
Valerie buru-buru menghapus air matanya, lalu mengangkat dagunya, menangkap wajah Adrian di sebelahnya.
"Itu.. kolega kerja yang kamu maksud waktu itu?" tanya Valerie, berusaha tenang. Walaupun gejolak di dalam dirinya semakin membesar.
Adrian memijat tulang hidungnya untuk sesaat. Lelaki itu kemudian meraih bahu Valerie.
"We have to talk," kata Adrian. "Sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Short StorySemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626