flashback ; valerie's point of view
Ternyata, semenyedihkan inilah rasanya.
Melihat orang-orang menjerit dari radius beberapa meter saja, serta buritan kapal yang terus mendekati permukaan air akibat storage kapal yang dipenuhi air asin.
Aku memandangi kapal besar yang tinggal setengahnya terlihat di atas permukaan.
"Tolong! Tolong! Sekoci yang di sana tolong balikkan lagi!"
"Ibu!"
Ada banyak suara tangisan dan jeritan di sekitarku. Sementara tangan Ibu masih setia mendekap tubuh kecil anaknya yang kedinginan.
Di antara banyak orang, mataku masih terfokus pada seorang lelaki paruh baya yang berdiri lantai atas kapal, dengan kemeja yang lusuh di antara hiruk pikuk orang-orang yang sibuk berteriak, lantaran ingin menaiki sekoci.
Tapi aku heran sekali. Ayah di sana hanya tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Kenapa Ayah diam saja? Ayah harusnya berlari ke arah sekoci yang akan dituruni, lalu melompat agar selamat. Kenapa Ayah diam saja?
"Ayah!" aku berteriak dengan kencang untuk memastikan agar suaraku sampai ke telinganya. "Cepet lompat ke sekoci! Ayah gak bisa selamat kalau cuman berdiri kayak gitu!"
Ibu memelukku lebih erat, sambil menggigil kedinginan. Aku juga sudah sangat kedinginan, tapi bagaimana dengan Ayah? Ayah memberikanku jaketnya sebelum aku naik ke sekoci bersama Ibu. Ia pasti jauh lebih kedinginan.
Sebuah alasan memaksa buritan kapal di hadapanku kembali menghujam permukaan air. Kini sudah tinggal seperempat kapal yang kulihat.
Hanya ada cerobong-cerobong asap yang masih kering. Lalu aku mendengar Ayah berteriak.
"Valerie," kata Ayah. "Ayah sayang Valerie."
Lalu Ayah beranjak dari tempatnya. Kakinya sudah basah terendam air Samuderaㅡ aku lupa Samudera apa. Air dingin yang biru mematikan.
Cerobong-cerobong asap mulai berjatuhan dan tenggelam. Beberapa menit kemudian, kapal yang sebelumnya aku naiki, juga telah sepenuhnya tenggelam.
Beberapa penumpang menyelamatkan diri dengan berpegangan di patahan-patahan kursi, kasur, atau meja. Namun aku tidak mendapatkan sedikitpun kesempatan untuk melihat Ayah di permukaan.
"Kembali! Kembali!"
Aku menangis keras-keras, Ibu memelukku erat-erat sambil bergetar. Ketua sekociㅡ sebagai pemegang dayung menyampirkan sebuah jaket di atas bahuku sambil aku menangis. Sekoci kami berjalan menjauh dari tempat kapal tenggelam.
Aku tidak pernah melihat Ayah lagi sejak saat itu.
*
Ada masalah lain yang datang saat kami sampai di tepian. Aku, Ibu dan korban selamat lain di bawa ke rumah sakit terdekat. Banyak sekali yang butuh perawatan, namun ajaibnya kondisiku baik-baik sajaㅡ aku hanya mengalami sakit perut dan mabuk laut.
Ibu dibawa ke unit gawat darurat. Aku menunggu di dalam lantaran memaksa. Aku melihat Ibu dibaringkan di salah satu tandu tinggi yang dibatasi oleh tirai hijau.
Namun dokter baru datang ke tirai Ibuku setelah 30 menit.
Dokter itu payah sekali. Dia hanya menyibak tirai, memperhatikan Ibuku, lalu keluar dan berteriak di ambang pintu. "Apakah ada keluarga dari Ibu Ellen?"
Aku menyahut dari belakangnya. "Aku, dokter."
Dokter itu membalik, lalu membelalak. Kenapa ekspresinya seperti itu.
"Ibu Ellen itu... Ibumu, nak?"
Aku mengangguk.
"Beliau sudah pergi."
Setelah kalimat itu, aku hanya menangis sambil berjalan luntang-lantung di sekitar rumah sakit. Aku tidak tahu sama sekali setelah ini harus bagaimana. Bagaimana aku? Bagaimana Ibu?
Hidupku terasa hancur sekali. Seperti piring yang terbelah menjadi berkeping-keping. Pada saat itu aku tahu akan seperti apa hidupku kedepannya.
Bagaimana kondisi piring yang pecah setelah kau coba satukan kembali dengan memberinya lem? Seperti itulah. Tidak akan pernah utuh. Retakannya masih ada. Beberapa bagian bolong karna pecahannya tidak ditemukan.
Sayangnya aku hanya akan hidup sekali. Tidak ada piring baru.
Seorang perempuan memblokir jalananku, lalu dia berjongkok. "Halo, adik kecil. Kenapa kamu sendirian? Ibu kamu mana?"
"Ibu aku udah pergi."
"..apa kalian korban kapal tenggelam itu?"
"Padahal Ibu cuman kedinginan aja karna suhu Samudera. Ibu gak butuh obat yang macem-macem. Tapi kenapa gak ada yang mau nolong Ibu?"
Dokter perempuan itu menitikan air mata di depanku, lalu memelukku.
"Kalian jahat. Aku jadi sendirian sekarang."
"Gak ada Ibu. Gak ada Ayah. Semuanya pergi."
Dokter itulah yang kemudian mengangkatku sebagai anak.
*
Hidupku yang damai dan serba ada tidak bertahan lama. Saat umurku 17 tahun, di mana sebentar lagi aku akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi, ibu tiriku dan ayah tiriku meninggal akibat kecelakaan pesawat.
Aku menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Mereka adalah orang-orang baik yang mengurusku dengan tulus, walaupun hanya dalam kurun waktu 2 tahun saja.
Semua harta mereka dilimpahkan kepadaku, namun tidak mudah menghibur hatiku dengan segelintir kekayaan.
Padahal aku sudah cukup dewasa untuk menghadapi semuanya. Umurku 17 tahun. Namun aku masih menangis tersedu-sedu di ruang tamu yang gelap setelah pemakaman.
Ayah pernah bilang sangat salah untuk membenci Tuhan yang menciptakanku. Tapi kenapa piringan kehidupanku seakan dibanting berkali-kali untuk alasan yang sama?
Pintu rumah terbuka. Ben, tetanggaku datang dengan kemeja hitam. Bersama dengan Aida, Chris, dan yang lainnya. Mereka memelukku.
Mulai saat itulah aku tidak pernah membiasakan diriku untuk hidup bahagia. Semua kebahagiaan selalu dipatahkan. Aku mengambil pil depresan milik Ibu tiriku dulu ketika aku merasa stress. Lama-lama aku mempelajari cara mendapat pil itu, dari mana Ibu dapat pil itu. Aku membelinya dengan rutin setiap dua botol pil habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
ContoSemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626