Sebuah suara mengagetkan Safiya, tatkala gadis itu baru saja selesai memeriksa kondisi seorang wanita paruh baya di ruang ugd.
Safiya membalikkan tubuhnya, lantas menghela nafas setelah mengetahui siapa yang datang.
Lelaki yang dicari Valerie selama ini. Dia akhirnya datang.
"Dokter Safiya, kan?" Adrian terlihat datang sambil mengatur nafas. Lelaki itu berhenti tepat di belakang Safiya. "Boleh minta waktunya sebentar, gak?"
"Ayo bicara sekarang," potong Safiya cepat. "Mau bicara apa? Di sini aja."
Adrian menghela nafas, lalu memulai.
"Valerie di mana? Apa dia lagi praktek sekarang?" Adrian sedikit mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang unit gawat darurat, namun nihil. Tidak ada satupun wanita dengan ciri-ciri yang sama seperti Valerie.
"Setelah ninggalin Valerie hampir satu minggu, sekarang lo baru nyariin dia?" Safiya melepas stetoskopnya, lalu mengalungkannya di lehernya. Gadis itu berjalan ke arah lobby, tempat yang cenderung lebih sepi dari ruang ugd. "Ad, kenapa lo baru dateng sekarang?"
Desahan kecil lolos dari bibir Adrian. "Sorry.. saya tau saya salah. Saya lupa kalau saya bahkan gak ngasih alamat rumah saya ke Valerie,"
Safiya bersandar di pilar rumah sakit. "See? Ngasih alamat rumahnya aja gak bisa."
Adrian sadar betul bahwa sahabat dekat Valerie yang kini ada dihadapannya sedang terlampau marah. Apalagi Safiya adalah orang yang sehari-hari berada di dekat Valerie-- ia tahu persis apa saja perubahan yang terjadi pada diri Valerie ketika dirinya pergi.
Astaga.. mikir apa Adrian untuk pergi tanpa jejak sedikitpun?
"Saya tau kamu kesel sama tindakan saya. Saya juga ngerti saya salah," Adrian merendahkan nada bicaranya. "Tapi tolong.. biarin saya nyampein permintaan maaf secara langsung untuk Valerie, kalaupun nantinya saya gak bisa nemuin dia lagi,"
Safiya memperhatikan manik Adrian. "Kenapa nanya ke gue?"
"Saya gak tau Valerie di mana," sahut Adrian. "Dia gak pernah angkat telepon semenjak saya hubungin tadi pagi. Bahkan lokasinya pun dia matiin.."
Gadis di hadapan Adrian kembali meloloskan satu helaan nafas tipis. Melihat Adrian bersungguh-sungguh ingin minta maaf kepada sahabatnya juga membuat Safiya luluh. Bagaimanapun, sahabatnya yang bernama Valerie itu jelas menyukai Adrian.
"Ad, apa perasaan lo ke Valerie?"
"Sayang. Saya sayang sama Valerie."
Safiya memejamkan mata sesaat, lalu menghela nafas dalam-dalam untuk mengubur segala keresahan yang muncul pada dirinya.
Gadis itu merogoh saku kemejanya, lalu menggunakan benda tersebut untuk menuliskan sebuah alamat di telapak tangan Adrian.
"Tolong jangan kasih tau ini kesiapapun," ujar Safiya cepat. "Cuman gue yang tau. Bahkan atasan di sini pun gak tau Valerie pergi ke mana."
Adrian membaca deretan huruf yang memberikan informasi keberadaan Valerie. Lelaki itu menghela nafas lega, lalu menatap Safiya dengan tatapan berterima kasih.
"Thanks, Safiya. I'll make sure to take her back."
"Engga. Jangan janji untuk bawa dia kembali ke sini," ujar Safiya cepat. "Janji untuk bikin dia bahagia."
*
Valerie melempar sebuah kerikil kecil ke arah danau besar yang terhampar di hadapannya. Kerikil kecil itu kemudian tenggelam dan menyisakan suara gemercik air.
Gadis itu senang bisa kembali ke sini. Tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya, bersama sahabat-sahabat masa kecil serta sekelompok pemain skateboard amatir.
Banyak sekali yang berubah dari tempat ini. Ilalang sudah tumbuh tidak terkendali karna jarang dirawat. Valerie yakin sudah jarang sekali masyarakat mengunjungi danau buatan ini karna sulit sampai ke tepian.
Mungkin, hanya mungkin, inilah hal yang benar-benar Valerie butuhkan. Ketenangan. Mengisolasi diri dari keramaian kadang-kadang membuat Valerie merasa berada di dalam kedamaian.
Gadis itu sudah berdamai dengan pikirannya sendiri.
Apapun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah terpengaruh oleh lelaki bernama Adrian.
Lelaki itu bukan siapa-siapa. Valerie akan melupakannya.
Namun entahlah.. apakah pikiran-pikiran seperti itu masih akan tetap ia realisasikan jika sosok bernama Adrian itu datang?
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Historia CortaSemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626