Valerie berakhir meminum smoothies pisangnya di perjalanan menuju rumah sakit.
Semalam Valerie bahkan tidak ingat bahwa Adrian membelikannya satu cup besar banana smoothies. Yang ia ingat Adrian melarangnya membeli satu bol bir.
Masa kerja lemburnya sisa 2 hari lagi. Setelah itu ia akan pergi berlibur bersama Adrian.
Aneh sekali, bagaimana begitu cepatnya perasaan perempuan itu berkembang terhadap Adrian. Mereka hanya bertemu sekitar satu bulan yang lalu, namun gadis itu seolah-olah memahami Adrian lebih dari apapun.
Gadis itu juga perlahan mulai melupakan traumanya untuk hidup bahagia. Valerie mulai menjalani kesehariannya secara normal. Tidak ada hari yang buruk dan tidak ada pil depresan-- walaupun Valerie kadang masih mencari botol pil depresan itu saking terbiasanya.
Walaupun piringan kehidupannya sudah terpecah belah, namun setidaknya Valerie bisa menambalnya. Mungkin seperti itu gambaran kehidupan Valerie sekarang.
"Hey Valerie!" Safiya berteriak dari pintu masuk rumah sakit. Valerie melambai, lalu berlari dengan hati-hati menghampiri rekan kerjanya.
"Selamat datang kembali ke rumahmu yang sesungguhnya, Valerie," ujar Safiya dramatis. Gadis itu merampas smoothies milik Valerie. "Mhm- enak nih. Beli di mana?"
Valerie dan Safiya berjalan masuk ke rumah sakit. Agak sepi untuk hari ini.
"Jauh," kata Valerie singkat, sambil membuka blazernya.
"Cielah, kayak ke mana aja lo," Safiya mengembalikan smoothies Valerie, lalu kembali ke lift untuk naik ke atas. Jadi perempuan itu ke bawah cuman untuk nyambut Valerie aja?
*
"vALERIEEEeEEeeee!"
Valerie cepat-cepat berlari setelah memijakkan kakinya di anak tangga terakhir. Dokter itu kemudian menghampiri meja resepsionis, lalu menghadap Fatya yang berteriak ke arahnya.
"Kenapa sih Fatya!" Valerie menggertakkan heels yang dia pakai. "Gue udah tau harus ke bawah, tadi Safiya di bilang di lantai atas. Terus lo kenapa teriak-teriak gitu, ha?"
Fatya mencibir. "Lama lo. Ada yang nyariin lo tuh."
Dagu Fatya menunjuk seorang perempuan dengan rambut yang diikat membentuk bun yang tengah duduk di ruang tunggu depan meja resepsionis. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Valerie berjalan menghampiri gadis tersebut setelah melemparkan rasa kesalnya kepada Fatya.
"Vinkaaa!"
Vinka mendongak, lalu langsung berdiri untuk menyambut pelukan hangat Valerie. Kedua gadis itu kemudian duduk secara berhadapan.
"Gimana nih liburannya sama Ad?" Vinka menyilangkan kakinya, lalu tersenyum menyindir. "Mana dong oleh-oleh buat aku?"
Valerie terkekeh. "Ngga ada, Vin. Kamu juga palingan udah pernah diajak Ad ke sana. Ke kapal pesiar mini rancangannya sendiri itu?"
"Oh iya iya! Aku udah pernah diajak," Vinka mengangguk sambil membuka resleting tasnya. "Tapi waktu itu aku ada reuni sih sama temen SMA. Makanya aku gak terima ajakan dia."
"Hmm."
Vinka menaruh sebuah benda berbentuk persegi di atas meja, yang tentu saja langsung dikenali oleh Valerie.
"Ponsel kamu Val, kata Ian ketinggalan di mobil ya?" ujar Vinka. "Dia lagi sibuk tuh di kantor. Maaf ya? Jadi aku deh yang nganter."
"Hahaha, nggak papa, serius!" Valerie meraih ponsel di meja, lalu menggenggamnya.
Di belakang pundak Vinka, terlihat gadis lain sedang berjalan ke arahnya.
"Oh, Safiya!"
Vinka menoleh, lalu mendapati seorang gadis yang memakai jas praktek yang sama dengan yang Valerie kenakan. Gadis itu yakin bahwa perempuan yang dipanggil Valerie sebagai Safiya ini adalah rekan kerjanya Valerie.
"Apa, Val?" Safiya berdiri di sebelah meja, lalu agak menoleh ke Vinka. "Eh, halo. Ada yang bisa kami bantu?"
Valerie terkekeh, sementara Vinka hanya tersenyum.
"Oh, hai! Aku ngga butuh apa-apa kok," Vinka tersenyum, lalu menarik lengan Safiya untuk duduk. "Aku lagi ngobrol nih sama temen kamu. Pinjem Valerienya sebentar, yaa?"
"Oooh," Safiya melirik Valerie. "Kamu pinjem dia? Bawa pulang aja. Lagi gak ada kerjaan kok."
"Sirik aja lo," timpal Valerie. "Vinka, kenalin. Ini Safiya, temen kerja aku di sini. Fi, ini Vinka yang waktu itu sempet gue ceritain."
Singkat cerita, Vinka dan Safiya berkenalan, dan lantas menjadi teman dekat dalam kurun waktu yang tidak lama. Hanya perlu menceritakan seluk beluk diri sendiri serta bagaimana Vinka melontarkan candaan, Safiya sudah berhasil membuat dirinya sendiri relax.
Ponsel Safiya kemudian berbunyi.
"Halo?"
Valerie masih sibuk berbincang bersama Vinka.
"Eh- seriusan? Lo sejak kapan rencana mau baliiiik?" Safiya menjauhkan telpon dari telinga, lalu berbisik kepada Valerie dan Vinka. "Val, Vin, gue mau telponan dulu ya? Temen lama nih, kangen."
"Aku juga mau balik kerja deh Val kayaknya," Vinka berdiri, diikuti dengan Valerie. "Takut dimarahin Ian, hiiii. Kamu mau balik ke atas?"
Valerie mengeluh, sambil memegangi pergelangan kakinya. "Aku di bawah dulu deh. Pegel banget habis lari-lari dari atas, kirain ada apa."
"Hahaha," Vinka menepuk pundak Valerie. "Lagian, biasanya kamu gak pernah ke rumah sakit pake heels?"
Valerie nyengir. "Mau nyoba-nyoba aja."
"Yaudah, aku balik dulu ya Val?" Vinka berjalan ke arah pintu masuk. Suara ketukan heels dengan granit menggema di ruangan. "Bilang ke Safiya, kapan-kapan kita makan bareng. My treat!"
Valerie mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. "Sip deh!"
A/N,
ini belom konflik udah pada cape bacanya ya :"(btw tadi aku habis ngetik part klimaks trs sedih sendiri huhuhUhuHu
KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
Short StorySemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626