Seorang gadis berlarian kecil menanjaki jalanan beraspal menuju sebuah gedung di sisi jalan raya.
Valerie datang ke kantor Adrian dengan beberapa paper bag yang ia bawa di tangan kanan dan kirinya. Salah satu paper bag itu akan ia berikan kepada Adrian, karena lelaki itu tidak sempat membeli apapun selama liburan.
Valerie mendorong pintu kaca dengan lengannya yang masih memegang tas, lalu berjalan ke meja resepsionis.
"Permisi," kata Valerie. "Adriannya ada?"
"Kami akan coba hubungi jika anda mencarinya," sahut si resepsionis. "Kalau boleh tahu anda siapanya Tuan Adrian, ya?"
"Saya... temen deketnya," kata Valerie sambil tersenyum jahil.
Sambil menunggu resepsionis menelepon Adrian yang mungkin masih berada di atas, Valerie bersandar di meja resepsionis sambil memperhatikan furniture-furniture mewah di lobby.
"Sepertinya Tuan sedang sibuk," kata si resepsionis. "Nomor sekretarisnya juga tidak dapat dihubungi."
"Oh.. iya. Makasih, ya!"
Bertepatan dengan itu, datang Vinka dari arah lift dengan pakaian santaiㅡ sebuah kemeja putih dan celana bahan coklat.
"Oh, hey cantik," Vinka jalan menghampiri Valerie, lalu tersenyum. "Kapan lo pulang?"
"Baru semalem kok," sahut Valerie. "Eh, nih ada oleh-oleh buat lo. Hehehe,"
"Wah, repot-repot," Vinka tertawa sambil menerima paper bag pemberian Valerie. "Makasih, lhoo!"
"Btw, liat Ad, gak?" Valerie melihat-lihat kembali ke sekeliling lobby, namun tidak menemukan siapapun selain Vinka di hadapannya.
"Tadi pagi sih, liat," Vinka melirik arlojinya. "Ooh, jam segini mah, lagi sarapan kayaknya."
"Tapi biasanya dia sarapan di kafetaria sih," Vinka terlihat bingung sendiri. "Mungkin lagi ketemu temennya di-"
"Ad!"
Valerie melambai dengan antusias, lalu dengan cuma-cuma meninggalkan Vinka yang masih berdiri di dekat ambang pintu.
Memang. Pada dasarnya manusia itu paling mudah lupa dengan keadaan jika sedang jatuh cinta.
"Hey," Adrian tersenyum simpul, lalu menyambut Valerie dengan sebuah pelukan di sekitar bahu gadis tersebut. "Akhirnya kamu pulang juga."
"I miss you," Valerie menghambur ke pelukan Adrian dan sedikit membenamkan wajahnya di sekitaran dada dan lengan pria tersebut. Sementara tangannya masih erat memegang beberapa buah paper bag.
Adrian menggumamkan beberapa patah kata sambil mengusap dan menciumi surai panjang Valerie yang mengkilat pasca disikat. Gadis yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
"Did you see the museum?" kata Adrian, sambil memegang kedua lengan Valerie dan membawa gadis tersebut sedikit menjauh untuk membuat jarak. Ditatapnya manik si gadis sambil tangan sang pria tak henti membelai lembut lengan atasnya.
"I did," sahut Valerie antusias. "Museumnya bagus banget, Ad. Jauh lebih bagus daripada cuman liat di Google."
Adrian terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup puncak hidung Valerie. Mm, pria itu merindukannya. Adrian rindu dengan kebiasaannya untuk mengecup wajah Valerie dan merapikan rambut gadisnya ketika dia baru bangun tidur, persis seperti yang ia lakukan saat mereka berlibur ke kapal Dur Labeur dan Prancis.
Senyuman manis masih setia terukir di wajah Valerie, begitu pula Adrian yang masih betah memandang wajah gadis tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan Vinka sudah berdiri tepat di belakang Valerie, namun eksistensi wanita itu dianggap bukan sebuah masalah.
Namun, sesuatu memaksa Adrian tiba-tiba menghapus senyumnya, namun mengeratkan genggamannya di lengan atas Valerie.
"Valerie, I'm sorry," katanya. "Maaf, kemarin-kemarin aku gak bisa ngabarin kamu."
Valerie sedikit meluruhkan senyumnya. Namun masih tersisa sebagian.
"I have.. something important to talk about," lanjut Adrian. "Aku rasa kamu keberatan soal itu. Thus, aku malah ninggalin kamu di telepon waktu kamu ngehubungin aku kemarin."
Ada sedikit rasa kecewa di lubuk hati Valerie saat kembali mengingat kejadian di mana Adrian menolak untuk berbicara sebentar saja.
"Iya, keberatan aku," Valerie melenguh, lalu mengerucutkan bibirnya sambil melepaskan lengannya dari sekitaran pinggang Adrian. "Mau ngambek aja."
Adrian mengulum senyumnya. "Jangan ngambek, makin jelek loh nanti?"
"Ooooh, jadi aku yang jelek nih, aku?" Valerie memukul pinggang Adrian, lalu berjalan mundur beberapa langkah hingga lengan Adrian terpaksa melepas lengan atasnya.
"Iya, kamu ugly. Aku uglier," sahut Adrian. "Kita kan ugly couple?"
"Gue apa dong? Ugliest?" Vinka datang dengan kedua lengan yang disilangkan di depan dadanya. Baik Valerie maupun Adrian menoleh ke arah Vinka, lalu terkekeh geli.
"Lah, nyadar," kata Adrian.
"Lo bedua tuh kalo pacaran ya, maaf banget ini tapi tolong nyadar tempat??????" Vinka mendesah kesal. "Kan kasian jiwa-jiwa jomblo macem gue yang cuma bisa liatin lo berdua peluk-pelukan di lobby. Tega emang."
Adrian merangkul Valerie, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis tersebut dan memainkan ujung hidungnya di permukaan kening Valerie-- sengaja menggoda Vinka yang entah sejak kapan berubah menjadi seperti cacing kepanasan.
"Kutil badak," cibir Vinka.
"Dah dah, nyerah gue," Vinka berdecak, lalu menoleh ke arah Valerie yang masih tertawa sisa akibat perlakuan Adrian. "Hey, cantik. Tadi nyariin Ian, kan? Tuh udah ada, orangnya. Gue pamit, oke?"
Valerie mengangguk. "Hati-hati, Vinka."
"Kamu mau ke mana sekarang, hmm," Adrian memutar bahu Valerie dan membuat gadis tersebut kini menghadap tepat ke arahnya. Valerie menempatkan masing-masing telapak tangannya di pinggang Adrian.
"Kamu udah sarapan, belum?" Valerie memiringkan kepalanya. "Sarapan sama aku, yuk!"
Adrian memindahkan kedua lengannya ke bawah, berhenti tepat di lingkar pinggang kecil Valerie dan memeluknya. Lelaki tersebut menatap teduh kedua bola mata Valerie, sambil terus mengusap pinggang Valerie, sementara sang gadis terus menerus tersenyum menanti jawaban.
"Aku.. gak bisa, Valerie," bisik Adrian. "We can't."
Sebuah rematan kemudian dilayangkan pada lengan kemeja Adrian. Valerie menghapus senyuman manisnya.
"Kenapa?"
"Aku harus sarapan bareng sama rekan kerja aku pagi ini," kata Adrian. "Kita mau omongin proyek kerja,"
Valerie mengerjap, lalu perlahan mengangguk, melepas rematannya dari kemeja navy Adrian. "Oh..."
"Is it-"
"It's okay," Valerie mundur beberapa langkah, sementara Adrian melepaskan lengannya dari pinggang Valerie. "Aku tau, kamu lagi sibuk banget akhir-akhir ini,"
Adrian menghela nafas, lalu menyorotkan tatapan penuh penyesalan kepada mata Valerie yang sedikit memerah di setiap lengkungannya. Namun gadis tersebut menutupi kekecewaannya dengan sebuah senyum tipis.
"Gak apa-apa, beneran," kata Valerie lagi, meyakinkan. "I understand."
Detik selanjutnya, Valerie memejamkan matanya akibat usapan-usapan halus pada tengkorak bagian belakangnya. Adrian memberikan sebuah kecupan final di bibir plum Valerie, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu masuk.
"Maafin aku, Valerie."
Valerie memutar tumitnya. Manik indahnya memperhatikan tubuh tegap Adrian yang perlahan menjauh dan hilang.
Valerie tau Adrian menyembunyikan sesuatu.
Dia tahu, Adrian baru saja berbohong.

KAMU SEDANG MEMBACA
trauma | sinb
KurzgeschichtenSemua orang punya trauma, atau seenggaknya-- pernah punya trauma. Tapi kenapa, trauma punyanya Valerie harus trauma sama kebahagiaan? coralpetals, 2018. Highest rank on shortstory : # 64 ~ 180626