05: A Bid

1K 154 1
                                    

Beberapa hari kemudian, pemuda bernama Adrian kembali datang ke rumah sakit.

Kebetulan, Valerie baru saja keluar dari lift dan tiba di lantai 3 untuk masuk ke ruangannya. Wanita tersebut berjalan santai sambil menghindari kontak mata dengan pemuda yang berjalan di sampingnya, berharap lelaki tersebut tidak menyadari kehadirannya.


"Dokter Valerie?"


Valerie memejamkan matanya. Lagi-lagi dia terciduk.


Kenapa banyak sekali orang yang senang menciduknya?


Valerie berbalik dengan senyum paksa yang menghiasi wajahnya. Adrian mendekat juga dengan senyum di wajah tampannya.


"Ada apa?" tanya Valerie sopan.

"Oh, itu," Adrian menunjuk Valerie dengan telunjuknya. "Saya mau jenguk Adnan."

"Oh, yaudah kalau gitu," Valerie membungkuk sopan, lalu berjalan menjauhi Adrian. "Saya permisi, ya."


Valerie baru saja berjalan 3 langkah menjauhi tempat asalnya, ketika tangannya kembali diraih oleh Adrian. Jelas hal itu membuat Valerie kaget, terlebih sudah sangat lama ia melakukan kontak dengan laki-laki, kecuali Ben dan pamannya.

"Apa lagi, Bapak Adrian?"

Adrian terkekeh pelan menyadari perubahan nada bicara Valerie. "Kamu belum ngasih tau saya tentang masalah paru-paru Adnan."


Valerie menatap manik Adrian sambil mengingat-ngingat, lalu menghela nafas. Kenapa juga dia lupa memberi keterangan masalah Adnan kepada kakaknya sendiri?


*

Hari sudah lumayan gelap. Matahari sudah berlari menuju tempat peristirahatannya di sebelah barat. Langit senja menjadi pemandangan Valerie sambil berbincang hangat bersama Safiya.


"Tadi cowok aneh itu dateng lagi ya Val?" kata Safiya sambil sibuk dengan aplikasi taksi online di ponselnya. "Gue liat waktu baru keluar dari ruangan Bira."


Valerie mengangguk. "Jenguk adeknya, sekalian nanyain masalah kesehatan adeknya. Gue kira nyariin gue."


Ada tanda tanya besar sementara Safiya menatap Valerie lekat-lekat. "Maksudnya, lo berharap dia nyariin lo?"


Dengan kaku, Valerie mengerjap sambil tercengir kuda. "Eehehe, bukan. Maksudnya- dia kan sambil kayak nyegat gitu. Gue kira ada perlu apa sama gue, gitu."


"Ooo," sahut Safiya sedikit mengejek. "Eh, grab gue udah dateng nih."

"Serius?" Valerie membulatkan matanya. "Yah.. gimana dong. Yang gue masih di jalan nih."


"Yaudah gue temenin. Bentar gue bilang ke abang grabnya-"

"Eh, gak usah deh," potong Valerie cepat. "Lo pulang aja Fi. Gue gak papa."


Safiya menyilangkan tangannya di dadanya. "Lo serius nih? Minta jemput Ben aja deh mendingan,"

"Gue nunggu aja, gak baik cancel cancel orderan," kata Valerie. "Lagian masih lumayan rame kok."


"Hmm, yaudah. Gue duluan ya?" Safiya ngunyel pipi Valerie dengan kedua tangannya. "Selamat istirahat panjang Vayeyieku cayang!"

"Iiiih, jijik Safiya!"



Sepanjang menunggu abang grab datang, Valerie hanya melamun sambil menonton kawanan burung yang melintasi langit senja. Kadang membersihkan kelopak bunga yang jatuh ke rambutnya.


Lalu, sebuah mobil melaju kencang menanjaki lajur drop off, lalu berhenti di depan Valerie.

Valerie yang mengira bahwa mobil itu adalah mobil milik abang-abang grab yang sedaritadi dinantinya, kemudian mendesah lega dan menarik pegangan pintu mobil. Namun gadis itu hampir meledak marah karna pintunya dikunci.

"Mas, kok pintunya dikunci sih?!" Valerie mengetuk kaca mobil sambil menggerutu.


Gadis itu tercekat ketika pemilik mobil, yang disangkanya seorang abang grab itu menurunkan kaca jendela penumpang.


Adrian. Lelaki yang tadi pagi datang ke rumah sakit.


"E-eh, sorry," kata Valerie pelan. "Saya kira taksi pesenan saya."

Adrian tersenyum. "Santai aja. Ayo masuk? Saya anter pulang."


"Eh? Nggak usah.. saya udah pesen taksi online tadi. Palingan bentar lagi dateng."


Adrian membuka pintu pengemudi, lalu berjalan mengitari mobil. Lelaki tersebut berhenti tepat di depan Valerie, sambil memperhatikan penampilan gadis tersebut.

Kusam. Kunyel. Itulah pikiran Valerie tentang dirinya sendiri.

"Apa?" Valerie mundur selangkah. "Emang kunyel. Belum mandi dari kemaren."

"Serius?" kata Adrian seolah-olah terkejut. "Pantesan bau banget!"



"Ih," muka Valerie mendadak berubah menjadi merah padam. Antara mau marah sama malu.

Mau gimana lagi. Jadi dokter emang begini. Kalau lagi banyak kerjaan, ya jarang pulang, plus jarang mandi. Valerie bukan dokter magang yang jam prakteknya bisa ditentukan setiap harinya.

"Bercanda kok," sahut Adrian. "Makanya sini saya anter pulang? Biar kamu bisa cepet mandi dan cepet istirahat. Pesenan taksinya dibatalin aja."



Sore itu, Valerie berakhir diantar pulang oleh Adrian, lelaki yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan dirinya dengan kedua temannya.


trauma | sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang