DEAL (?) [12]

5K 353 10
                                    

Cinta itu bahagia, bukan penambah luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cinta itu bahagia, bukan penambah luka. ~ Deofan Yudistira.

Alexa mencepol rambutnya tinggi, dahinya dipenuhi dengan keringat. "Anjir, capek banget bersihin toilet. Dua hari aja capeknya kaya gini, ah ... guru bangke, jahat banget sama gue," keluh Alexa.

Diletakkannya timba dan juga alat pel itu pada pojok toilet. Lalu, bokongnya ia daratkan pada wastafel. Besandar pada kaca, dan menghela nafas panjang.

"Sejak kapan, seorang bad girl kaya gue jadi bahan bully-an?" desahnya pelan.

Tangannya merogoh sebuah foto yang ada pada sakunya. Dipandanginya foto itu dengan seksama, senyuman itu terukir pada wajah lelah Alexa. Senyum kecut yang membuat ia menelan ludah yang terasa pahit.

"Kapan ya, kita bisa hidup bareng? Apa, gue terlalu bermimpi?" Alexa bermonolog dengan foto yang ada pada genggamannya.

Matanya mulai berkaca-kaca, pandangannyapun sudah buram akibat air yang menggenang. Alexa mendongak, mencegah buliran bening itu terjatuh.

"Anjer, sejak kapan gue jadi baperan kaya gini," ucapnya sembari mengusap sudut mata.

Ia membasuh wajahnya, lalu mengukir senyum melihat pantulan dirinya pada kaca. "Lo, Alexandra Colins. Dan, lo gak boleh lemah," ucapnya menguatkan diri.

Alexa melangkahkan kakinya dengan malas. Jika ia kembali ke kelas, ia akan bertemu dengan para manusia tengil yang sok tau itu. Hal itu benar-benar membuat Alexa harus extra bersabar.

"De!!!" seru Alexa dengan mata berbinar. Saat melihat Deofan baru saja keluar dari kelas.

Seperti biasa, Deofan tak mau bersusah payah untuk melihat seseorang yang tengah memanggilnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya begitu tegap terkesan sangat berwibawa.

"Mau ke mana?" tanya Alexa dengan nada girang. Seolah tak pernah ada masalah yang terjadi dalam hidupnya.

"Bukan urusan lo," ucap Deofan dengan nada datar.

Alexa memutar bola matanya malas, selalu begini jika ia mencoba mendekati si ketua kelas juteknya itu. Seakan, Deofan benar-benar terganggu saat Alexa berada di sekitarnya.

"Gue ikut ya?" Alexa memohon, dengan memasang wajah semelas mungkin.

Deofan tak menjawab, ia tak perduli dengan keberadaan Alexa. Langkah kakinya berayun dengan pasti, menuju tempat yang akan membuatnya tenang.

"Ah ... kok ke perpus, ke kantin aja yuk. Gue laper, De ...," protes Alexa dengan mencebikkan bibirnya kesal.

"Gue, gak perduli!!" seru Deofan berlalu meninggalkan Alexa.

Alexa berlari, mengikuti langkah panjang Deofan ke dalam ruangan yang membosankan itu.

Hening, Alexa membenci keheningan. Hatinya sudah cukup sepi, maka ia benci berada di tengah kesepian. Memang, ada beberapa orang di sini, tapi semuanya sibuk dengan bacaan masing-masing.

Ia mengitari rak, lalu mengambil salah satu buku dengan asal. 'Sebuah Usaha untuk Melupakan' judul yang cukup menarik bagi Alexa.

Ia memilih tempat duduk tepat di samping Deofan. Cowok di sampingnya itu diam, seolah tak terganggu atau memang tak perduli. Matanya fokus pada setiap kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat.

Alexa menghela nafasnya perlahan, lalu ia mulai membuka setiap lembar buku yang diambilnya tadi. Membaca setiap kata dengan perasaan, sesekali ia mengernyit saat mendapati sebuah kata yang belum ia mengerti.

Deofan mendongak, menatap cewek yang tadinya berisik kini mulai tenang. Cewek itu tampak serius meresapi setiap kata dalam buku itu. Hingga akhirnya, cewek itu menyerah.

Meletakkan kepalanya di atas meja, salah satu lengannya ia letakkan pada sisi kepala. Dan, indra penglihatnya kini bisa melihat wajah Deofan dengan jelas.

"Gue capek," ucapnya.

Deofan tau, pasti beberapa orang tengah memandang cewek ini dengan geram. Nada suaranya cukup nyaring, sangat cukup untuk membuyarkan konsentrasi sebagian banyak orang di sini.

"Kalau lo berisik, pergi dari sini ...," ucap Deofan ketus.

"Galak banget," desis Alexa.

Alexa memalingkan wajahnya, kali ini kepalanya tak lagi menghadap Deofan. Tatapannya beralih pada beberapa buku yang terjejer rapi di rak.

"Gue capek, gue habis jalani hukuman gue. Lo tau, tentang rumor yang beredar?" Alexa terdiam sejenak, lalu sudut bibirnya tertarik saat indra pendengarnya tak menangkap suara apapun. Ya, tentu saja Deofan mengetahui rumor sialan itu.

"Kenapa gue harus jadi pelakor? Gue cantik, manis, dan juga sexy. Gue bisa dapetin CEO, gue bisa gebet anak presiden, gue bisa pacarin bule, gue bisa-"

"Mimpi," desis Deofan tajam.

Air mata Alexa menetes, kali ini ia akan membiarkannya seperti itu. Tak akan ada yang melihatnya, dan Deofan juga tak akan tau jika ia menangis. Lelah rasanya, menanggung semuanya tanpa teman yang menguatkan.

"Sayangnya, gue gak mau. Gue gak butuh semua orang itu, gue cuma pengen orang yang gue sayang ada di samping gue. Dan bilang, 'semua akan baik-baik saja Lexa,' sekadar kata penenang buat gue ...," Alexa menahan nafasnya, agar tak menimbulkan suara isak tangisnya.

"Dan, itu yang namanya mimpi. Gue cuma bisa mimpi," ucapnya sembari tersenyum kecut.

Air mata Alexa terus mengalir, bak sungai yang begitu derasnya. Hatinya kini sakit, rasanya ia marah pada dirinya sendiri, karena dia menjadi seorang cewek yang cengeng.

"Gue cuma pengen tau, apa itu cinta dan juga bahagia."

DEAL (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang