Kalo dia pergi, ya jangan dikejar. Kalo lu kejar, lu gak ada bedanya sama si Helly. ~ Kevin Dirgantara.
Alexa berjalan beriringan dengan Deofan menuju ruang guru. Bu Cici meminta keduanya menemui wanita paruh baya itu setelah bel pulang sekolah berdering.
"Kira-kira Bu Cici, mau ngomongin apa ya, De? Apa kita mau dijadiin tim dalam olimpiade matematika?" tanya Alexa menghayal.
Cowok dengan tatapan dingin itu melirik Alexa sekilas. Tak habis pikir dengan otak gadis di sampingnya itu yang kelewat batas. Nilai ulangan matematikanya saja di bawah rata-rata. Diberikan soal remidial juga tak mampu menyelesaikannya, tapi ia bisa begitu percaya diri, bersorak bahwa ia akan mengikuti olimpiade matematika.
"Ternyata selama ini gue punya otak yang encer juga, ya?" itu bukan sebuah pertanyaan, itu lebih mirip sebuah pernyataan. Pernyataan yang jelas disangkal oleh cowok pemilik mata hitam legam itu.
Deofan tetap diam, memilih mengatupkan bibirnya rapat daripada berdebat dengan gadis yang terlalu percaya diri itu. Langkah kakinya mengayun dengan pasti, matanya juga fokus ke depan. Tak menghiraukan ocehan gadis di sampingnya itu.
"Kak Deo!!"
Deofan menghentikan langkahnya, suara yang cukup familiar masuk ke gendang telinganya. Ia tak menoleh untuk mencari tau sosok yang memanggilnya. Karena dalam hatinya yakin, sosok itulah yang memanggilnya. Sosok yang selalu datang dalam malamnya yang panjang.
"Ya ampun, De. Gue seneng ba-"
Alexa menghentikan ocehannya, saat menyadari Deofan tak lagi berjalan di sisinya. Ia menoleh ke belakang. Lalu, dahinya membentuk beberapa lipatan.
Mendapati Deofan yang tampak diam dengan kaku. Di belakang Deofan tampak seorang gadis berjilbab putih bersih sedang tersenyum pada cowok yang membelakanginya itu.
Alexa berjalan mendekat pada Deofan. "De, lu dipanggil itu."
Diam. Deofan tetap diam, mata elangnya menatap kosong pada lorong yang mulai sepi. Bibirnya mengatup rapat, tak berniat sedikitpun untuk menjawab gadis berjilbab yang tengah gugup itu.
"Kak Deo, aku sayang sama Kakak," ucap gadis berjilbab itu sembari menahan isak tangisnya.
Merasa tak mendapatkan respon apapun dari Deofan, gadis itu melangkah pergi. Sudah tak kuasa ia menahan air matanya agar tidak menetes. Tapi aura dingin dari cowok bernama Deofan itu, membuat pertahanannya yang dibangun sekokoh mungkin runtuh dalam sekejap.
"Gue juga, bahkan lebih," gumam Deofan pelan.
Alexa terperangah, merasa takjub dengan suasana yang ada. "Apa itu sebuah pengakuan cinta? Dan, lu nerima?" tanya Alexa dengan heboh.
Cowok dingin itu berdecak. Lalu, matanya menatap Alexa tajam. "Gak ada urusannya sama lu," ucap Deofan sembari berlalu meninggalkan Alexa.
***
"Tidak!! Saya tidak mau, Bu."
Suara itu masuk ke dalam gendang telinga Alexa. Begitu jelas penolakan cowok yang duduk di sampingnya itu.
Cowok yang biasanya menurut itu, kini menolak dengan gamblang permintaan dari sang guru. Bagi Deofan, permintaan Bu Cici benar-benar di luar batas kemampuannya.
Jika hanya disuruh mengerjakan seratus soal matematika, mungkin Deofan akan menyanggupinya. Dengan senang hati, ia akan mengerjakan soal itu dengan penuh perasaan.
"Ayolah, Ofan. Saya percaya sama kamu. Tolong bantu dia." Bu Cici melirik Alexa sekilas, yang sedang duduk manis sembari menatap Deofan.
Deofan menghembuskan nafasnya kasar. Menatap Alexa sekilas, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Rumit," desahnya pelan.
Tentu rumit, mengajari Alexa matematika adalah hal yang sangat merepotkan bagi Deofan. Bayangkan, seorang Alexa? Alexa? Alexandra Colins?
"Lu menghafal rumus matematika yang bikin botak aja bisa. Sebegitu rumitnya ya gue bagi lu?" tanya Alexa sembari menopang dagu.
Deofan melengos, menatap Bu Cici sekilas. "Kenapa harus dia, Bu?"
"Karena dia sangat membutuhkan kamu."
Alexa memutar bola matanya malas. Bu Cici begitu mendramakan segalanya. Alexa merasa sudah cukup pintar untuk sekedar mengerjakan soal matematika, walau dengan pedoman 'ngawur gak masalah, yang penting kelar'.
"Lihat ini!"—Bu Cici menatap Alexa dengan serius—"20+4×6 hasilnya berapa?"
Deofan melirik Alexa melalui sudut matanya, sedangkan Bu Cici menatap Alexa dengan harap-harap cemas.
Alexa menatap kedua orang yang berbeda umur itu dengan wajah cengo-nya. Ia nyengir, menunjukkan sederet gigi putihnya. Lalu, tangannya merogoh saku, mengeluarkan benda pipih kesayangannya itu. Mengetikkan beberapa angka yang akan menentukan kejeniusannya di hadapan Bu Cici.
"Empat puluh empat," ucapnya sumringah sembari menunjukkan layar ponsel yang menampilkan hasil dari soal milik Bu Cici tadi.
Bu Cici menghembuskan nafasnya pelan. Terasa sudah tak ada harapan, sangat sulit memang.
Alexa ialah seorang siswi dengan predikat bandel. Tapi, walaupun begitu ... Bu Cici merasa tak tega jika Alexa memiliki masa depan yang suram. Membayangkan siswinya yang satu ini tengah tidur di depan sebuah ruko, sembari memegang perutnya menahan rasa lapar yang menjadi. Astaga ... itu sangat mengerikan.
"Bantu dia, Ofan. Ibu mohon, dia sudah kelas 12. Bagaimana masa depannya nanti jika tak mampu mengerjakan soal Ujian Kelulusan." Bu Cici kali ini memelas, memohon pada murid kesayangannya itu agar mau membantu Alexa.
Deofan berdecak, menatap Alexa dengan malas. "Masa depan seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri."
"Setidaknya bantu dia untuk meraih masa depannya."
"Ibu seorang guru, kenapa harus saya?" tanya Deofan sembari mengangkat salah satu alisnya.
"Karena saya sudah tidak mampu," ucap Bu Cici pelan.
"Saya juga tidak mampu, Bu."
"Kamu ketua kelas, Ofan. Saya hanya ingin kamu membantu dia belajar, kalau saya yang membantu jelas tidak bisa. Waktu saya mengajar padat, belum lagi mengajar anak-anak yang ikut les pada malam hari," jelas Bu Cici.
"Kenapa tidak diikutkan les bersama Bu Cici saja?" Deofan masih mencoba untuk menghindar dari permintaan guru matematikanya itu.
"Alexa berkebutuhan khusus," ucap Bu Cici pelan.
Alexa sontak melotot, bibirnya membulat. Berkebutuhan khusus? Dia tak merasa secacat itu.
"Maksut saya, Alexa butuh perhatian khusus," ralat wanita paruh baya itu.
"Lu sebenernya lulus SD, gak? Bahkan anak kelas 6 SD lebih pinter dari lu." manik mata Deofan menyorot tajam.
"Lulus, gue punya ijazahnya."
"Bego dipelihara," desis Deofan tajam.
"Dih, ngapain melihara bego. Pelihara tuyul gue, mah. Dapet duit banyak." cewek itu lagi-lagi nyengir.
"Astagfirullah Alexa." Bu Cici mengelus dadanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran muridnya yang satu ini.
"Apa, Buk? Saya cantik? Udah tau. Ibu mau ikut saya, tidak? Ibu yang cari mangsa, saya yang jaga lilin." Alexa terkekeh.
Bu Cici diam, tak mengerti dengan arah pembicaraan Alexa. Wanita paruh baya itu tampaknya masih bingung dengan ucapan Alexa.
"Babi ngepet, Bu."
"Ya Allah, tobat Alexa ...," ucap Bu Cici frustasi.
Deofan tersenyum tipis, sangat tipis. Hingga tak ada yang mengetahui cowok itu sedang tersenyum. Tingkah cewek bandel itu memang berbeda dari yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAL (?)
Teen Fiction~Completed~ Aku dengan segala permasalahan rumitku. Bertemu kamu si pria dingin dengan tatapan beku. Aku mencintai kamu, wahai pria pencipta rindu.