"Kemana saja kamu? Keluyuran terus. Pulang sekolah langsung pulang, gak bisa?" ucap seorang wanita dengan nada tajam.
Alexa berjalan menaiki tangga dengan santai, tak berniat menatap ataupun menjawab kata-kata dari wanita itu.
Ia menulikan pendengarnya, membungkam mulutnya rapat. Berjalan menuju kamarnya, mengistirahatkan badannya yang terasa lelah.
"Ditanya itu dijawab," ucap wanita itu sembari bersandar pada pintu kamar Alexa.
"Kemana saja kamu? Pulang malem gini, masih pake seragam. Tas masih di punggung."
"Lexa capek, mau tidur."
"Kamu bertemu pria itu lagi?" tanya wanita itu dengan senyum sinis.
Alexa memejamkan matanya rapat, menghela nafasnya dengan kasar. Tangannya mengepal kuat, sedari tadi ia menahan emosinya agar tak meledak. Ia muak jika harus beradu mulut setiap harinya.
"Buat apa kamu ketemu pria itu? Apa gak cukup, uang yang Mama kasih ke kamu? Masih ngemis ke pria itu?"
Alexa bangun, menatap Maria dengan nyalang. Tangannya mengepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
" Lexa gak butuh uang Mama, Mama tanya buat apa Lexa ketemu pria itu? Buat mengembalikan kehidupan Lexa yang sempurna. Mama hancurin semuanya, jadi berhenti sok perduli dengan Lexa.
"Mama bukan sosok ibu lagi. Mama udah jadi monster yang gila karena tahta."
"Alexa jaga ucapan kamu!!" teriak Maria marah.
Alexa tersenyum sinis, menatap manik mata Maria tanpa rasa takut sedikitpun. "Bukankah itu sebuah fakta?"
"Apa pria itu mengajarimu untuk melawan ibumu sendiri?" teriak Maria garang.
"Apa Mama gak sadar? Kalian berdua yang membuat Lexa seperti ini. Kalian berdua yang terlalu egois, Mama mengejar tahta, Papa mengejar wanita.
" Tanpa kalian sadari, Lexa tertinggal jauh di belakang kalian. Dan mulai saat itu, Alexa gak pernah punya orang tua."
Plaaaak ...
Telapak tangan Maria meninggalkan bekas merah pada pipi Alexa. Namun, Alexa tetap menatap Maria dengan nyalang, seolah tamparan itu tak berpengaruh apapun bagi Alexa.
"Masih mau tampar lagi? Tampar terus sampai Alexa mati, Lexa lebih memilih mati daripada hidup dalam keadaan seperti ini. Semuanya hancur, kebahagiaan itu hilang, dan Alexa sendirian.
"Haha ... siapa juga yang mau perduli dengan anak brandal kaya gua? Udah terbiasa dipandang sebelah mata."
Tawa Alexa pecah, sebuah tawa miris yang menyayat hati. Ia tertawa untuk menutup luka, sebuah tawa palsu yang sengaja diciptakan untuk terlihat tegar.
"Sendiri? Apa kamu buta? Bukankah Mama di sini?" tanya Maria dengan mengangkat kedua alisnya.
Alexa menatap manik mata Maria dengan lekat. "Raga Mama di sini, tapi kasih sayang Mama udah pergi. Dan ke mana Lexa harus mencari, tanpa sebuah petunjuk pasti?"
Alexa berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan rasa benci yang tertuju pada ibunya. Seseorang yang dahulu ia puja dengan kelembutan hatinya.
Memang, waktu telah berhasil merubah seseorang. Sama, waktu juga telah merenggut kelembutan, dan jiwa keibuan milik Maria untuk Alexa.
Alexa berjalan sendirian di sebuah tali yang terbentang di atas jurang. Jika ia jatuh, maka tak ada seorangpun yang mengetahuinya. Tak ada seseorang yang sedang memberinya semangat untuk tetap berjalan dengan seimbang pada tali itu. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Di mana Tuhan? Di mana Tuhan saat ini? Harus berapa lama lagi gua hidup tanpa satu orangpun yang perduli?" teriak Alexa pada gelapnya langit malam.
"Lalu apa bedanya jika gua mati?" gumam Alexa dengan air mata yang mengalir.
Kini Alexa duduk di tepi danau, tempat ia merenung tanpa ada yang mengganggu. Hanya ada penerangan sinar rembulan yang terpantul pada air danau.
"Di mana perginya Tuhan? Kenapa hidup gua seolah menjadi sebuah permainan? Gua gak butuh uang, gua gak butuh barang mahal. Gua butuh kasih sayang kalian, kalian bisa mendengar? Lexa butuh perhatian kalian!!" teriak Alexa dengan frustasi.
"Gak usah mencari keberadaan Tuhan, kalau lo sendiri udah terlalu jauh sama Tuhan."
Alexa membalikkan badan, matanya menangkap sebuah bayangan hitam yang tengah berdiri di samping pohon. Dahinya mengernyit, wajah sosok itu tak terlihat dengan jelas karena kurangnya penerangan.
"Siapa lo, hah?" teriak Alexa.
"Saat lo bahagia, lo gak mencari di mana Tuhan. Tapi, saat lu kehilangan arah, lo berteriak di mana Tuhan? Tuhan selalu sama lo, tapi lo gak pernah tau. Karena hati lu udah buta dan juga tuli."
Alexa berjalan mendekat, rasa penasaran akan sosok itu benar-benar besar. Tapi, semakin Alexa mendekat, sosok itu semakin menjauh. Dia bukan hantu, Alexa yakin itu.
Sosok bayangan hitam itu berjalan menjauhinya, tanpa berniat mengenalkan diri pada Alexa.
Alexa menatap langit, sinar rembulan yang begitu terang. Lalu, pandangannya meniti kembali tempat dimana sosok hitam itu berdiri lalu pergi.
"Who?" gumam Alexa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAL (?)
Teen Fiction~Completed~ Aku dengan segala permasalahan rumitku. Bertemu kamu si pria dingin dengan tatapan beku. Aku mencintai kamu, wahai pria pencipta rindu.