Sore itu, di sebuah taman kota, seorang gadis berjilbab tampak duduk diam dengan pikiran yang berkecamuk dalam otaknya. Gadis itu sesekali menghela nafas, merasa gelisah karena keputusan hatinya.
"Lo udah dateng?" seorang pria mendudukkan diri di samping si gadis.
"Apa gue gak terlalu jahat?" gadis itu menyorot pria berkemeja biru dengan gelisah.
"Gak akan jahat, Lex. Lo udah menciptakan suasana seolah lo udah maafin dia, tinggal nanti malam lo harus terbang ke New York. Ofan bener-bener udah keterlaluan ke lo, lo liat sendiri bagaimana entengnya dia batalin pernikahan itu. Lex, lo harus tegas dalam bersikap." Gama menatap Alexa dalam, masih teringat ucapan Deofan yang seenak jidat membatalkan pernikahan.
"Gam, bukankah semua hal tidak seharusnya dibalas dengan cara yang sama? Deofan cuma terlalu emosi, gue gak mau memperpanjang masalah." gadis itu mendongak, mengukir senyum hangatnya.
"Dan gue gak suka lo yang lemah kaya gini Lex!! Sejak kapan lo jadi bucin?!!" Gama berdiri, menyorot Alexa dengan perasaan geram.
"Sejak gue sadar, gak semua orang perduli sama gue Gam. Orang yang terlihat kuat, gak selamanya dia akan kuat sampai akhir. Ada saatnya dia rapuh dan butuh sandaran, bahkan orang bisa lemah dan bunuh diri atas perihal cinta." Alexa menyorot Gama dengan lesu, bola matanya tampak memerah menahan tangis.
"Lex-,"
"Ya, gue emang bucin Gam. Gue terlalu cinta sama Deo sampai gue gak bisa biarin amarah gue lebih lama. Bokap lo perduli sama lo, nyokap lo juga perduli, lo gak tau gimana kesepiannya gue tanpa kedua orang tua gue kala itu. Lalu Deofan, dia memberi warna dalam hidup gue, dan menghilangkan kesepian itu. Ada banyak hal yang bikin gue gak bisa marah, bahkan gue lebih suka bilang makasih ke dia." gadis itu tertunduk, menyembunyikan tangisnya yang mulai jebol dari pertahanannya.
"Tapi gue gak suka liat lo dinomor duakan, Lex. Seharusnya dia lebih tegas, bahkan setelah lima tahun dia gak bisa tegas dalam bersikap. Seharusnya Ara bukan hal penting lagi bagi dia." Gama mengusap pucuk kepala Alexa dengan sayang, perasaan marah kepada Deofan masih berkobar.
"Entah Ara menjadi hal penting atau tidak bagi dia. Gue udah cukup bahagia jika bersatu dengan dia dalam ikatan halal." Alexa mengusap sisa air matanya, rasanya ia jengkel jika ia tengah menangis di tempat seperti ini.
"Lex, lo tau kenapa gue seperduli ini sama lo? Kenapa gue gak mau Ofan bikin lo nangis? Kenapa gue marah saat Ofan permainin perasaan lo yang polos itu?" Gama memegang kedua bahu Alexa, ia memandang gadis itu dalam. "Karena gue cinta sama lo, Lex."
Alexa membeku, menatap Gama seolah tak percaya. Rasanya ia ingin menulikan pendengarannya, rasanya ia ingin kabur dari pernyataan cinta ini. "Gam lo tau kalau gue cuma anggep lo sebagai-,"
"Sahabat, mantan pada masa cinta monyet. Lo cuma anggep gue sebatas itu, tapi gue selalu anggep lo lebih dari itu." bibir pria itu bergetar, terlihat jelas perasaan yang dalam dari manik mata pria itu. "Kalau Ofan cuma bikin lo sakit, gue siap nikahin lo sekarang juga."
"Maaf Gam..." Alexa menunduk, seolah tak berani menyorot manik mata kelam milik Gama.
"Lepasin calon istri gue."
Gama menoleh, menatap pria yang tengah berjalan cepat ke arahnya. Sedangkan Alexa, gadis itu menelan ludahnya kasar, sungguh ia tidak ingin ada pertikaian setelah ini.
Deofan menarik pergelangan tangan Alexa, hingga gadis itu ada dalam dekapannya. "Kalau sekadar membahagiakan dia, gue masih sanggup."
"Lo gak becus jaga dia." Gama seolah tengah mengobarkan bendera perang.
"Gue tau." Deofan menatap Alexa dalam.
"Lo gak pantes buat Alexa." Gama terus membuat keadaan semakin panas.
"Gue tau."
"Lo cuma bisa bikin Alexa sakit.
"Gue tau."
"Jadi, lo masih punya kepercayaan diri buat nikahin Alexa?" Gama tersenyum mengejek.
"Gue gak akan nyerah karena kekurangan gue. Dan gue, selalu belajar dari kesalahan. Bukankah gue jauh lebih unggul? Alexa cuma cinta ke gue, bukan lo." Deofan menarik tangan Alexa, membawa calon istrinya pergi dari hadapan pria yang dengan terang terangan membuat Deofan cemburu.
"Bangsat!!" Gama mengumpat, pandangannya tajam seolah menusuk Deofan.
"De-," Alexa tak mampu melanjutkan kata-katanya, kepalanya kembali menoleh ke belakang melihat kemarahan Gama.
"Berhenti membela dia, berhenti mengkhawatirkan dia, dan berhenti menoleh ke belakang. Karena kamu akan membuat aku lepas kendali karena api cemburu," ucap Deofan menekan setiap kata-katanya.
"Kamu cemburu? Kamu ngerasain itu? Itu yang aku rasain saat kamu lebih memprioritaskan Ara daripada aku." gadis itu berucap pelan.
Deofan berhenti menatap Alexa dengan geram. "Kamu lupa bahwa Ara adalah wanita bersuami?"
"Aku gak lupa, tapi kamu selalu si-,"
"Apa kamu pikir aku pria semenjijikkan itu? Apa aku seperti itu dalam pikiran kamu?" Deofan menatap gadisnya tajam.
Perlahan, gadis itu menggeleng pelan. Menunduk dengan perasaan yang berkecamuk.
"Ivan pergi ke luar kota, Ara pendarahan. Dan, Bunda menghubungiku. Bukan tentang prioritas, tapi keselamatan bayi itu tergantung dengan waktu aku membawa sang ibunya ke rumah sakit. Jika aku telat sedikit saja, maka bayi itu tak tertolong." Deofan menjelaskan dengan keyakinan penuh.
"Lalu, kenapa kamu gak hubungi aku setelah itu? Kenapa kamu gak jemput aku malam itu? Kenapa kamu malah duduk diam menunggui Ara seolah kamu takut kehilangan? Kenapa kamu gak kejar aku waktu aku marah ke kamu, kenapa kamu dengan gampang bilang batalin pernikahan kita, kenapa?!!" Alexa memukul dada bidang Deofan, meluapkan emosi yang tadi ia tahan.
"Aku mau jemput kamu, tapi aku harus nunggu Bunda dan Om Abram selesai makan. Karena mereka belum makan sama sekali, maka aku harus nunggu Bunda datang agar Ara ada yang menemani. Dan, kenapa aku bilang hal itu ke kamu, aku cemburu, aku marah karena kamu bersama Gama. Sedangkan aku, merasa kalah karena Gama ada di samping kamu sedangkan aku tidak." Deofan merunduk, rasanya cukup lega mengakui segalanya, ia tidak mau lagi ada kesalahpahaman seperti ini. "Maaf."
"Gama bener, aku gak becus jaga kamu, aku gak pantes buat kamu. Aku cuma bikin kamu sakit. Aku-,"
Alexa membekap bibir Deofam dengan jemari lentiknya. Lalu kepalanya menggeleng pelan, bibir tipisnya mengukir senyum menawan, matanya berkaca-kaca. "Aku gak selemah itu sampai sakit gara-gara kamu. Maaf gak mau dengerin penjelasan kamu, maafin aku yang egois."
"Aku takut kamu pada akhirnya lebih milih Gama daripada aku." pria itu mendekap tubuh Alexa dengan erat, perasaan takut yang selalu menghantuinya dan membuatnya gelisah. Ya, Deofan hanya pria biasa yang juga takut jika kekasih hatinya pergi darinya, mengingat Gama yang begitu siap tanggap perihal Alexa.
"Aku milih kamu calon suamiku." Alexa mengukir senyum manisnya.
Hai guys, gue mau kasih info penting buat kalian yang setia sama cerita gue. Jadi, malem minggu nanti gue bakal post part ending dari cerita DEAL (?) ini. Pastikan kalian gak akan ketinggalan sama kisah akhir dari Alexa ya. Dan, kalau bisa ya. Gue juga gak menuntut, gue mau kalian komen di part terakhir kesan pesan kalian buat cerita ini. Apa yang kalian rasain dari awal kalian baca, hingga sampai part ending. Ya anggap aja gue minta hadiah dari kalian di akhir cerita gue, hadiahnya ya komen sepanjang panjangnya. Jujur gue paling suka baca komenan kalian. See you in satnight guys. Salam cantik dari Qizcimbi😘
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAL (?)
Teen Fiction~Completed~ Aku dengan segala permasalahan rumitku. Bertemu kamu si pria dingin dengan tatapan beku. Aku mencintai kamu, wahai pria pencipta rindu.