Jangankan sikap lo, kopi yang udah dingin aja sulit buat gue nikmatin. ~ Alexandra Colins.
Hari Senin, hari yang membosankan bagi para siswa-siswi SMA Pelita. Panas yang terik membuat sebagian dari mereka menggerutu.
"Pak Imam itu gak capek apa ya, nyerocos mulu."
"Perutnya gede, kaya kantong doraemon." cewek dengan rambut dikuncir kuda itu terkikik.
"Mukanya sangar," ucap gadis berbandana.
"Duh, bacot teros. Panas." gadis dengan rambut curly itu menggerutu. Ia berjongkok, kakinya terasa tak bertulang.
"Si penyuka om-om, tuh." cewek dengan rambut dikuncir kuda itu menunjuk Alexa, yang tengah berjongkok sembari mengibaskan tangannya.
"Eh, kira-kira dia suka yang kaya Pak Imam, gak, ya?" gadis berbandana itu menimpali.
"Gak suka, yang model kaya bokap lu mungkin gue suka." Alexa melirik para siswi itu sekilas, lalu memasang smirk pada sudut bibirnya.
"Maksut lo apaan? Lo mau jadi pelakor lagi?" gadis berbandana itu mendesis tajam. Ia tak berteriak, mengingat di depan masih ada Pak Imam yang menyampaikan amanat.
Alexa berdiri, mengusap peluh pada dahinya. "Maybe," ucapnya pelan.
"Anjing, ya lo?" gadis dengan rambut dikuncir kuda itu turut mendesis.
"Lo babinya," ucap Alexa enteng.
"Lu kurang ajar, ya." gadis berbandana itu menjambak rambut Alexa. Merasa marah, hingga tak perduli bahwa mereka tengah mengikuti upacara bendera.
"Eh, bego. Sakit, anjir!!" Alexa memegang tangan gadis berbandana itu, menahan tangan gadis itu agar tak menarik rambutnya lebih kencang.
Gadis berbandana itu tak menghiraukan rintihan Alexa. Ia terus menarik kuat rambut Alexa. Beberapa orang juga mulai menengok keributan yang terjadi pada barisan paling belakang.
Beberapa guru tampak terkejut dengan aksi jambak-jambakan pada barisan terbelakang. Beberapa dari mereka, segera mendekat untuk melerai.
"Lepasin," teriak gadis berbandana seolah ingin menangis.
Alexa terus menjambak rambut gadis berbandana, karena gadis berbandanapun juga tak mau melepas cengkramannya pada rambut Alexa.
Beberapa teman yang lain turut melerai, beberapa lagi malah menyoraki dengan gembira. Ingin melihat, siapakah kiranya yang menjadi pemenang.
***
Alexa menatap Bu Rosa dengan malas. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan pelan. Rambutnya sudah seperti singa, seragamnya juga tampak robek pada bagian lengan.
"Alexa!! Kamu selalu membuat ulah. Padahal kamu masih tergolong murid baru, tapi lihat catatan merah kamu." wanita paruh baya itu memijat dahinya yang berdenyut.
Alexa tak begitu memperhatikan. Cewek itu malah sibuk memperhatikan kukunya yang dipotong rapi. Sesekali memilin rambutnya yang sangat berantakan.
"Alexa!! Dengarkan saya!! Kenapa kamu senakal ini?" Bu Rosa sudah tak habis pikir pada cewek bandel yang begitu menguras kesabarannya.
"Kalau saya gak nakal, entar Ibu cuma makan gaji buta." cewek itu berbicara dengan santai, tanpa menatap Bu Rosa yang menggeram tertahan.
"Bagaimana lagi caranya untuk mendidik kamu, Alexa? Astagfirullah.... " Bu Rosa menarik nafas panjang, terasa habis kesabarannya.
"Bu, rileks. Tarik nafas, keluarkan perlahan. Biar gak punya penyakit stroke." cewek itu nyengir tanpa dosa.
"Astagfirullah," Bu Rosa menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya. "Jadi, kenapa kamu membuat keributan saat upacara berlangsung?"
Cewek dengan rambut acak-acakan itu berpikir sejenak. Mencari alasan yang sekiranya bisa menyelesaikan masalahnya secara instan. "Jadi begini, Bu."
"Bagaimana?" tanya Bu Rosa dengan tidak sabaran.
"Saya mulai kepanasan saat upacara berlangsung. Gerah, ingin mencicipi es dawetnya Kang Supri. Tapi Pak Imam terlalu mengulur waktu." cewek itu tersenyum bangga, sesekali menganggukkan kepala mantap agar Bu Rosa tak bertanya lebih jauh.
Bu Rosa mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan jawaban Alexa yang dirasa belum bisa menyingkirkan keraguannya. "Lalu, kenapa kamu bertengkar dengan Cintya?"
"Karena punya hutang, Bu."
"Hutang?" kini Bu Rosa semakin bingung dengan jawaban Alexa yang kurang nyambung.
Cewek bandel itu mengangguk mantap. "Jadi begini, Bu. Saya ada berjualan online. Ibu tau bandana yang dipakai cewek tadi? Itu beli di saya, tapi dia belum bayar. Nyicilnya 5 bulan, sedih saya, tuh." cewek itu mendramakan keadaan, seolah hanya dirinya menjadi pihak paling dirugikan.
"Online Shop?" Bu Rosa semakin mengerutkan dahi, menampakkan lipatan pada dahinya.
"Iya, Bu. Oh iya, saya ada jualan bandana bagus-bagus. Khusus buat Bu Rosa, saya beri gratis bandana yang bertanduk banteng." cewek itu beranjak dengan senyum mengembang. Tangannya melambai, saat dirinya sudah ada pada ambang pintu, tanpa membalikkan tubuhnya.
***
Deofan berjalan beriringan dengan Raka yang sedari tadi mengoceh. Entah apa yang menjadi topiknya, Deofan juga tak begitu memperhatikan.
"Eh, Fan. Itu bukannya Alexa, ya?" jari telunjuk cowok itu mengarah pada gerobak berwarna hijau milik Kang Supri.
Ada sosok cewek dengan tatanan rambut seperti singa tengah meneguk es dawet untuk menghilangkan dahaga. Sesekali ia bergurau dengan pria berumur 30-an itu.
"Padahal di kelas lagi ada guru killer, dia malah nangkring di sini minum es dawet?"—Raka menggelengkan kepalanya berulang kali—"Emang beda sama yang lain."
Deofan tak begitu menghiraukan, ia tetap berjalan lurus ke arah kantor untuk mengambilkan buku tugas milik teman-temannya. Sesekali matanya melirik cewek bandel itu, lalu memutar bola matanya malas. Bukan hal yang mengagumkan lagi jika melihat sosok Alexa bersantai di kantin, dan membolos jam pelajaran.
"Pantes bego," desis Deofan tajam.
"Hah? Gue?" tanya Raka tak yakin.
"Hm," gumam Deofan.
Haloooo, besok idul adha yeu. Astaga, sapa yang ikut qurban oi. Gue juga qurban, qurban perasaan gue, tuh. Kaya si Joko. Mau qurbanin mantan, tapi mantan belum tentu halal kan ya. Jan lupa kasih vote ad comment beybeh😽
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAL (?)
Teen Fiction~Completed~ Aku dengan segala permasalahan rumitku. Bertemu kamu si pria dingin dengan tatapan beku. Aku mencintai kamu, wahai pria pencipta rindu.