DEAL (?) [48]

4.3K 395 69
                                    

Yah ke pencet PUBLIKASIKAN, ahahaha gimana ya mau ngomongnya. Biar sama kaya penulis lainnya ah, yeeeey double update... jarang-jarang kan gue mau double gini. Oh iya, gue bakal pertimbangin buat sapa tadi yang minta seminggu 2× update. Lagian, nih cerita sebentar lagi juga ending. Ayo tebak, ini sad ending apa happy ending😅 Gue suka yang sedih-sedih loh.


Karena kepergian akan membuat seseorang sadar, bahwa sendiri itu sepi, dan keberadaan dia sangat berarti.~ Deofan Yudistira.

"Jadi, laba dari perusahaan x adalah....,"

Seorang pria paruh baya berbadan gembul itu menjelaskan materi pelajarannya. Dan untuk kesekian kali, Joko menguap lebar. Menular pada Budi, lalu Radit, dan terakhir Kevin.

"Gam...," panggil Alexa lirih.

Gama membuka matanya yang tadinya terpejam, menyorot Alexa dengan bingung. "Bantuin gue buat keluar jam istirahat nanti."

"Mau ke mana lo?" Gama bertanya heran.

"Sebelum gue pergi, gue pengen pamit ke dia. Ada hal yang perlu gue sampaiin," bisik Alexa.

"Oke dah. Gue bantuin."

"Gama!! Alexa!! Apa yang sedang kalian bicarakan?!!" teriak Pak Surya.

Gama mendecih malas. "Anu Pak. Joko kentut Pak, saya jadi gak fokus ke pelajaran."

Joko melotot, menyorot Gama dengan tatapan membunuh. "Anjer, gue yang di jadiin sasaran."

"Joko!!! Kalau kentut di luar!!" teriak Pak Surya geram.

"Saya gak kentut Pak." Joko nyengir, saat mendapat tatapan tajam dan isyarat kejam dari Gama. "Cuma kelepasan."

Satu kelas tertawa renyah, kelakuan Joko yang aneh benar-benar menjadi hiburan kala pelajaran yang membuat otak penat seperti saat ini.

Alexa tak begitu tertarik dengan lelucon yang ada. Dirinya menatap Deofan, cowok yang berstatus menjadi pacarnya di sekolah ini. Rangkaian kata dari surat itu kembali terngiang, Alexa baru mengetahui bahwa sosok dingin seperti Deofan, juga akan rapuh karena cinta.

Kringg....

Suara bel istirahat berdering nyaring. Seolah memprotes Pak Surya untuk segera enyah dari kelas. Beberapa murid berhamburan, kebanyakakebanyakan tujuan utamanya adalah kantin untuk mengisi perut yang keroncongan.

"Lo semua tungguin gue dulu di kantin. Gue sama Alexa ada perlu." Joko mengangguk segera berlalu diikuti tiga cowok lainnya.

Gama merangkul bahu Alexa, mengacak rambut Alexa gemas. "Muka lo gak usah kusut gitu. Lo cuma bakal pergi ke benua lain, gak pergi untuk selama-lamanya."

"Ngaco lo." Alexa melirik sinis.

Gama menarik kepala Alexa, mengecup rambut cewek itu dengan perasaan dalam. Ia akan benar-benar merindukan mantan kekasihnya ini. "Ayo!!"

Keduanya pergi meninggalkan kelas. Sedangkan Raka yang sedari tadi melihat adegan romantis itu melongo. "Fan, Alexa beneran cewek lo?"

Deofan melirik sekilas, tak berniat untuk menjawab. "Kalau Alexa cewek lo, terus kenapa Gama sama Alexa romantis gitu ya?" Raka terheran.

"Mereka cuma temen." Deofan bersuara.

"Tapi kan, ada lagunya De. Konco dadi tresno...." Raka bernyanyi seolah suaranya merdu.

"Lo bukan Tuhan. Gak usah sok tau." cowok itu berlalu, dengan setumpuk buku yang harus dibawanya ke kantor.

***

Alexa menatap pria berjas hitam di hadapannya. Seolah merekam wajah pria itu untuk mengobati rindu. "Lexa bakal pergi ke Amerika. Kemungkinan gak akan kembali ke sini."

Pria itu menghela nafas. "Mungkin ini yang terbaik."

Alexa tersenyum getir, terbaik untuk siapa kiranya? Yang jelas bukan untuk Alexa. "Papa udah bahagia dengan keluarga Papa, Mama udah bahagia dengan karirnya yang tiap hari semakin naik daun. Sehingga mungkin kalian gak sadar bahwa Lexa tertinggal jauh di belakang

"Memang, seharusnya Lexa berpikir. Gak seharusnya Lexa narik kalian buat mundur dan kembali gandeng Lexa. Lexa udah terlalu jauh, maka solusi terbaik adalah meninggalkan Lexa dan terus berjalan ke depan. Lexa cuma ingin, kalian baik-baik aja." cewek itu menundukkan kepalanya, menyembunyikan matanya yang mulai memerah.

"Lexa...." pria paruh baya itu memanggil lirih.

Cewek itu mendongak, memasang senyum manisnya. Berbeda dengan matanya yang sudah berair. "Papa sayang banget sama Ara. Asal Papa tau, kalau bagi Papa... Ara udah bisa gantiin Lexa. Tapi, bagi Lexa Papa gak pernah bisa digantiin dengan siapapun."

Abram menatap anak perempuannya dengan perasaan hancur. Mengapa takdir seolah terus memberikan rasa sakit pada Alexa? Kenapa ia tak bisa melindungi putri kecilnya yang dulu ia sayang? Bahkan, putri kecilnya ini tumbuh dengan baik, putri kecilnya berubah menjadi gadis yang cantik.

"Kalau kamu ke sini nyuruh Papa buat kembali, Papa gak bisa. Aku nyaman dengan Kamila." Abram berucap dengan sesal.

Alexa menggeleng keras, menyangkal tebakan Abram. "Lexa gak bakal nyuruh Papa kembali lagi. Lexa tau, bertahun-tahun Papa udah nyoba buat sabar. Mama yang lebih mentingin karir di atas keluarga. Lexa tau, Papa kesepian... Lexa gak mau Papa rasain itu lagi."

Abram semakin tertohok. Begitu perduli putri kecilnya ini, kadang Abram juga berpikir, seberat apa beban yang ditanggung puyri kecilnya ini. Namun Abram bisa apa? Ia benar-benar tak bisa kembali pada Maria, dan ia tak mau membuat Kamila terus menyakiti putri kecilnya.

"Lexa, udah janji... saat Lexa ninggalin negara ini, Lexa bakal berhenti jadi hama. Berhenti menjadi pengganggu, Lexa gak mau Kamila terus ngusik Mama, dan pada akhirnya Mama semakin menekan Papa. Lexa mau dengan kepergian Lexa kalian gak lagi berseteru.

" Maka dari itu, Lexa pengen merekam wajah Papa baik-baik. Lexa simpen di otak Alexa, hingga biar pun sampai bertahun-tahun berlalu, biar pun kita gak pernah ketemu lagi pada waktu yang lama. Lexa pengen mengingat Papa, sebagai pria terbaik selama hidup Lexa." air mata itu mengalir deras, cewek itu menunduk dan terisak.

Abram ikut meneteskan air matanya, hatinya terasa tertusuk kala melihat putri kecilnya menangis terisak. Ia ingat saat beberapa tahun yang lalu, saat putri kecilnya itu malah tertawa saat terjatuh. Putri kecilnya tak pernah menangis walaupun tubuhnya terluka.

"Lexa...." Abram bangkit, mendekap tubuh Alexa yang bergetar hebat. Hatinya sakit melihat putri kecilnya menangis tersedu.

"Maafin Papa, Nak." Abram merutuki dirinya yang menjadi orang bodoh.

Alexa menggeleng. "Papa gak salah. Papa gak pernah salah, memang dari awal Lexa yang memaksakan kahendak. Maafin Lexa yang belum bisa jadi anak pinter, maafin Lexa belum bisa jadi anak yang seperti Papa inginkan."

Abram semakin merutuki dirinya. Alexa benar-benar tumbuh dengan baik, putrinya tumbuh tanpa rasa dendam. Dan kali ini, dengan bodohnya ia membuat putri kecilnya menangis. Abram semakin memeluk Alexa erat. Rasanya tak ingin Alexa pergi, tak ingin membiar putri kecilnya jauh dari dirinya.

Apa yang bisa ia lakukan?

Apa yang bisa ia perbuat pada putri kecilnya?

DEAL (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang