Gue; pengagum rahasia tanpa berani ungkapkan rasa~Ivanno Mahesa.
Seorang cewek tengah berjalan santai sembari menatap cat kukunya yang tampak rapi. Mengabaikan tatapan tajam dari wanita paruh baya yang siap melahapnya hidup-hidup.
"Alexa!!!" suara itu seolah menggema, pemilik suara itu menggeram marah. "Kamu terlambat lagi?!!"
"Saya khilaf, Bu." cewek itu menghentikan langkahnya, menatap sekeliling tampak sudah sepi.
"Khilaf kok setiap hari." wanita paruh baya itu berkacak pinggang.
"Masih mending setiap hari. Gak setiap jam." cewek itu masih bisa menjawab dengan enteng.
"Astagfirullah... Saya bisa darah tinggi ngehadapin kamu." wanita paruh baya itu mengelus dadanya, sedikit menarik nafas dan membuangnya perlahan. "Hormat di tiang bendera sampai jam istirahat!!"
Di sinilah Alexa, ditemani sinar matahari yang cukup terik. Dengan bendera yang berkobar kala angin berhembus. Sejak tadi cewek itu menunduk, mengumpat pada mentari yang terasa membakar tubuhnya.
"Dihukum lagi?" seorang cowok dengan baju basket itu, bersandar pada tiang bendera. Tangannya memegang bola basket, sesekali memantulkan bola itu dengan handal.
Alexa sedikit mendongak, menatap cowok di hadapannya itu sejenak. "Ijat?"
"Tebakan lo melesetnya kejauhan." cowok itu terkekeh.
"Lupa."
"Emang apa yang bisa lo inget?"
"Makan."
Cowok itu terkekeh, tangannya terulur mengusap peluh di dahi cewek yang tengah dihukum itu. "Capek?"
"Aelah, pake ditanya. Jelaslah, mana panas banget. Haus banget dah, bangke." Alexa mengeluh, menatap mentari sejenak lalu kembali menunduk.
"Tungguin bentar." cowok itu berlalu, meninggalkan Alexa dengan terik mentari yang menyengat.
"Nih." cowok itu kembali, sembari menyodorkan air mineral pada botol yang langsung diterima Alexa dengan senang hati.
Hanya beberapa kali tegukan mampu membuat Alexa bernafas dengan lega. "Thanks, Jat."
"Van."
"Ha?" Alexa merasa tak paham.
"Ivan, bukan Ijat." cowok itu mengoreksi.
Alexa mengangguk paham, memberikan seulas senyum pada cowok yang mengaku bernama Ivan. "Thanks Van."
Cowok itu mengangguk, punggungnya bersandar pada tiang bendera. Menatap cewek di hadapannya itu dengan intens. Ivan tau, ada hal yang berbeda pada cewek ini.
Jika biasanya cewek lebih memilih untuk bersikap baik, mencari perhatian padanya dengan segala cara. Alexa berbeda, ia menunjukkan kesan apa adanya. Tidak perduli dengan apa yang dipikirkan banyak orang terhadapnya.
Jika biasanya Ivan melihat kerapuhan pada setiap cewek. Alexa berbeda, tak ada sisi yang menunjukkan kerapuhannya. Ivan tau siapa Alexa, siswi yang masih tergolong murid baru dengan sejuta catatan merah. Pelanggaran yang dibuatnya setiap hari, keterlambatannya yang membuat semua orang geleng-geleng kepala.
"Woy, masih mau di sini?" Ivan tergagu saat suara itu membuyarkan lamunannya tentang cewek cantik yang baru-baru ini ia kenal.
"Mau ke mana? Ke kantin yok. Gue traktir." cowok itu memberi penawaran dengan seulas senyum.
Alexa berpikir sejenak, ia harus menyodorkan jawaban dari soal Deofan kemarin dengan segera. Namun, cacing pada perutnya sudah berdemo meminta jatah makan. Cewek itu menganggukkan kepala, menerima tawaran Ivan dengan senyum cerah. Soal Deofan? Ah, bodoh amat. Kalau kata Via Valen 'pikir keri'
Pandangan Ivan tak pernah lepas dari cewek yang tengah melahap semangkok bakso dengan lahap. Terkadang cewek itu membuka mulutnya lebar kala rasa pedas mendominasi. "Pelan-pelan, gue gak bakal minta." cowok itu terkekeh.
"Woy!! Di sini lo ternyata?" Joko datang dengan suara bisingnya. Tampak Gama, Radit, Kevin, dan Budi berjalan di belakangnya.
"Telat lagi lo?" Gama duduk di samping Alexa. Memberi jarak antara Ivan dan Alexa. Cewek itu mengangguk membenarkan.
Ivan mendengus pelan, kedatangan segerombol teman cewek itu sangat mengganggu. Gama melirik Ivan melalui ekor matanya, merasa tidak suka dengan sosok cowok yang mendekati Alexa. Ayolah, Deofan saja belum enyah, sekarang di tambah sosok Ivan ketua ekstra padus.
"Untung aja lo telat. Kalau gak, lo bakal ikutan kuis matematika yang gila-gilaan." Budi menyerobot segelas jus jeruk milik Alexa.
"Gue aja cuma kerjain satu." Radit mendengus.
"Gue cuma dua." Kevin turut mendengus. Dari enam sekawan itu, memang hanya Kevin yang memiliki otak sedikit encer.
"Jangankan kerjain. Bahkan nama gue aja belum gue tulis." Joko nyengir.
"Emang somvlak lu." Kevin menimpali.
"Oh iya Lex, si Ofan nyari lo tadi." Alexa tercekat, mulutnya berhenti melahap bakso di hadapannya. Ia segera beranjak, mengambil tas punggungnya dan segera berlari dengan kecepatan penuh.
Gama melirik Radit malas. Ofan lagi Ofan lagi, kenapa juga Radit harus menyebut nama itu? Cowok itu bahkan tak mengerti suasana. Lagi pula, cewek itu sampai meninggalkan semangkok baksonya hanya karena mendengar nama Ofan.
"Ofan?" Ivan yang sedari tadi diam tanpa sadar membuka suaranya. Radit mengangguk membetulkan. "Deofan Yudistira?"
"Iye sableng, banyak tanya lo. Kaya wawancara interview." Radit mendengus.
***
Alexa berlarian pada koridor. Ia hanya ingin menemui Deofan detik ini juga. Ia baru ingat, jika Deofan memberikan ultimatum jika saja Alexa telat mengumpulkan jawabannya.
"Pelakor, ganjen, gak punya malu. Eww!!!" suara itu membuat langkah kaki Alexa memelan. Ia tau siapa pemilik suara itu, cewek centil yang selalu mengusik ketenangannya.
Suara bising pada koridor menghilang, hening. "Gak malu lo gangguin pasangan orang?"
"Sok kecantikan banget." Riska berucap lantang.
"Emang gue cantik." Alexa menimpali dengan senyum remeh.
"Secantik apa sih lo, pelakor?" Ratih mendekat, menumpahkan soda berwarna merah menyala itu pada seragam Alexa.
Alexa menggeram, tangannya terkepal kuat. Tangan itu melayang, menampar pipi Ratih dengan kekuatan penuh.
Plak...
Suara itu seolah menggema. "Udah gue peringatin. Jangam cari gara-gara sama gue." cewek itu mendesis, hendak melangkahkan kaki untuk enyah. "Kalo lo gak terima gue gampar, panggil orang tua lo ke sekolah. Gue siap membeberkan kelakuan anak mereka dengan mulut gue sendiri."
Deofan menatap cewek di hadapannya itu dengan alis bertaut. Tangan cewek itu menyodorkan sebuah buku, seragam putihnya ada banyak bercak noda merah, tapi Deofan meyakini itu bukan darah. Nafasnya juga masih memburu.
"Lo telat. Gue gak terima jawaban lo. Inget konsekuensi yang harus lo dapet saat lo telat?" Alexa menelan salivanya dengan susah payah, matanya melirik buku yang berisi jawabannya. Padahal ia semalam lembur untuk mengerjakan soal itu. Kenapa sekolah seberat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAL (?)
Teen Fiction~Completed~ Aku dengan segala permasalahan rumitku. Bertemu kamu si pria dingin dengan tatapan beku. Aku mencintai kamu, wahai pria pencipta rindu.