Aku berjalan memasuki mobil dengan wajah yang ditekuk. Mataku melirik padanya yang melayangkan tatapan tajam padaku. Diam-diam aku memutar kedua bola mataku setelah pintu mobil ditutup oleh Nicolas.
Kurasa aku tidak berbuat salah sedikitpun. Mengapa ia terlihat marah padaku? Dan mengapa ia selalu merusak senyuman yang baru saja kubangun? Selalu saja, selalu saja ia bersikap semaunya. Aku benar-benar membencinya.
"Cepat jalankan!"
Aku sedikit terlonjak dengan sentakannya yang ia tunjukkan pada pengemudi. Dengan cepat pengemudi itu menginjak pedal gas. Aku hanya diam dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk membela pengemudi yang tak bersalah itu. Aku menatap keluar jendela, dan enggan untuk menatap manusia yang sedang berada tepat di sampingku.
Batinku berkecamuk. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat telah tiba di kerajaan. Baiklah, mungkin hanya menyiapkan kebutuhan mandi, dan makannya. Lalu dilanjutkan dengan acara tea time kerajaan. Selalu seperti itu. Andai aku dapat pergi dari kerajaan ini sehari saja, maka aku akan sangat bersyukur pada Tuhan.
Aku tersentak saat tiba-tiba Nicolas membukakan pintu untukku. Sontak saja aku segera turun dari mobil dan berjalan memasuki kerajaan. Sepertinya aku melamun terlalu lama.
"Pergi ke kamarku. Sekarang juga." tekannya saat melewatiku. Aku membuang napasku dengan kasar dan mengikutinya dengan cepat. Tidak bisakah ia membiarkanku untuk tenang sehari saja?
Ia terus berjalan di depanku hingga kami sampai di lantai atas. Selanjutnya ia membuka pintu kamarnya dengan sedikit keras, membuat batinku sedikit menciut. Sepertinya ia benar-benar marah. Aku menutup pintu kamarnya dengan perlahan, tidak ingin membuat suara yang akan menambah amarahnya.
"Kau kemana saja? Sedari tadi aku mencarimu! Bukankah kau tahu jika bel pulang sudah di bunyikan sejak setengah jam yang lalu?!" batinku bersembunyi di bawah ranjang.
"A-aku hanya menemui temanku. Kupikir kau akan pulang terlebih dahulu."
"Maksudmu menemui kekasihmu?" ia menekan kata 'kekasih' pada kalimatnya, membuatku mengerutkan alisku.
"Kekasih? Aku tidak mempunyai kekasih."
"Oh benarkah? Lalu berduaan bersama di dalam perpustakaan bersama pecundang pirang itu?"
Ia kembali menyebut Justin dengan sebutan 'pecundang pirang'. Tidak bisakah ia berhenti menyebutnya seperti itu?
"Ia bukan kekasihku, dan kami tidaklah berduaan. Aku tidak sengaja bertemu dengannya. Mengapa kau begitu marah padaku? Mengapa kau harus repot untuk mencariku jika kau mempunyai banyak suruhan?"
"Apa kau ingin identitasmu terbongkar di kampus?! Kau, jauhi pecundang pirang itu. Dia bukanlah pria baik."
Aku tak terima pada ucapannya. Oh ayolah? Tidakkah ia berkaca sebelum mengatakan jika Justin bukanlah pria baik?
"Apa urusanmu jika aku dekat dengannya? Dan berhentilah menyebutnya pria yang buruk. Ia adalah pria yang baik, ia selalu mengerti keadaanku. Berhentilah mengurusiku. Aku di sini hanya untuk memenuhi kebutuhanmu, kau tidak punya hak untuk mengatur hubungan pertemananku."
"Oh baiklah. Kau di sini hanya sekedar seorang pembantu pribadiku. Aku mengerti. Cepat siapkan kebutuhanku! Dan kuharap kau tidak akan menyesal karena telah mengabaikan peringatanku."
"Tentu saja aku tidak akan pernah menyesalinya." aku bergumam kecil dan berjalan dengan cepat menuju kamar mandinya.
Aku mulai menghidupkan keran air dengan sedikit kasar. Aku bahkan tidak akan peduli jika keran itu terlepas dari tempatnya. Dengan cepat aku menyiapkan segala kebutuhannya selama menunggu bath up itu penuh. Setelah beberapa saat, aku mematikan keran dan berjalan keluar dari kamar mandinya. Aku menemukannya sedang duduk terdiam di atas sofa, ia melirikku saat melihatku keluar dari kamar mandinya. Tanpa memberitahu bahwa kebutuhannya sudah siap, aku langsung pergi keluar dari kamar terkutuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrogant Prince [Z.M]
FanfictionApa yang kau rasakan saat kau harus menjadi pembantu pribadi seorang pangeran? Tentu sangat menyenangkan, apalagi jika pangeran itu sangat tampan. Tapi bagaimana jika sifatnya sangat berbanding terbalik dengan ketampanannya? Bagaimana bisa Dad terj...