"Bagaimana?"
"Terasa lebih baik setelah Mrs. Dorothy mengoleskan salep itu untukku." Justin mengangguk. Kami berdua mengatakan terima kasih pada Mrs. Dorothy—seorang wanita yang bertugas pada bagian kesehatan kampus kerajaan ini.
"Sebaiknya kau pulang, kau perlu beristirahat." aku menoleh dan mendongak untuk melihat wajah Justin di sampingku. Kami berjalan keluar dari ruang kesehatan.
"Tetapi bagaimana dengan kelas-kelasku? Aku tidak ingin membolos."
Aku menunduk melihat tanganku yang terbalut oleh jaketnya yang sangat kebesaran di tubuhku. Saat aku menarik napas, aroma Justin yang melekat pada jaketnya seketika memasuki indra penciumanku. Kuakui bahwa aromanya sangat menenangkan, tetapi tetap saja, hanya aroma Pangeran lebih memabukkan. Oh mengapa aku jadi membandingkan mereka?
"Serahkan padaku, aku akan mengizinkanmu pada pihak kampus. Sekarang pulanglah, okay? Apa sebaiknya aku mengantarkanmu untuk pulang?" aku sontak menggeleng keras atas usulannya.
"Tidak, tidak perlu mengantarkanku. Aku dapat pulang sendiri." ia menghela napas pasrah, membuatku menggigit bibirku. "Baiklah."
Namun ia masih berdiri di hadapanku, membuatku mengerutkan alisku. "Mengapa masih di sini? Pergilah, aku akan pulang."
"Jaga dirimu baik-baik, kau dapat mengembalikan jaketku saat kau sudah merasa lebih baik, mengerti?"
"Tentu, terima kasih by the way." ia mengangguk sebelum meninggalkanku. Aku tersenyum kecil menatap punggungnya yang telah menjauh.
"Oh lihatlah, gadis itu mendekati Justin kita."
"Sangat tidak tahu diuntung. Kudengar ia bukanlah seorang bangsawan. Berani-beraninya dia. Apa yang ia gunakan hingga Justin mau berdekatan dengannya?"
Aku menoleh untuk melihat tiga orang gadis yang sedang membicarakanku—oh bahkan seluruh mahasiswi di koridor ini membicarakan diriku. Tak sedikit tatapan jijik dan tajam yang mereka berikan padaku.
Aku menghela napas kasar, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatiku akibat ucapan mereka. Mengapa hidupku harus seperti ini? Mengapa aku tidak dapat menjadi orang yang normal saja seperti yang lainnya?
Saat aku kembali berjalan, beberapa teriakan terdengar dari ujung koridor. Itu adalah teriakan para mahasiswi. Lalu selanjutnya sosok yang sudah sangat kukenal berjalan melewati gadis-gadis gila itu. Wajahnya yang angkuh, matanya yang tajam, bibirnya yang membentuk garis lurus, dengan rahang yang mengeras, terlihat seperti menahan amarah itu menatapku. Seolah memberikan isyarat bahwa aku harus mengikutinya.
Aku meneguk ludahku seiring ia berjalan mendekatiku. Batinku berhenti bernapas saat ia hanya beberapa langkah di depanku, ia terus melangkah dan melewatiku begitu saja. Setelah ia berjalan cukup jauh, aku mulai mengikutinya. Aku tidak ingin para mahasiswi kembali membicarakanku dengan omongan pedas mereka karena mendekati Pangeran.
Aku berjalan mengikutinya, tepat di belakang para penggemarnya yang saling dorong-mendorong agar dapat berjalan tepat di belakangnya. Batinku menggeleng pelan melihat tingkah mereka. Hingga akhirnya Pangeran mengangkat tangannya dan mengibaskannya, hal itu membuat para penggemarnya itu mendengus kesal dan bubar begitu saja. Dan hanya menyisakan diriku yang jauh di belakangnya.
Ia terus berjalan, yang ternyata menuju taman belakang kampus. Tempat favoritnya saat berbicara denganku.
Aku mengikutinya hingga disuguhkan oleh suasana taman belakang yang tidak berubah. Memori di mana saat aku memohon padanya dengan tangisan berputar di otakku saat aku melihat bangku putih taman. Aku meringis kecil dan menggelengkan kepalaku pelan untuk menghapuskan bayangan menyedihkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrogant Prince [Z.M]
FanfictionApa yang kau rasakan saat kau harus menjadi pembantu pribadi seorang pangeran? Tentu sangat menyenangkan, apalagi jika pangeran itu sangat tampan. Tapi bagaimana jika sifatnya sangat berbanding terbalik dengan ketampanannya? Bagaimana bisa Dad terj...