51

194 35 5
                                    



"Kau perlu bantuan?"

"Tidak, aku bisa membawanya sendiri." aku berucap pelan sembari melihat pada sup dan air yang ada di atas nampan di tanganku.

Aku mengangkat kepalaku untuk mulai berjalan, namun dengan tak sengaja mataku bertemu dengan mata caramel itu. Orang yang selama ini berusaha untuk kujauhi.

Jantungku mulai bereaksi saat melihatnya, kakiku terdiam di tempat, perasaan itu kembali muncul ke permukaan hatiku walaupun aku telah berusaha untuk menyingkirkannya.

Matanya masih menatapku, ia memandangku dengan pandangan yang tidak kumengerti. Tubuhnya juga mematung seperti diriku, aku tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan, tetapi yang pasti ia tidak mungkin berpikir untuk meminta maaf pada diriku.

Nica menyenggolku pelan untuk menyadarkanku. Dengan segera aku memutuskan kontak mata itu dan kembali berjalan menuju mejaku bersama Nica yang berada di belakangku.

"Terlihat jika kau masih menyimpan perasaan padanya." komentar Nica setelah kami duduk berhadapan. Aku meliriknya, "Uh-y-yes I am."

"Entah sampai kapan aku akan menyimpan perasaan ini, aku ingin rasa ini segera hilang Nica."

Aku mulai menyuapkan sup ke dalam mulutku dengan terpaksa. Jika bukan karena Nica maka aku tidak akan pergi ke kantin untuk makan.

"Tentu itu butuh waktu, Selena. Tetapi jika menurutku itu akan sangat sulit karena kau berada di dalam satu bangunan dengannya." mendengar ucapannya batinku mengangguk dengan lesu.

Ia benar, itu pasti akan sulit karena aku tinggal bersamanya. Juga aku tidak tahu sampai kapan aku akan bersamanya.

"Kau benar,"

Aku kembali menyuapkan sup ke dalam mulutku, namun sebelum aku berhasil melakukannya tiba-tiba meja yang sedang kugunakan di senggol dengan cukup keras sehingga sup juga airku tumpah, tak terkecuali milik Nica.

"Oops, maaf aku sengaja."

Aku menoleh dan menemukan Janice dengan kedua temannya yang telah menyenggol meja kami. Aku tak berusaha untuk membalas ataupun membela diriku, aku tahu jika aku melawan maka mereka akan semakin menjadi.

Aku memalingkan kepalaku dari mereka dan kembali menatap supku, kembali kusuapkan sup itu ke dalam mulutku.

"Ternyata kau masih berani juga ya datang ke kantin ini." Janice berceletuk, aku hanya mengabaikannya.

Perlahan dapat kulihat wajah Nica mulai mengeras, tetapi tak ada yang bisa kami lakukan selain diam.

"Jangan mengabaikanku Wanita Murahan!" tiba-tiba dalam sekejap Janice membentak dan menarik kerah bajuku hingga sendokku terjatuh dan aku berdiri dari dudukku. Wajahnya kini tepat berada di depan mataku, siratan kebencian terlihat jelas pada iris matanya.

"Mengapa kau masih berani datang ke kantin, huh?"

Tak bisa kutampik bahwa aku mulai merasa muak dengan perlakuannya yang seolah-olah ia adalah pemilik kantin kampus ini. Aku bersiap untuk mengumpulkan keberanianku untuk melawannya, walaupun aku tahu itu pasti hanya akan menyebabkan kemarahannya, tetapi sekali lagi, aku sudah cukup muak.

"Kau bukan pemilik kampus ini, kau tak berhak untuk melarangku."

Seketika wajahnya menjadi terkejut setelah mendengar ucapanku yang kelewat berani. Dengan cepat ia mengambil air yang berada di atas mejaku lalu menumpahkannya di atas kepalaku.

Rasa dingin dari air tersebut menyergap tubuhku yang membuatku sedikit shock dengan sensasinya. Bajuku terlanjur basah karena ia menumpahkannya dengan tidak tanggung-tanggung.

"Jaga bicaramu saat di depanku!"

Ia membentakku dengan keras. Dan aku yakin bahwa seluruh orang di penjuru kantin ini mendengarkan teriakannya, dan hal itu terbukti saat kantin tiba-tiba menjadi hening setelah teriakan Janice menggema.

Aku mulai berpikir bahwa percuma saja jika aku melawannya, aku pasti tidak akan pernah bisa mengalahkan kekuasaannya. Namun baru saja aku hendak pergi, tiba-tiba sebuah jaket telah tersampir menyelimuti tubuhku yang mulai menggigil akibat air dingin yang disiramkan Janice padaku.

Aku menoleh dengan cepat dan terkejut saat menemukan si pemilik manik mata hazel-lah yang telah memberikan jaketnya padaku. Jujur terdapat rasa senang, lega, dan nyaman begitu melihatnya kembali hadir di kampus ini.

"Kau tidak apa-apa?" ia berbicara lembut padaku di tengah keterkejutan orang-orang akan kehadirannya yang tiba-tiba, tak terkecuali Nica memandang dengan sedikit membuka mulutnya. Oh dan jangan lupakan Janice yang wajahnya bahkan sudah seperti kepiting rebus.

Aku hanya menggangguk kecil menjawab pertanyaannya. Dan aku kembali tersentak saat tangan Justin melingkar memeluk tubuhku sebelum menggiringku keluar dari kantin, meninggalkan Janice dan seisi kantin yang melongo tak percaya.

"Hey aku belum selesai dasar jalang!"

***

"Sepertinya banyak yang telah terjadi selama aku tidak ada."

Justin membuka percakapan, dan kini kami telah duduk bersebelahan di taman kampus yang cukup sepi. Tanganku mengeratkan jaket kebesaran yang kini telah terpasang membalut tubuhku; menghadirkan rasa nyaman dan hangat yang mengalir di permukaan kulitku.

Aku mengangguk mengiyakan perkataannya sebelum akhirnya menoleh padanya, "Sudah lama aku tidak melihatmu, kemana saja?" ia balik menatapku tepat di maniknya, dan jujur saja hal itu membuatku merasa kembali tenang dan damai.

"Seminggu aku berada di kerajaan, banyak yang harus kukerjakan di sana. Terlebih lagi keadaan ayahku yang masih belum ada perkembangan." pandangannya menerawang jauh, dan aku dapat merasakan sirat simpati karena perkataannya.

"A-ah, kuharap ayahmu cepat lekas sembuh." Justin balik menatapku dan kini senyuman terpatri di wajahnya yang tampan; mengakibatkanku terdiam untuk sesaat.

"Terima kasih."

Aku menganggukkan kepalaku sebagai balasan. Kami berdua kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Jujur saja aku masih sedikit shock akibat perbuatan Janice, dan diriku masih memproses sekaligus bersyukur saat Justin datang bertepatan dengan Janice yang mulai ber-ulah.

"Well, aku mendengar beberapa berita terbaru di kampus ini," aku menoleh pada Justin yang kembali membuka percakapan; menunggunya menyelesaikan perkataannya.

"Kudengar kau memiliki suatu hubungan dengan Zayn?"

Hampir saja aku tersedak ludahku sendiri bersamaan dengan napasku yang sedikit tercekat saat mendengar nama itu kembali disebut di depanku. Dan tak bisa dipungkiri bahwa aku membenci detak jantungku yang begitu responsif saat nama itu mengalun di telingaku.

"T-tidak, itu tidak benar."

"Jadi perihal kau menembaknya itu tidaklah benar?"

Kembali lagi hatiku terasa tercubit kecil saat mendengar pertanyaannya. Bahkan berita itu sudah tersebar luas, dan entah bagaimana aku masih memiliki perasaan padanya, memang bodoh.

"Tidak, itu tidak benar." aku menundukkan kepalaku, mood-ku menjadi down kembali mengingatnya.

Suasana kembali hening hingga tiba-tiba kurasakan sebuah tangan mengusak kepalaku dengan lembut; membuatku segera mendongak menatapnya yang tengah tersenyum menenangkan padaku.

"Jangan murung seperti itu. Dan maafkan aku yang akhir-akhir ini tidak ada untuk menemanimu yang tengah mendapatkan masalah bahkan hingga dikucilkan seperti ini.

Mulai sekarang aku akan selalu menjaga dan menemanimu di saat kau membutuhkanku. Aku berjanji."

Ucapannya mengalun lembut di dalam indra pendengarku, yang membuatku mau tak mau ikut tersenyum lebih lebar; seolah beban di pundakku terangkat separuhnya seraya bergumam 'terima kasih.'

Arrogant Prince [Z.M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang