"Aku baik di sini. Tentu saja aku sangat merindukanmu. Dan aku senang mendengar kabar bahwa Dad mulai membaik."
"Yeah, setelah melihat keadaanmu yang baik Dad ikut merasa lebih baik. Setidaknya Dad dapat merasa tenang di sini."
"Ya, Dad. Jagalah kesehatanmu, jangan terlalu banyak bekerja hingga lupa beristirahat. Jika Dad sakit maka semua akan menjadi lebih buruk."
"Tenang saja, Sweetheart. Dad akan menjaga diri, dan kau juga jaga dirimu—Oh Sele, Dad harus segera pergi dan mulai bekerja."
Senyumku berkurang menjadi senyuman tipis, "O-oh Baiklah. Jaga dirimu, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Sayang."
Panggilan terputus. Aku menurunkan ponselku dari telinga dan menatap layarnya. Dan durasinya hanyalah enam menit dua puluh empat detik. Cukup singkat—bahkan sangat singkat.
Aku menghela napas dan mematikan ponselku. Walaupun hanya sebentar, tetapi setidaknya aku masih dapat berbicara dengannya. Mengingat pembicaraan kami yang tidak penting membuatku tersenyum kecil. Aku benar-benar merindukannya.
"Hey." aku tersentak saat seseorang menyentuh bahuku. Dengan cepat aku menoleh dan menemukan sepasang mata hazel sedang menatapku. Aku merubah wajah terkejutku menjadi sebuah senyuman. Melihat senyumanku ia ikut tersenyum.
"Maaf jika mengagetkanmu."
"Oh, itu tidak apa-apa."
Aku menggeser tubuhku agar ia dapat duduk di sebelahku. Dan tepat setelah ia duduk di sebelahku beberapa mahasiswi mulai memandang kami dan saling berbisik. Batinku menghela napas keras.
"Kau tidak pulang?" aku mengalihkan pandanganku dari para mahasiswi itu untuk menatapnya.
"Uhm tidak. Aku masih ingin menghabiskan waktu di sini. Bagaimana denganmu?"
"Well, sama denganmu. Tak sengaja aku melihatmu di sini dan memutuskan untuk menghampirimu."
Aku mengangguk pelan pada ucapannya. Pikiranku kembali melayang. Kini aku menjadi sedikit lebih canggung saat bersama Justin. Dan tentu saja itu karena perkataan para pangeran itu yang masih menancap di otakku.
Dan kupikir Justin juga merasakan perbedaanku setelah kejadian tiga hari yang lalu. Ia jadi ikut sedikit canggung saat berbicara padaku.
Sebenarnya aku ingin mulai menjaga jarak dengannya. Bukan karena perkataan para pangeran saja, tetapi juga karena perilaku Janice dan teman-temannya. Terutama Lauryn, kemarin lusa perilakunya sudah cukup 'lepas kendali'. Ia hampir menamparku, dan itu sudah menjadi peringatan yang cukup besar untukku.
Tetapi tetap saja. Aku tak dapat menjauh darinya. Ia terlalu baik. Dan lagipula jika dipikir-pikir kembali aku tidaklah salah di sini. Aku hanya mencari teman, apakah itu salah?
Keadaanku menyedihkan di sini. Aku hanya memiliki dua teman di kampus yang besar ini. Hanya dua, tidak lebih. Teman-teman Pangeran juga termasuk temanku, tetapi yang kumaksudkan adalah teman yang dapat ku-ajak berbicara saat di kampus, dan bukan secara sembunyi-sembunyi. Terkadang aku berpikir bahwa mengapa nasibku begitu se-menyedihkan ini. Sungguh aku tak pernah mengekspetasikan ini sebelumnya.
Sebelumnya hidupku hampir dikatakan sempurna. Teman yang banyak, tak ada ancaman, Dad juga Mum yang selalu bersamaku, bersantai di rumah. Namun sekarang semuanya terbalik. Tetapi aku tetap bersyukur, karena aku masih dapat merasakan kebahagiaan dari beberapa orang.
Doniya, Safaa, Will, Emma, Ashley, dan Elivia. Juga terkadang Pangeran; walaupun ia lebih banyak membuatku kesal ketimbang bahagia. Aku senang masih ada yang peduli padaku di istana. Ya walaupun beberapa dari pelayan di sana ada yang berperilaku sedikit 'tidak mengenakkan' padaku. Namun yang terpenting masih ada orang yang menyayangiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrogant Prince [Z.M]
FanfictionApa yang kau rasakan saat kau harus menjadi pembantu pribadi seorang pangeran? Tentu sangat menyenangkan, apalagi jika pangeran itu sangat tampan. Tapi bagaimana jika sifatnya sangat berbanding terbalik dengan ketampanannya? Bagaimana bisa Dad terj...