Bab 42

871 41 0
                                    

Fayla POV

Sudah 2  hari Alfa pergi, hampir setiap hari aku selalu mengiriminya pesan, namun tak ada satupun yang dibalas. Tak ada kabar apapun. Membuatku semakin khawatir.

Tapi Om Brian mengatakan Alfa pasti baik-baik saja. Memang dalam setiap menjalankan misi, ponsel mereka sebisa mungkin harus di non-aktifkan. Demi keselamatan mereka, katanya.

Setiap hari aku berdoa demi keselamatannya, semoga dia kembali dalam keadaan sehat, tak ada satu luka pun yang menyentuh kulitnya.
Kia juga selalu menenangkanku agar tidak terlalu khawatir, dia mengatakan Alfa pasti bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Tau apa dia, dia kan juga baru mengenal Alfa.

Setelah Alfa pergi, aku kembali pada aktivitas sekolahku. Seperti kata ibu, aku nggak boleh ninggalin pendidikan, aku harus jadi orang yang kaya ilmu supaya bisa bermanfaat untuk sekelilingku.

Sedikit banyak aku menceritakan apa yang terjadi pada keempat sahabatku. Aku hanya menceritakan siapa aku sebenarnya, tentang aku dan kak Ana. Itu saja. Bersama mereka, aku merasa menjadi lebih baik. Mereka bukan hanya sahabat tapi sudah seperti saudara buatku.

***

"Boleh gue duduk?" aku menghampiri Ardi di bangkunya
"Boleh" Ardi menyilakan
"Baca apa?" Aku berbasa-basi
"Iseng aja baca sejarah" Ardi menunjukkan bukunya, ber 'oh' ria

"Gue udah tau" ucapku tiba-tiba
Ardi mengernyit "Tau apa?"
"Tentang lo sama Om Wiro" keterkejutan tampak di wajahnya 

"Iya, Alfa udah cerita sama gue" sambungku memainkan pensil

"Sorry Fay" Ardi menutup buku lantas menghadapku
"Buat apa?"
"Gue tau, lo benci banget sama gue kan?"
"tya..." aku meliriknya sekilas "Tapi itu dulu Ar" wajahnya sedikit terangkat "Gue emang benci banget sama lo karena lo udah bikin gue hancur banget, dan lo tau itu kan?"

Ardi mengangguk 

"Gue bahkan nggak bisa buat natap lo dan selama ini canggung banget setiap deket sama lo. Tapi itu dulu, sebelum gue bener-bener sadar kalau kesalahan ada di gue. Lo pasti ilfeel banget kan karena gue kikuk banget waktu pacaran" aku tertawa kecut "Lo pasti malu banget pacaran sama gue. Bodoh banget gue waktu itu, gue nggak bisa ngertiin perasaan lo" sambungku

"Nggak Fay, buat gue, gue orang yang beruntung karena pernah ngerasain cinta tulus lo. Iya bener, emang awalnya gue nggak niat buat pacaran sama lo, tapi setelah gue ngerasain perhatian lo, gue sadar gue bego banget karena manfaatin lo" tatapan kami bertemu "Untuk itu, gue mutusin lo dengan cara itu, tapi sumpah gue nggak bermaksud nyakitin lo. Gue cuman nggak mau lo makin sakit kalo gue mertahanin hubungan kita. Gue minta maaf untuk itu"

Aku mengalihkan pandanganku kembali memainkan pensil "Makasih"

"Buat?"
"Karena lo, gue tau caranya memperlakukan pasangan dan ngehargai sebuah hubungan. Gue makasih banget buat itu" aku kembali menatapnya "Gue udah maafin lo kok, emang sih gue kadang masih ngerasa kesel sama lo, tapi yaudah lah ya, itu kan dulu"

Ardi mendengus geli "Makasih Fay, gue janji, mulai sekarang gue bakal terus dukung elo"

"So, kita temenan sekarang?" aku menegakkan punggung
"Teman" jawab Ardi membalas jabatan tanganku dan senyuman terukir di wajah kami.

Dengan saling memaafkan menjadikan beban hidup kita akan menghilang. Berdamai dengan masa lalu akan membuat langkah kita menjadi ringan menuju masa depan. Memang benar, hanya kedewasaan yang bisa merubah 'mantan' menjadi 'teman'. Karena darinya aku belajar banyak hal, darinya aku belajar bahwa kita tidak membutuhkan pasangan yang sempurna untuk menjalin hubungan yang sempurna.

Dengan kejujuran, perhatian, kesetiaan, kasihsayang, dan saling menghargai akan membuat hubungan itu jauh lebih sempurna.

***
Sore ini, aku berencana memasak cah kangkung dan telor bali untuk makan malam. Tapi stok gula di rumah Alfa ternyata habis, untuk itu aku meminta tolong Kia untuk membelikannya di supermarket, sekalian membelikan beberapa camilan disana.

Tok..tokk...tokk...
"Iya sebentar" sahutku dari dalam. Pintu terbuka dan muncullah wanita muda yang cantik dengan mata yang sipit dan hidung yang mancung
"Ini,,, dari rumah sebelah" wanita itu menyerahkan nampan yang berisi beberapa makanan
"Oh iya, trimakasih. Dalam rangka apa?" aku menerima nampan itu

"Ulang tahun. Ah itu, piringnya.."
"Oh iya sebentar, masuk dulu mbak" aku menyilakan masuk dan membawa nampan itu ke dapur.

Aku memindahkan makanannya dan mencuci piring bekas makanannya. Saat aku kembali wanita itu terlihat baru saja berdiri dari duduknya "Terimakasih mbak" aku kembali menyerahkan nampan yang berisi piring kosong
"Sama-sama. Saya permisi"
Wanita itu sudah berlalu pergi dan aku kembali menutup pintu rumah.

Tok..tok..tok..
Baru beberapa langkah akan kembali ke dapur, pintu rumah kembali diketuk
"Iya sebentar" aku kembali menyahut "Astaga, banyak banget kamu belinya Kia" mataku langsung tertuju pada kantong-kantong yang dibawa Kia

"Abisnya nggak bilang mau beli jajan apa. Jadi ya aku beliin yang menurut aku enak. Dan ya ini semua.." Kia menunjukkan deretan giginya dan melenggang masuk melewatiku.

Aku menggelengkan kepala, kenapa dia jadi borong makanan sebanyak itu? Aku kan hanya meminta bebarapa camilan, kenapa dia malah ngrampok camilan. Ya ampunn...

Aku dan Kia menata makanan yang kami buat di atas meja. Aku mengambil jus jeruk di kulkas dan meletakkannya di meja. Berasa rumah sendiri deh, padahal mah rumah orang, eh ralat, rumah pacar.

Makan malam kali ini banyak banget, selain dari masakanku sama Kia ada juga yang dari tetangga sebelah. Aku aja sampe bingung mau makan yang dulu, semoga aja perut ini nggak menggembung lagi.

"Duhh enaknya, banyak banget lagi makanannya" suara bariton itu aku sangat mengenalnya
"Hai Fay"
"Hai dek" sapa mereka bergantian

"Kak Ana?!" aku menghambur ke dalam pelukannya "Kok nggak bilang-bilang sih mau dateng"
"Surprise!!" kak Fian mengusap kepalaku
Aku mendecih "Kangen tau. Eh makan yuk kak, oh iya kenalin ini Kia" kenalku

"Kia" Kia menyalami kak Ana dan kak Fian
"Gimana sidangnya kak?" aku kembali duduk di tempatku
"Lancar, kakak juga kangen tau sama kamu" kak Ana duduk di sebelahku

Obrolan ringan terjadi di meja makan malam ini. Aku melepas rindu dan bercerita banyak hal, bukan, lebih tepatnya kak Ana dan kak Fian yang terus bercerita sedangkan aku hanya mendengarkannya. Kia juga ikut dalam perbincangan kami, Kia sepertinya orang yang mudah sekali untuk berbaur. Tak butuh waktu lama untuk dia bisa akrab sama kak Ana dan kak Fian. Kedatangan mereka membuatku tak lagi merasa kesepian.

***
Aku berdiri menatap jalanan yang kosong. Tebing dan jurang mengeliliku, pandanganku terus memutar mencari seseorang yang bisa membantuku. Kaki ku melangkah tanpa arah.

Melihat jurang di sebelahku membuat tubuhku menegang, aku berjalan menepi ke sisi tebing tanpa berani melihat ke bawah.

Indera penciumanku didominasi aroma anyir, di balik tebing aku melihat ada sebuah kaki disana. Kuberanikan diri untuk terus melangkah. Kaki ku terasa lemas saat melihat puluhan orang tergeletak dengan lautan darah mengelilinginya.
Ekor mataku tak sengaja melihat seseorang mengarahkan pistolnya tepat di kepala seorang pria. Pria itu tampak begitu lemah dengan darah yang mengalir dari pelipisnya.

Jantungku semakin berdetak tak karuan, saat aku mengenali pria itu. Kakiku terasa berat untuk melangkah, aku mengerahkan seluruh tenaga untuk bisa menyelamatkan pria itu. Aku mengenali punggung itu, punggung Alfa.

Aku sudah semakin dekat dan hampir meraih Alfa untuk menjauh.

Doorrr.. Aku terlambat

Orang itu sudah menembakkan timah panas itu masuk ke dalam kepala Alfa. Seketika itu tubuh Alfa tersungkur. "AL!!! Nggak, kamu nggak boleh ninggalin aku!" teriakanku semakin histeris saat tubuh Alfa tak bergerak.

Langkahku semakin berat
"AALL!!!"

Who Is He? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang