Bab 2

3K 125 0
                                    

Keesokan pagi aku buru-buru ke sekolah, saat menghidupkan ponsel, aku telah disambut dengan banyak sekali panggilan dan pesan masuk. Kuabaikan  itu dan memasukkan ponsel kedalam tas. Kulajukan motor matic ku dengan memasang earphone  mp3 di telinga.

Kulirik jam tangan masih jam 6.10. Hari ini aku memang sengaja datang pagi, karena jujur saja aku masih takut. Sepertinya hanya aku yang berangkat sepagi ini. Ku parkirkan sepedaku dekat dengan sebuah pohon. Aku memasukkan kunci sepedaku ke dalam tas dan mengambil ponsel ku.

Tiba-tiba kurasakan seseorang menarik earphone dari telingaku "Kenapa lo nggak jawab panggilan gue!"

Siapapun, plis tolongin gue! Ada orang gila di sekolah. Jeritku dalam hati. 

Pria itu semakin dekat aku berjalan mundur tapi punggungku menabrak pohon. Sial.

'Kok bisa ada disini. Mati gue. Sekolah juga masih sepi lagi' ucapku dalam hati menebar pandanganku melihat kondisi sekolah yang teramat sepi.

"Gue udah manggil lo mulai tadi tau, ah gara-gara earphone ini makanya lo nggak noleh  sama sekali. Trus kenapa lo nggak angkat telfon gue atau balas pesan gue. Lo mau ngehindar dari gue?" kedua tangannya mengunci tubuhku bersandar di pohon.

"Lo... kok bisa ada disini?" kutundukkan kepalaku sedalam mungkin

"Jawab dulu!"

"Gue.." tenggorokanku tiba-tiba kering saat kurasakan desahan nafasnya yang menyentuh pipi chubby ku membuatku memegang erat ponselku. 

'Ini bisa nggak wajahnya ngejauh dulu, risih gue. Gimana mau jawab kalo wajahnya sedeket ini. Kalo ada yang liat dikira lagi berbuat macem-macem lagi. Ini pohon bisa mundur sedikit nggak sih? Ishhh, kurang ajar banget nih cowok' umpatku 

"Nggak akan ada yang liat kita, jadi jawab pertanyaan gue sekarang atau mau gue paksa buat jawab" 

Mataku mengerjap. 'Gila. Dia bisa baca pikiran gue. Ah  nggak mungkin'  

"Malah bengong lagi" aku terkejut saat matanya berusaha menyejajarkan dengan mataku.

Sumpah ini,  deket banget.

"Gue sibuk, jadi nggak sempet liat hp"  meski gugup tapi jawaban itu lolos juga dari mulutku "Bisa nggak posisinya nggak sedeket ini" lanjutku seraya berusaha mendorong tubuhnya.

Jarak kami sudah memiliki ruang "Ah ya, gue belum ngenalin diri gue. Gue Alfa. Mulai sekarang gue bakal ngawasin lo, dan lo juga harus nurutin apa kata gue. Lo nggak boleh ngacuhin gue, lo harus angkat telfon dari gue dan balas semua pesan gue. Atau nggak, gue bakal nyamperin lo kayak gini. Gue nggak pernah main-main sama kata-kata gue" Kurasakan sentuhan lembut mengelus kepalaku. Beberapa detik kemudian, saat membuka mata sudah tak ada seorang pun disana.

Jujur saja aku tidak bernapas lagi karenanya. Ku pukul dadaku mengembalikan kesadaran.
Alfa? Siapa dia? Mau apa dia? Ada urusan apa dia sama gue? Apa maksudnya bakal ngawasin gue? Nge jaga gue? Dari apa? Toh selama ini gue baik-baik aja.

Fokus ku hilang karenanya. Seenaknya aja dia nyuruh-nyuruh gue, emang dia siapa? Orang gila. Ah dia maling gila. 

"Fayla!" Tiba-tiba saja panggilan itu membuyarkan lamunanku. "Fayla, kamu ngelamun?'  Pak Fian-guru matematika itu sudah berada di sampingku

"Iya? Ah maaf pak"

"Kamu cuci muka mu dulu sana"

"I-iiya pak, permisi" Pak Fian memberiku jalan, ku tundukkan kepalaku. Ah bego banget gue.

-Author POV

Fayla sengaja mengulur waktu pulangnya,  ia membaca novel kesukaannya di dalam kelas. Liana memang akan pulang sore ini, tapi tetap saja Fayla masih belum berani pulang. Apalagi setelah kejadian kemarin, bisa-bisanya orang masuk rumahnya tanpa mengambil barang apapun. Kalau itu hanya keisengan, benar-benar tidak lucu, terlebih sampai mengatakan hal yang tidak-tidak. Dasar orang gila.

Buggg...
Suara apaan tuh. Pikir Fayla ketika melewati halaman di dekat parkiran sekolahnya. Ia mempertajam pendengarannya dan mengikuti asal suara. Fayla berhenti dan bersembunyi di balik tembok ketika melihat Ardi sedang di kelilingi oleh 3 pria. Fayla terkejut bukan main, tapi kayaknya itu bukan anak sini deh.

"Loh Ar, belum pulang?" suara Fayla membuat  mereka berempat terkejut  "Kalian ngapain? Ah, kalo mau main keroyokan jangan di sekolah dong. Disini ada CCTV nya lohh, cuman mau ngasih tau aja sih....Ar, di panggil Bu Nia tuh" dusta Fayla, ketiga pria itu tampak lebih terkejut 

 "Itu disana, cepetan gih. Ah apa perlu gue ngadu sama guru-guru kalo lo lagi dikeroyok ya?" sambung Fayla dengan wajah sok beraninya melirik ketiga pria itu, tampak wajah kesal dari mereka.

"Lakuin tugas lo" ucap laki-laki berambut ikal sebelum ketiganya berlalu pergi. Meskipun cukup pelan, tapi  masih bisa Fayla dengar.

Setelah melihat kepergian ketiga cowok rusuh itu, Fayla memegang dadanya. Jujur, sebenarnya Fayla tadi ketakutan, untung saja kata-katanya itu membuat mereka pergi. Kalau tidak? Ia tidak tau apa lagi yang harus ia lakukan. Keberanian yang konyol.

"Ya ampun lo berdarah" Fayla menghampiri Ardi dan melihat luka di wajah Ardi

"Gue nggak papa, makasih udah bantuin gue"

Fayla berdehem  "Iya. Emang siapa sih mereka? kenapa mereka mukulin lo kayak gitu?"

"Temen. Sekali lagi makasih" Fayla mengangguk, segera ia berbalik meninggalkan Ardi. Fayla merasa canggung bukan main.

-Fayla POV

Rumah masih tertutup rapat, itu berarti ibu belum pulang. Sebenarnya, aku masih ragu untuk masuk ke dalam. Aku terus meyakinkan diri, bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku berdiri di depan pintu, mencari kunci rumah di tasku.

Tiba-tiba hidungku mencium bau masakan. Bau ayam yang menjadi kesukaanku. Tepat di depan mata, ada sebuah kantong kresek. Terkejut, aku berbalik. Lebih terkejut lagi saat orang gila itu kembali datang.

"Mau apa kau!" aku melangkah mundur mengambil posisi kuda-kuda.

"Tenang, gue cuman bawain ini buat elo" dia menyodorkan kantong kresek berisi bungkusan makanan

'Duh, mau ngapain sih orang ini. Gue lupa lagi namanya' kedua tanganku mengepal di depannya

"Lo ngapain sih" dia menyingkirkan kedua tanganku

"Lo yang ngapain disini" tanganku kembali dalam posisinya

"Gue kan udah bilang, gue bawain ini, lagian gue kan udah bilang bakal ngikutin elo, gue tau elo belum makan kan?" aku diam melihat keseriusannya "Yaudah kalo gitu, gue taruh sini aja. Tapi jangan lupa dimakan, itu nggak ada racunnya, tenang aja" dia meletakkan bungkusan itu di kursi kemudian berlalu pergi.

Aku melihat kepergiaannya dengan penuh curiga dan penasaran, perlahan ku ambil makanannya di kursi. Tepukan di pundakku membuat jantungku hampir copot rasanya

"ibu ih ngagetin!" aku memekik kaget.

Ibu tersenyum geli tanpa dosa "Itu apa?" tanya ibu menunjuk kantong kresek yang kupegang

"Ini... makanan" jawabku membuat ibu ber'oh'ria.

Sebelum mengikuti ibu masuk, aku menyempatkan menoleh ke belakang, memastikan orang gila itu benar-benar pergi.

Who Is He? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang