Bab 28

935 46 0
                                    

Fayla POV

Siang ini aku sudah berdiri tepat di depan pintu rumah yang sangat besar. Teras yang dipenuhi rumput dan beberapa pohon bonsai itu tampak sangat nyaman. Alfa membuka pintu dan mempersilahkanku masuk lebih dulu.

Rumah dua lantai itu didominasi warna putih, tampak begitu rapi dan bersih. Alfa  menuntunku menaiki tangga dan berjalan masuk ke dalam kamar yang ia siapkan. Kamar yang cukup luas buatku, bahkan ukurannya seperti dua kali lipat dari kamarku sebelumnya.

Aku menyusuri setiap jengkal kamar baruku itu, Alfa mengekor dan meletakkan koperku tepat di sebelah ranjang besar. Kulihat kamar mandinya sudah terisi dengan berbagai keperluan mandi yang sangat lengkap, semua tertata rapi. Bahkan meja riaspun sudah terisi berisi alat-alat make up.
"Ini kamu yang nyiapin?" tanyaku sambil menunjuk ke arah meja rias

"Itu kak Ana yang nyiapin" Alfa duduk di pinggiran ranjang

"Tapi kenapa kak Ana nggak ikut nganter aku kesini?" aku berbalik ke arah Alfa

"Ada urusan mendadak di kampusnya, dia nggak sempet bilang ke kamu soalnya tadi dia ditelfonin terus sama temennya. Dia nyuruh aku bilangin maaf ke kamu" jelas Alfa.

Setelah memasukkan baju-baju ku ke dalam lemari dan menata segala keperluanku di kamar baru. Aku melangkah menuju kamar mandi yang seakan sedari tadi memanggilnya untuk masuk. Dinginnya air shower membuat tubuhku sedikit rileks. Setelah memakai kimono, kubalut rambut basahku dengan handuk kecil.

Aku terkejut saat Alfa sudah berdiri di depan pintu kamarku, Alfa pun sepertinya juga terkejut melihat ku. Untung saja kali ini memakai jubah mandi bukannya handuk

"Sorry, aku kira kamu tadi kenapa-napa soalnya mulai tadi aku panggil kamu nggak jawab" Alfa menutup pintu kamar dan aku masih mematung di tempatku

'Kenapa dia selalu saja begitu. Tiba-tiba muncul saat aku selesai mandi. Wahhh sepertinya aku harus lebih berhati-hati'.

Aku segera melangkah dan mengunci pintu kamarku. Jantungku rasanya sudah berlari di dalam sana, ku senderkan punggungku di pintu dan kupegang dadaku berusaha menenangkan degup jantung yang sudah berpacu cepat.

Selesai mengeringkan rambut basahku, aku mengecek kembali pakaianku sebelum keluar dari kamar. Aku merasakan kecanggungan luar biasa saat menuruni tangga. Aku melihat Alfa tengah menyiapkan makan malam.

Jujur, rasanya sangat aneh, untuk pertama kalinya aku tinggal dirumah yang asing buatku, apalagi hanya berdua dengan pacar.
"Ini lo yang masak?" tanyaku membuang sedikit kecanggungan sambil menunjuk sepiring nasi goreng dihadapanku

"Iyalah, siapa lagi. Duduk, cobain masakin gue" aku dan Alfa sudah duduk berhadapan.

"Gimana?" tanya Alfa antusias saat melihatku memasukkan suapan pertama kedalam mulutku. Aku terus mengunyah merasakan kelezatan nasi goreng buatan Alfa

"Keasinan" dustaku yang membuat wajah Alfa yang tadinya bangga kini merosot kecewa

"Masa sih?" ia segera mengambil sendok dan menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya

"Ini... Enak kok" mendegar itu membuatku tak bisa menahan tawaku

"Hahahahahaha.... Lucu banget tau nggak wajah lo itu. Pfffttt..."

"Lo ngerjain gue"

"Satu sama, siapa suruh ngledek gue pas di rumah sakit" aku menjulurkan lidahku yang membuatnya mendengus geli.

"Ekhmmm" suara deheman seseorang menghentikanku menyendok nasi goreng
"Kayaknya ada yang lagi seru nih" suara berat laki-laki membuatku dan Alfa menoleh. Dua orang pria kini mulai mendekat membuatku dan Alfa berdiri.

"Ay, kenalin ini Om Brian dan ini Akbar sahabatku" kenal Alfa membuatku menyalami mereka

"Fayla" kenalku kemudian.

"Makan Om" tawar Alfa sambil kembali duduk "Kalian lanjut aja"

"Kita makan sama-sama aja, lagian nasi gorengnya masih banyak juga kok" tawarku membantu Alfa, udah kayak tuan rumah aja.

"Udah nggak usah, kita udah makan kok"
tanpa menanggapi Om Brian aku beranjak mengambil piring dan meletakkannya di depan mereka berdua

 
"Iya, kita makan sama-sama aja Om, sekalian biar Fayla juga bisa kenal kalian" aku tersenyum menanggapi Alfa.

"Kalo dipaksa sih, gue bisa apa" sahabat Alfa itu bergerak mengambil nasi goreng ke piringnya yang diikuti Om Brian.

Obrolan ringan pun terjadi di meja makan, aku hanya sesekali menanggapi itupun saat ada yang bertanya, selebihnya aku hanya tersenyum mendengar perbincangan mereka bertiga.

Setelah menyelesaikan makan malam, aku membersihkan meja makan dan meletakkan piring-piring itu ke dalam wastafel.
Baik Om Brian, Akbar dan Alfa sudah berada di ruang keluarg. Saat sedang mencuci piring, tiba-tiba aku memikirkan kak Ana yang sampai saat ini belum menghubungiku. Aku sedikit khawatir dengan keadaannya.

"Ay?" Alfa memanggil tepat dibelakangku

"Kamu mengagetkanku! Kamu tuh yah, hobi banget bikin aku kaget" hampir saja piring yang kupegang terjatuh karena Alfa

"Kamunya ngelamun sih, ngelamunin apa sih sampe nggak denger aku dateng" Alfa berdiri menyender di pinggiran wastafel

"Aku? Nggak, nggak ngelamuni apa-apa. Udah deh, kamu kesana aja sama Om Brian. Bentar lagi aku buatin teh buat kalian"

"Kamu ngusir aku?"
"Nggak, bukannya gitu. Kan nggak enak ada tamu tapi tuan rumahnya malah disini"

"Biarin aja Ay, mereka juga udah biasa kok, aku mau bantuin kamu" 

"Udah, nggak perlu. Ini aku juga udah selesai. Tinggal buatin teh aja"

"yaudah aku nungguin kamu bikin teh"

"Al?" "Ay?" cukup sudah, kalau sudah begini aku tidak akan mendebatnya.

Alfa terus saja mengawasiku membuat teh, seperti aku akan memasukkan racun saja ke dalam minumannya, rasanya sangat tidak nyaman saat kita bekerja sambil diawasi.
"Nih, bawa tehnya ke depan" aku menyodorkan nampan yang sudah berisi teh dan beberapa camilan

"Aku langsung ke kamar ya, bilangin ke Om Brian sama Akbar, maaf kalo nggak bisa nemenin kalian ngobrol" Alfa sudah menerima nampan itu 

"Iya, nanti aku bilangin, tapi kamu nggak papa kan?"

Aku mengangguk. Melihat punggung Alfa mengecil, aku segera naik ke kamarku. Sinar rembulan tampaknya ingin masuk menembus tirai pintu kaca kamarku. Berdiri di tepi balkon sambil menatap langit malam, sepertinya akan menjadi kesukaanku.

Menikmati dinginnya malam sambil melihat kilaunya bintang membuatku merasa sedikit tenang.

Kekhawatiranku akan keadaan kak Ana sepertinya belum juga hilang, ingin rasanya menelponnya tetapi aku takut mengganggu kesibukannya.

"Kamu nggak kedinginan?" aku tersentak mendengar suara Alfa mendekat

"Kaget aku! Ishh"

"Lo itu ya, kagetan banget, padahal itu gue ngomong nya pelan loh" kini ia menjajariku

"Pelan apanya! Trus ngapain juga lo masuk nggak ketuk pintu dulu"

"Habisnya gue pikir lo udah tidur, gue kan takut ngebangunin ya gue masuk aja. Eh lo nya malah ngelamun disini. Lo nggak kedinginan apa?" Alfa menoleh

Aku menggeleng, tetapi tangan Alfa tiba-tiba memegang pipiku "Bohong banget. Buktinya ini dingin"

Mengabaikannya, pandanganku kini menengadah ke langit. Ia kepikiran dengan Ana. Kakaknya itu, aku merasa ada yang aneh dengannya. Sikapnya seperti berubah, ia seperti mengacuhkanku. Entah benar atau tidak, hanya saja, aku hanya merasa berbeda.

Who Is He? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang