11:11 AM

390 48 1
                                    

"Sekarang bagaimana?" lirih Changmin.

Pemuda yang merupakan seorang eksekutif muda itu menundukkan kepalanya. Di depannya duduk seorang gadis cantik bersurai panjang. Gadis yang dikencaninya hampir tiga bulan terakhir. Gadis yang mengisi kekosongan di hatinya. Yang memberikan kebahagiaan yang sudah lama ia rindukan.

Mereka berdua menikmati makan siang bersama hari ini. Hal yang rutin mereka lakukan seminggu sekali. Di saat keduanya ada waktu luang dari pekerjaan yang menumpuk.

"Bagaimana apanya?" Yoona malah balik bertanya.

Gadis itu memandangi pemuda di depannya dengan tatapan malas. Sembari menyantap menu makan siangnya tanpa minat. Tak terlihat sosok yang anggun dalam dirinya sama sekali. Menghela nafasnya, Yoona memalingkan wajahnya sejenak.

"Terserahmu sajalah." Yoona kembali menatap Changmin. "Aku memang begini adanya. Jika aku tak sesuai dengan apa yang kau inginkan, jika aku tak sesuai dengan apa yang kau harapkan, jika aku sangat jauh dari ekspektasi dan intuisimu, jika kau tak sesuai dengan kriteria perempuan idamanmu, maka tinggalkan aku." Kalimat itu meluncur begitu lancarnya. Disertai tatapan yang membuat Junsu tak bisa berpaling darinya. "Carilah perempuan lain yang sesuai dengan keinginan dan juga harapanmu. Kau bisa lakukan itu. Apalagi kau adalah seorang pebisnis kaya yang hartamu takkan berkurang sampai sepuluh keturunan."

Perhatian Yoona sepenuhnya mengarah pada Changmin. Pemuda yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pelita di hatinya. Penerang jiwanya yang kelam. Pembawa kebahagiaan yang selama ini menjadi angan-angannya. Changmin adalah pemuda yang baik hati, mengikuti aturan, dan sangat disiplin. Berbeda dengan Yoona yang sering kali bertingkah sesuka hatinya.

"Kau bisa mencari perempuan lain yang lebih baik dariku. Perempuan yang sepadan denganmu. Aku rela. Bahkan kau bisa melupakan janji-janji yang telah kau ucapkan padaku. Selama kau bersamaku, aku tahu kau selalu menepati janji-janjimu itu. Tapi, sekarang aku tahu kau tidak lagi bersamaku, meski kau juga tidak bersama yang lain."

"Yoona," desah Junsu yang tak menyukai kalimat yang baru saja Yoona lontarkan. Ia menatap ke dalam manik mata gadis itu. Yang entah sejak kapan semakin hari semakin tampak kelam.

Yoona bukan dari golongan orang kaya. Berbeda dengan Junsu yang merupakan pewaris tunggal perusahaan ayahnya yang sukses di bidang garmen.

"Segala apa yang terjadi..." sengaja Yoona menggantungkan kalimatnya, "aku pikir ini cara Tuhan menguji kesabaran kita. Sebagai bentuk pendewasaan diri dalam menghadapi masalah." Susunan kalimat yang diucapkan Yoona begitu sempurna. Seperti sudah ditata dan juga dipersiapkan dengan sangat baik sebelumnya. "Tapi, aku benar-benar serius dengan ucapanku. Jika aku tak sesuai denganmu, carilah perempuan lain. Sungguh, aku tidak akan mempermasalahkannya. Kau sangat baik, kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku."

"Dan... jika kau masih memilihku juga. Kau harus menerima segala apa yang ada dalam diriku. Kau tahu sendiri bahwa aku sangat jauh dari ekspektasi serta intuisimu, bukan?"

"Aku..." memberikan jeda sejenak, "tidak bisa mencari perempuan lain. Aku sudah terlanjur menyayangimu. Rasa sayang yang begitu besar. Bahkan aku bersedia memberikan nyawaku untukmu. Aku sama sekali tidak ingin berpisah darimu. Kumohon. Jangan seperti ini."

Junsu ingin sekali menggenggam tangan Yoona. Tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia takut. Akan banyak hal yang mungkin saja adalah sesuatu yang buruk.

Pengecut?

Katakanlah Junsu begitu. Lelaki itu pengecut karena tidak bisa memberikan keyakinan penuh pada Yoona bahwa hanya dia yang dicintainya.

Pecundang?

Benar. Junsu memang pecundang. Presdir muda itu seorang pecundang yang besar sebab tak bisa menghentikan pemikiran aneh gadis yang sangat ia sayangi.

"Mungkin kita butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Memikirkan hubungan ini yang akan berlanjut atau tidak. Memikirkan bagaimana nanti ke depannya. Memikirkan apakah kau dan aku sanggup untuk bertahan bagaimana pun cobaan yang datang. Memikirkan apakah kau dan aku bisa melewati rintangan yang menghadang."

"Apakah harus kita melakukannya? Kau tahu, aku benar-benar sulit saat jauh darimu. Aku tidak bisa sehari tanpamu, Yoona."

"Kita harus melakukannya, Changmin. Selain hubungan kita berdua, pikirkan juga tentang keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar."

"Tapi, aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang itu. Mereka tidak tahu apapun tentang kita."

"Tapi, aku peduli. Dan kau juga sangat peduli pada nasehat orang tuamu, 'kan?" tanya Yoona.

Changmin mengangguk pelan. "Ya, itu benar," lirihnya, "aku peduli pada orang tuaku."

"Itu sudah menjadi keputusanku. Kita butuh waktu untuk sendiri. Ah, aku tahu mungkin kau tidak membutuhkannya," Yoona segera meralat ucapannya saat menyadari ada kesalahan dalam kalimat yang ia lontarkan, "tapi aku sangat membutuhkan itu."

"Seminggu..." Changmin menatap Yoona sayu, "kupikir itu cukup bagimu dan aku. Bagaimana?"

Yoona mengangguk setuju. "Hmm, seminggu."

"Seminggu lagi, aku akan menemuimu di sini. Kau harus datang. Jam 11:11 AM."

"Baiklah. Aku akan datang sebelum jam 11:11 AM."

Tak ada yang pernah tahu jika akan ada hal luar biasa minggu depan.

Tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kurun waktu satu minggu.

Tak ada yang pernah tahu kejutan apa yang telah disiapkan Tuhan satu minggu lagi.

Bisa saja, satu minggu lagi salah satu dari mereka kehilangan nyawa.

Bisa saja, satu minggu lagi salah satu dari mereka mendadak menikah.

Bisa saja, satu minggu lagi keajaiban datang pada mereka berdua.

Siapa yang tahu? Tidak ada yang mengetahui semuanya. Ya, kecuali Tuhan.

.

.

.

-THE END-

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang