No Love

420 50 11
                                    

YoonaLim433 .
.
.
.
Yoona sedang menikmati acara makan malam di sebuah restoran ternama di Seoul. Jika saja tak dipaksa oleh kakeknya, tentu Yoona takkan ikut hadir. Karena Yoona sudah tahu pasti apa yang akan dibicarakan pada makan malam kali ini. Apa lagi kalau bukan hubungannya dengan Jimin, kekasihnya.

Orang tua Jimin adalah rekan bisnis kakek Yoona, Tn. Byun Si-Hoo. Hubungan mereka semakin dekat ketika Jimin dan Yoona menerima perjodohan yang telah direncanakan. Tak ada yang tahu kalau Yoona menerima perjodohan itu adalah karena paksaan dari neneknya, Ny. Kang Yeri. Yoona sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Jimin. Dan selama kurang lebih tiga tahun menjalin hubungan, Yoona masih merasa bahwa Jimin adalah orang asing.

Jika hubungan mereka berlanjut ke pertunangan dan pada akhirnya menikah, sungguh, Yoona tak bisa membayangkan kehidupnya setelah itu. Pemuda yang tidak ia cintai. Sekalipun Jimin adalah lelaki yang baik, perhatian, dan taat. Akan tetapi, sepertinya Yoona tetap belum bisa menerima Jimin. Entahlah, sulit sekali rasanya.

Alasan lain Yoona menerima perjodohan itu adalah karena Jimin merupakan teman dekat Seohyun, sepupunya sendiri. Yoona sepertinya harus memberikan selamat untuk Seohyun yang sangat giat mendekatkannya dengan Jimin. Dan dengan senyuman palsunya, Yoona bisa mengelabui semua orang. Tanggapan positif Yoona pada Jimin membuat semua orang berpikir kalau Yoona memang mencintai Jimin.

Seharusnya Yoona merasa beruntung karena memiliki kekasih sekaligus calon suami seperti Jimin. Lelaki terhormat, kelas bangsawan, kekayaan yang takkan habis sampai tujuh turunan, tampan dan berkharisma dengan lesung pipi yang mempesona jika ia tersenyum. Yang Yoona rasakan justru kebalikannya. Gadis itu merasa jika hubungan yang dijalaninya sekarang ini sangat datar, semu. Ah, bagaimana bisa ia bersikap kalau semuanya baik-baik saja, sementara hatinya mengatakan hal lain?

Selama menjalin hubungan, Yoona sering meluangkan waktunya di akhir pekan untuk pergi berkencan bersama Jimin. Entah pergi ke taman hiburan, menonton film di bioskop, atau bekunjung ke rumah masing-masing. Dan sungguh, sekalipun Yoona belum pernah merasakan kebahagian yang benar-benar diinginkannya. Senyuman lebarnya, matanya yang berbinar, ucapan manisnya. Semua itu hanyalah kepalsuan. Yoona tidak ingin menyakiti orang-orang yang sangat menginginkannya bisa bersanding dengan Jimin.

Jika gadis-gadis di luar sana akan merasa sangat senang mendapatkan pesan singkat atau telepon dari kekasihnya, maka lain halnya dengan Yoona. Kalau semua gadis begitu senang atas perhatian kekaihnya, maka Yoona berbeda. Pesan singkat dan telepon dari Jimin selalu mengusiknya. Perhatian Jimin adalah sebuah gangguan baginya.

Bagaimana tidak?

Jimin mengiriminya pesan singkat sebanyak dua puluh tujuh kali dalam kurun waktu satu jam. Menelponnya dua belas jam tiap harinya. Tidakkah ia mengerti kalau Yoona sedang sibuk dengan pekerjaannya? Tidakkah jimin mengerti bahwa Yoona juga membutuhkan waktu untuk keluar bersama teman-temannya? Dan tidakkah Jimin menyadari kalau sikapnya itu membuat Yoona risih?

Kalau Yoona tak membalas pesan singkat, atau mengangkat telepon dari Jimin, sudah dapat dipastikan kalau lelaki itu akan datang ke rumah menemuinya. Apa lagi kalau bukan untuk mengomelinya. Sikap egois, posesif dan otoriter Jimin itulah yang menyebabkan Yoona semakin hari semakin merasa tidak nyaman. Ia tidak tahan dengan Jimin. Yoona sudah seperti seorang tahanan kota yang setiap detiknya harus melaporkan kegiatannya pada polisi.

Astaga!

Yoona bisa gila.

Ingin sekali Yoona berteriak kalau ia takkan menerima perjodohan itu jika saja neneknya tak memaksanya. Ia takkan menerima perjodohan itu jikalau keluarganya adalah rekan bisnis kakeknya. Ia takkan menerima perjodohan itu kalau Jimin bukan teman dekat sepupunya.

• Short Story •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang